Aku gagal.
Untuk kesekian kalinya, aku katakan jika aku gagal.
Kematian pertama, kematian kedua, dan kematian-kematian lain yang akan datang.
Tidak akan ada seorang pun yang bisa diselamatkan oleh tangan yang bahkan tak bisa menggenggam ujung jari Killa ini.
Dan bodohnya aku menonton semuanya, menonton bagaimana Killa hancur berkeping-keping. Aku menonton TV itu dalam bingkai lingkar mataku.
Diriku yang sialan ini, berani-beraninya hanya menonton dan menyelamatkan nyawaku yang bahkan tak memiliki harga sepeserpun.
Aku meraung saat kakiku kembali menyentuh lantai. Membiarkan tubuhku direngkuh Artha yang kini berdiri di depanku. Tangisan dan teriakanku menggantikan suara runtuhan bangunan yang masih terdengar. Mencari sesuatu yang bisa dijadikan kambing hitam atas kemarahan dan kesedihanku.
Kepalan tangan yang berada di depan dada Artha kini memukul dada lebar itu berkali-kali. Aku seolah menjadikan dada Artha sebagai pelampiasan.
Semuanya, tolong maafkan aku.
Suara tangisanku disusul dengan suara tangisan kecil yang terdengar lebih kecil. Aku mengenalnya, itu jelas milik Rena yang juga sama terpukulnya.
Kematian kedua terjadi di kubu kita.
Semua perhitunganku salah."That's okay, Neth." Artha terus mencoba menenangkanku. Telapak tangan lebarnya mengelus dari pucuk kepalaku hingga turun ke punggungku, mengikuti panjang rambut hitamku. "It's not your fault," imbuh Artha dalam bisikan hangatnya.
Omong kosong apa yang dikatakan Artha? Sudah jelas aku melakukan perhitungan yang salah.
Tunggu, jika perhitunganku benar-benar salah. Kemungkinan besar tidak hanya di ruangan ini yang hancur.
Ruangan selain studio ini, adalah ruangan OSIS. Ruangan dengan jumlah nyawa terbanyak.Lantas aku yang teringat hal itu, menghentikan tangisanku. Merenggangkan pelukan Artha, aku menoleh ke arah bawah. Lebih tepatnya aku menatap ke arah letak ruangan OSIS yang bisa dilihat karena gedungnya yang berseberangan.
Mendengar suara tangisanku yang berhenti dan hanya digantikan segukan membuat Rena, Jian, dan Artha mengikuti arah pandangku.
Di sana jelas terlihat gedung tempat ruangan OSIS hancur. Menyisakan bangunan yang tampak bolong. Ruangan OSIS yang menjadi tempat aman kini tidak tersisa apapun. Di depan ruangan OSIS, tepatnya lorong yang biasa digunakan anggota OSIS untuk bercanda ria kini penuh dengan genangan darah.
Tangisan yang jauh lebih kencang terdengar hingga tempatku berpijak. Di sana sosok lelaki dengan tubuh jangkung tampak terbaring dengan paha Zara yang menjadi bantal.
Dan fakta yang baru aku ketahui, genangan darah itu dimiliki oleh sosok yang menjadi hidup Zara.Stefan, berakhir sebagai kematian ketiga.
Tak hanya itu, anggota lain yang wajahnya masih jelas aku ingat kini juga terkapar di lantai dengan penuh luka.
Mereka membiarkan Zara yang meraung dalam tangisan yang bahkan tak lagi memiliki penenang.
Tanpa sadar aku kembali meneteskan air mata. Tanganku menggenggam ujung baju seragam Artha. Aku tidak akan membiarkan diriku berada di posisi itu, sungguh.
Satu-satunya yang bisa mati di antara aku dan Artha hanyalah nyawaku.
Namun hal ini menandakan jika aku salah perhitungan. Tanda 'X' yang ada di red itu jelas bukan menandakan sebuah pilihan. Seharusnya, itu menjadi sebuah pertanda untuk menghindari dua tempat yang sudah tertebak.
Tapi dengan bodohnya, aku mengarahkan dalam pilihan terburuk. Membiarkan dua tempat itu menjadi dua kuburan baru. tombol untuk kuburan itu berada di lantai ini, dan menjadi penyebab utama bagi semua ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
12 Titik Balik (END)
Teen Fiction(Sudah revisi) Aneth Tisha Andintala, seorang anggota Osis yang terjebak di dalam gerbang sekolah yang selama ini ia bela mati-matian bersama 11 anggota lain. Aneth bertanya-tanya apakah solidaritas, kekompakan dan semua hal bisa bertahan bahkan ny...