Bagian 38 : Benderah 'Berdarah'

98 11 0
                                    

"GUE BILANG JANGAN NGOMONG!" Bentakku di sela tangisanku.

Aku memindahkan kepala Artha yang sebelumnya berada di pangkuanku ke tanah. Aku menggigit bibirku, menahan isakan tangisku walau masih sesenggukan. Tanganku terulur ke tas kecil di pinggang Artha, mengambil sisa granat yang dimilikinya.

"Ji, granat lo sisa berapa?" tanyaku.

"Masih utuh."

"Give it to me." Aku mengangkat tanganku padanya, dan menerima lima buah granat darinya.

Berdiam diri dan menangis sama saja dengan menunggu kematian Artha. Aku harus mencari jalan keluar saat ini juga. Aku melemparkan salah satu pistol milikku kepada Jian, juga memberikan beberapa peluru padanya. "Lo jaga Artha di sini, gue cari jalan keluar." Lantas aku berbalik dan berjalan pergi.

"ANETH! JANGAN GILA!" Suara teriakan Jian memanggil dari arah belakangku. Tapi itu tak membuatku menghentikan niatku.

"ANETH!" Suara Artha memanggil, bisa ku dengar dari jarak yang belum terlalu jauh. "Stop, Aneth! Demi Tuhan, Neth, semakin lo pergi ke sana, gue pastiin lo kehilangan gue."

Namun ancaman Artha malah membuat langkahku semakin lebar dan cepat. Kau salah, Artha. Jika aku tetap di sini, aku hanya akan menjadi pecundang yang menunggu kematianmu dan berakhir bunuh diri karena tak bisa melakukan apa-apa.

Aku benar-benar akan melakukan segalanya. Setiap nyawa, darah, dan segala hal yang tersisa di sini harus ikut hancur bersamaku. Aku tak peduli, yang penting bagiku sekarang adalah menyelamatkan Artha.

Langkahku terseok-seok, berjalan dengan satu mata dan napas yang tersengal-sengal. Melewati reruntuhan bangunan, genangan darah, dan mayat yang tergelak di setiap nyawa. Ini semua hasil dari lemparan granatku sebelumnya.

Langkahku yang bahkan tak sekuat sebelumnya, kini berhasil mencapai lantai teratas, lantai di mana ruangan staf berada. Tanpa menunggu, aku yang masih berada di anak tangga, bersiap menarik tuas granat.

Dan tepat saat aku mencapai anak tangga tertinggi, aku tak langsung berbelok, masih bersembunyi di balik tembok. Ku tarik tuas granat dan membiarkan tanganku melemparkan granat itu ke arah lorong.

'Dor dor dor.'

Suara tembakan dan peluru yang mengarah padaku terus berdatangan. Beruntung aku masih bersembunyi di balik tembok, mengamankan tubuhku yang tak lagi utuh ini.

Dentuman granat yang telah aku lemparkan beberapa detik lalu disambut dengan suara teriakan dan rintihan. Namun aku masih belum merasa aman, lantas aku mengambil granat lain, menarik tuas, dan melemparkan lagi ke arah yang sama.

Suara dentuman dan reruntuhan bangunan terdengar. Tapi tak ada sahutan dari orang lain. Aku mengintip, dan melihat beberapa mayat yang tergeletak di lantai, beberapa bangunan sudah terbakar.

Tanpa rasa takut, aku mendekati ruangan yang pintunya tak lagi utuh. Langkahku yang terseok melewati tubuh yang bau terbakar. Namun belum sempat aku mencapai pintu yang sudah patah setengah itu, kakiku ditahan oleh tangan orang yang tampaknya sudah sekarat.

"Lo... lo harus mati bareng kita." ucapnya di tengah sisa hidupnya yang tak lagi utuh.

Aku mengangkat pistol ke arah kepalanya, "Go to hell," dan menarik pelatuk untuk menembak kepalanya. Tepat setelah itu, tangannya tak lagi memiliki tenaga untuk menahan pergelangan kakiku.

Aku melanjutkan langkahku, dan berhenti di depan pintu itu. Tanganku terangkat, menarik pelatuk, dan menembakkan knop pintu hingga hancur.

Dan tanpa ku sentuh, pintu itu terbuka. Memperlihatkan diriku yang berdiri tegak dengan kedua tanganku mengarahkan pistol ke dalam.

12 Titik Balik (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang