Suara dentuman pistol terdengar dua kali. Aku sudah menutup mataku rapat, mempersiapkan kematian yang datang padaku.
Entah kenapa aku bisa menantang begitu berani tadi. Tapi sekarang aku takut. Bukan, aku bukan takut mati, tapi takut kehilangan Aneth.
Namun, aku tidak merasakan sakit apa pun. Tidak ada yang tertancap dalam tubuhku, tidak ada juga darah yang mengalir keluar dari tubuhku. Lantas, aku membuka mataku perlahan, siapa tahu sekarang aku sudah di neraka — tidak mengharapkan surga yang terlalu suci untuk diriku yang kotor.
Namun yang ada di depanku masih sama. Hanya kegelapan, tanpa ada suara.
Hening.
Namun sedikit kemudian, aku menyadari bahwa tidak ada lagi pistol yang mengarah padaku, juga tidak ada lagi pergerakan di bawah kakiku. Yang mati bukan aku, tapi mereka.
Merah di baju seragam dan kakiku, itu berasal dari darah mereka. Lalu siapa pembunuhnya? Siapa yang menarik pelatuk tadi? Aku berputar mencari pelaku.
'Bruk'
Tubuhku berbanting ke belakang dan punggungku menghantam lantai. Menyebabkan lenganku yang tadi terkena goresan peluru terasa sakit, padahal tadi tidak terasa apa-apa. Tetapi kesakitan yang aku rasakan tidak lebih besar dari keterkejutanku.
Aneth, tengah duduk di atas perutku dengan menarik kerah bajuku. Ku lihat wajahnya memerah dengan mata berderai air mata. Aku baru menyadari bahwa tangan yang tengah menggenggam kerahku kini juga membawa pistol.
Ternyata, Aneth pelakunya di sini.
"LO GILA, BANGSAT!" teriak Aneth dengan air mata yang terus mengalir. Aku meraih tangannya dan menggenggamnya erat, mencoba menenangkan. "GUE BILANG TUNGGU DI TEMPAT, DAN JANGAN PERNAH KELUAR!" tambahnya semakin marah, diselingi isakan dalam setiap katanya.
"Maaf, Neth." Aku tahu mengapa Aneth semarah ini. Tapi aku tak mencoba menjelaskan, yang harus kulakukan sekarang adalah menenangkan Aneth terlebih dahulu.
Tangisan Aneth semakin pecah. Gadis di depanku ini melonggarkan genggamannya, masih dengan tangisannya yang meraung. Tangan kanannya yang gemetaran terangkat, menyentuh lenganku yang kini berdarah hingga menghiasi seragamku.
"Gue mohon, Thaaa." Aku terdiam, tak berani menyela ucapannya. "Gue mohon dengerin gue sekali aja," imbuhnya dalam tangisannya.
Ya, ini kesalahanku. Aku harusnya tidak bertindak gegabah dan berpikir menggunakan otak daripada otot. Tapi sesungguhnya, aku hanya tidak ingin Aneth kembali mengorbankan dirinya di sini.
"Neth," panggilku, membuat Aneth mengalihkan perhatiannya padaku. Matanya yang memerah dan tubuhnya yang gemetaran kini fokus menatap mataku. "Gimana? Lo tahu kan rasanya jadi gue selama ini?" Sungguh, ini bukan kata yang ingin aku katakan. Tapi aku sangat yakin, apa yang dirasakan Aneth sama dengan apa yang ku alami selama ini.
Tidak ada jawaban dari Aneth, gadis itu masih diam dan menatap mataku. Walau suara tangisannya masih terdengar, tapi dia hanya termenung di depanku. Tangannya terulur dan berhenti di tengkuk leherku.
Setelah itu, pelukan hangat sudah melingkar di leherku. Aku membalas pelukannya, menepuk punggungnya dengan perlahan. Walau Aneth masih menangis, tapi setidaknya ini sudah lebih baik.
Baru ku sadari Jian dan Rena sudah keluar dari tempat persembunyiannya. Mereka berjalan ke arahku dengan tatapan tajam dan berhenti di depanku.
"Lo gila? Otak lo itu terbuat dari otot apa gimana, anjing?" Lihatlah, Jian yang datang-datang mengomel, ini semakin membuatku ingin memukul wajahnya.
"Yang gak punya otot diem aja," balasku sinis. Ya benar, toh? Jian pintar tapi dia bukan pria yang menggunakan otot atau bertengkar untuk menyelesaikan masalah.
"Congor lo masih bisa jawab, ha? Itu kalo Aneth gak nembak, udah pasti lo mati sekarang," bentak Jian tak terima.
Rena menghela napas. Ku mohon, dia satu-satunya orang yang aku harap tidak ikut mengomel. "Lo ngerepotin Aneth." Sialan, ternyata kata-katanya lebih menyakitkan dari Jian.
Jian dan Rena duduk di sampingku, menunggu Aneth untuk tenang sebelum melakukan hal selanjutnya.
Setelah beberapa saat, Aneth sudah terlihat jauh lebih tenang. Ia tak lagi terisak, napasnya juga sudah terlihat tenang. Aneth menarik tubuhnya dari pelukanku — aku kehilangan pelukan.
Dan turun dari pangkuanku — sekarang aku kehilangan orang yang tadi dipangkuanku.
Aneth duduk di sampingku, menoleh ke arah Jian. "Boleh tolong ambilin tas gue, nggak?" ucapnya meminta tolong. Tas Aneth tadi memang dibawa Jian ke tempat di mana dia bersembunyi.
Tanpa menjawab, Jian mengangguk dan berdiri untuk mengambil tas milik Aneth.
Aneth menoleh ke arahku lagi, matanya menatap dan tampak sayu. Terlihat sekali jika gadis itu merasa sangat lelah.
Namun hal yang tak ku mengerti, gadis itu meraih lengan seragamku yang tampak meneteskan darah. Lalu ditariknya dengan sangat keras.
'Krakkk'
Benar, tepat sasaran. Lengan bajuku robek dengan lebar. Aneth benar-benar marah sekarang. Tak lama Jian datang dengan memberikan tas milik Aneth.
Dan aku tanpa perlawanan hanya diam dan berdiam diri. Menurut pada apapun yang akan terjadi ke depannya. Selama Aneth tidak membenciku, aku akan tetap diam. Aku hanya memperhatikan Aneth yang kini mengeluarkan kotak P3K dari tasnya, dan diletakkan tepat di sampingnya.
Aneth fokus mengobati. Sementara Jian dan Rena fokus melihat ke mayat yang terletak di dekatku. "Looting. Ambil semua yang ada di mereka," ucapan Aneth terdengar seperti perintah sekarang.
Lantas, Rena dan Jian bergerak tanpa membalas ucapan Aneth.
Aku yang dalam masa pengobatan hanya diam dan memperhatikan mereka. Pistol, topi, jaket, semua barang-barang yang terlihat berguna diambil. Tapi yang paling berguna saat ini adalah pistol dan granat. Benar, kita berhasil mendapatkan granat.
Aku mendesis saat Aneth dengan sengaja menekan lukaku menggunakan perban. Gadis itu masih belum juga tenang. "Tadi dapet pistol dari mana?" aku mencoba mengalihkan emosinya.
"Dari sini." Aneth tiba-tiba membuka rok pendeknya. Aku yang terkejut tentu langsung menutup mataku rapat. "Apa, sih? Gue pake celana dalam!" sialan, aku sepertinya semakin membuat Aneth kesal.
Pun aku membuka mataku perlahan, melihat sarung pistol yang terlilit di pahanya. "Dari mana?" tanyaku lagi.
"Waktu Jian ngebunuh, gue looting semua yang ada dan dapet ini." jelasnya dengan singkat. "Sudah." Aneth menepuk pelan lenganku lalu mengangkat wajahnya untuk melihat wajahku.
Tangan Aneth terulur, menarik daguku dan ragangku untuk mendekatkan wajahku padanya. "Jadi jelek gini," gumamnya tajam. Aku hanya tersenyum kecil, tak ingin membalas apapun.
Setelahnya, Aneth meraih salep di kotak dan mengoleskannya di bagian wajahku yang memar.
"Malam ini, kita ambil nyawa yang pantas diambil." ucap Aneth tiba-tiba, tanpa mengalihkan perhatiannya dari wajahku. "Bantai duluan sebelum dibantai. Kalian nggak takut, kan?" tambahnya sembari menoleh ke arah Rena dan Jian yang kini juga tengah menatap Aneth terkejut.
"Nggak," jawab Rena dengan yakin. Kulihat senyum bangga tertarik di bibir kering Aneth. Gadis di depanku kini tersenyum dan mengangguk dengan bangga, dan kembali fokus mengobati diriku.
"Neth," panggilku.
Dia tak membalas, hanya berdiam diri dengan tangan yang terus bergerak. "Biarin tangan gue kotor." Maksudku, tolong biarkan aku yang membunuh, dan tetap diam sambil memberikan perintah padaku. Sungguh aku akan baik-baik saja dibanding melihat Aneth bergerak langsung.
"Then saw you almost die like before?" tangan Aneth berhenti bergerak. Dia menatap mataku datar, memberikan rasa bersalah yang teramat besar. "Mikir sebelum gerak. Gue bisa ngotorin tangan gue buat lo, and if you don't want to see me die. Then kill them for sure for me. Jangan gerak setengah-setengah kayak tadi, ga guna," ucapnya menyakitkan, tapi seperti inilah Aneth.
"Sure," balasku singkat.
Sembari meyakinkan diriku sendiri, aku benar-benar akan membunuh setiap hal yang akan membunuh Aneth. Sungguh, bahkan jika diriku sendiri yang akan menyebabkan bahaya baginya. Aku tidak masalah untuk mati saat itu juga.

KAMU SEDANG MEMBACA
12 Titik Balik (END)
Teen Fiction(Sudah revisi) Aneth Tisha Andintala, seorang anggota Osis yang terjebak di dalam gerbang sekolah yang selama ini ia bela mati-matian bersama 11 anggota lain. Aneth bertanya-tanya apakah solidaritas, kekompakan dan semua hal bisa bertahan bahkan ny...