Bagian 36 : Darah dalam kematian

87 11 0
                                    

Aneth menyaksikan semuanya. Saat kaki kanan Zara menginjak tengkuk leher dan kepala Anias, hingga Zara menusuk punggung Anias berkali-kali menggunakan patahan tajam dari botol kaca, Aneth benar-benar melihat semuanya, termasuk saat Anias... menghembuskan napas terakhirnya.

Kini ia juga melihat Zara yang terduduk di samping tubuh tak bernyawa Anias. Menangis tersedu-sedu, seolah merasa bersalah, meskipun ekspresinya terlihat jelas menunjukkan kelegaan dalam dirinya.

Tangan Zara terulur, menarik pecahan botol kaca yang tadi tertancap di punggung rapuh Anias. Ia kembali berdiri menjulang, siap untuk membunuh anggota selanjutnya.

Langkahnya semakin berat, bahkan terlihat seperti menyeret kaki dibandingkan melangkah. Ia berjalan memunggungi Anias yang sudah dibunuhnya dan hendak pergi ke tempat anggota lain berada.

Namun, yang membuat Aneth terkejut adalah Rena yang tiba-tiba mendobrak pintu lemari dengan kuat dan mengangkat pistol tepat di belakang kepala Zara.

Zara yang terkejut berbalik menghadap Rena. Kini terlihatlah wajah Zara yang semula tertutupi rambut panjangnya. Mata gelap, kantung mata yang tampak sangat hitam, luka di wajahnya, dan darah yang menghiasi kulit putihnya.

Aneth bisa melihat wajah itu saat dirinya ikut keluar dari tempat persembunyian.

Wajah Zara yang semula terkejut kini tersenyum lebar dengan sangat menakutkan. "Waaah, kalian datang tanpa dicari, ya? Bagus, deh! Gue jadi nggak perlu repot," ujarnya, semakin menggenggam erat pecahan botol itu.

Saat Zara hendak mendekat dan mengangkat pecahan botol ke atas untuk melukai Rena, tanpa membuang waktu, Rena menarik pelatuk dan melepaskan peluru tepat di kening Zara.

'Dorrr'

Setelah suara itu, hanya ada keheningan yang tersisa. Membiarkan mata Aneth dan Rena menangkap sisa napas terakhir dari Zara yang kini mematung dengan mata melotot. Keningnya yang telah berlubang meneteskan genangan darah, meleleh melewati wajah cantik Zara hingga menghiasi lantai.

'Brukk'

Tubuh Zara yang tak lagi memiliki nyawa tumbang dan terbaring di lantai penuh darah. Tangan Rena yang tadi menodongkan pistol turun perlahan, beriringan dengan tubuhnya yang berbalik ke arah Aneth.

Memperlihatkan wajah yang berhiaskan darah milik Zara pada Aneth. Seolah seni baru saja terjadi pada wajah dingin Rena. Tidak terlihat sedikit pun penyesalan dari mata maupun raut wajahnya.

"Lo takut sama gue?" tanya Rena yang kini berhadapan langsung dengan Aneth.

Belum terdengar jawaban dari Aneth. Dia masih berdiri di depan Rena dengan keterdiamannya, menatap wajah Rena dengan tatapan datar. "Kalo gue takut, gue juga bisa bunuh lo di sini," jawab Aneth setelah lama menimbang apa yang akan dikatakan pada orang di depannya.

Tentu saja, Aneth akan membunuh siapa pun yang membuat dirinya merasa dalam bahaya. Tidak terkecuali jika itu Rena. Apakah Rena lupa jika dirinya sudah membunuh dua orang sebelumnya? Dan sudah melihat banyak kematian selama di sekolah ini.

Rena menarik bibirnya, memperlihatkan senyum tipis. "Lo bener," balasnya, sebelum menoleh ke arah tubuh Zara. "Gue cuman mau ini cepet berakhir," ucap Rena.

Anggota OSIS yang sekarang dihadapi Aneth dan Rena sudah sangat berbeda dengan yang mereka kenal. Semua anggota, tentunya selain orang-orang yang ada di pihak Aneth, seperti sudah kehilangan jiwanya. Mereka sudah mati sejak mereka mengetahui fakta di ruang guru, dan sisanya mereka hanya menunggu kematian tiba.

Membunuh mereka sekarang, sama saja dengan menyelamatkan mereka dari penyiksaan yang terus berlanjut.

Aneth mengedarkan pandangannya, melihat ke arah jendela kelas yang memperlihatkan langit. Terlihat jika langit tidak lagi gelap. Sudah ada semburat cahaya matahari di sana, dan mereka harus pergi dari sini.

Sesuai dengan apa yang dikatakan Aneth sebelum mereka berpencar. Aneth dan Rena harus kembali ke titik awal untuk bertemu Artha dan Jian.

"Balik ke titik awal," ucap Aneth.

Aneth melangkah keluar kelas. Di belakangnya, Rena mengikuti langkahnya tanpa memberi komentar apa pun. Mereka berbelok menuju anak tangga, meninggalkan dua mayat di kelas suram itu.

Rena memperbesar langkahnya, menjadikan langkahnya beriringan dengan Aneth. Masing-masing memunggungi lorong yang terlihat sepi tanpa berbalik.

Kewaspadaan mereka berkurang tanpa disadari oleh mereka berdua.

"ANETH!"

Dan tanpa mempersiapkan apa pun, Aneth segera berbalik saat namanya dipanggil. Namun siapa sangka, Aneth melihat botol kaca mengarah pada wajahnya dengan kecepatan yang tak bisa dihindari.

'Pranggg'

"AAKKHH!"

Suara teriakan kesakitan terdengar menggema di seluruh sekolah. Bersamaan dengan botol kaca yang terpecah belah, setelah berbenturan dengan kening Aneth. Tubuh Aneth mundur beberapa langkah dan terjatuh di lantai. Membuat Aneth terduduk sembari menutup matanya.

Pecahan kaca itu tak bisa dihindari Aneth. Menyebar dan tertancap di beberapa bagian wajahnya. Termasuk mata kiri Aneth yang kini tertutup rapat, dengan darah yang mengalir deras. Aneth menutup mata kirinya, sementara mata kanannya melotot ke arah sosok yang menyerangnya.

Rena yang tadi berdiri di sampingnya sontak menahan tubuh Aneth. Ia berlutut dan menatap Zerina yang kini berdiri menjulang di depan mata mereka.

Suara tawa Zerina menggema di seluruh penjuru sekolah. Gadis itu tertawa bak orang gila. Dia terlihat seperti sudah lama menunggu momen ini tiba.

Apalagi melihat kedua air mata Aneth yang masing-masing mengeluarkan tetesan air yang berbeda warna.

Rena berdiri dari duduknya, mengambil pistol yang tadi telah dikembalikan pada sarungnya.

Tawa Zerina berhenti pada saat itu juga. Memperhatikan ujung pistol yang kini mengarah pada kepalanya.

"Waaah, kalian lucu banget, ya?" ejek Zerina, berjalan semakin mendekat ke arah Aneth. Kakinya berhenti di dekat kaki Aneth yang terjulur ke depan.

"Gue kira kalian udah mati duluan? Siapa sangka kalian main cosplay-cosplayan gini? Kalian kira bisa ngebodohin orang-orang yang otaknya jauh lebih pinter dari kalian?" Tangan Zerina terulur, menyentuh ujung pistol Rena yang mengikuti pergerakannya. Dan menekan pistol itu ke bawah, seolah memperintahkan Rena untuk menurunkan pistolnya.

Zerina tersenyum ke arah Rena. "Udah, tugas lo udah selesai," ucapnya pada Rena.

Sontak Aneth mengangkat pandangannya ke arah Rena. Pikirannya sudah tak lagi bisa waras saat Zerina mengatakan hal itu pada Rena. Apakah Rena sudah bekerja sama dengan Zerina? Jika iya, maka ini kesalahan terbesar Aneth untuk menempatkan kaki tangan Zerina di kubunya.

Dan kekhawatiran Aneth segera terbukti saat Rena tersenyum lebar. Menuruti Zerina untuk berhenti menodongkan pistol pada wajah Zerina. "Sesuai perjanjian, beri gue hidup," ucap Rena dengan bangga, lalu melangkah mundur ke belakang.

Menyisakan Zerina yang berdiri di depannya. "Gimana? Suka nggak hadiah gue?"

Sialan, Aneth bodoh. Aneth terlalu menganggap mudah labirin di sekolah ini.

Kaki kanan Zerina terangkat tinggi, lalu menginjak pergelangan kaki Aneth dengan kekuatan besar. Cukup untuk membuat Aneth merintih pada saat itu juga.

"Lo kira udah menang, ya?"

Tak ada jawaban dari Aneth, gadis itu hanya semakin menatap tajam Zerina menggunakan mata kanannya.

"Percuma, Neth. Satu-satunya yang berhak hidup itu nyawa yang nggak dibeli," Zerina mencebikkan mulutnya, seolah dia merasa sedih, dengan wajah memelas ia membungkukkan punggungnya untuk semakin mendekati wajah Aneth. "And that's me!" imbuhnya dengan tawa yang lagi-lagi terdengar memuakkan.

"Gue berhak hidup, dan berhak milik siapapun buat keluar dari sini. Inget, kan? Yang boleh keluar cuma dua orang." Zerina memutar tumitnya, semakin menekan pergelangan kaki Aneth.

Sedangkan Aneth hanya bisa menggigit bibirnya. Dia memilih melukai bibirnya daripada memberikan Zerina kesenangan dengan suara rintihannya.

12 Titik Balik (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang