Bagian 14 : home for Artha.

103 10 0
                                    


Suara tangisan menggema di ruangan luas itu. Bersamaan dengan kertas putih yang berterbangan dan berceceran di lantai akibat amarah Killa dan Zico.

Dan aku, sosok yang masih berdiam diri dengan mata kering hanya menatap datar pada apa yang terjadi di depanku.

Apa yang harus aku lakukan? Yang menyakitkan bukanlah fakta yang baru aku tahu. Tapi tangisan dan raungan perempuan di pelukanku yang terus memanggil namaku.

Biasanya aku akan bergegas membuang atau bahkan menghancurkan segala sesuatu yang menjadi penyebab perempuan itu menangis dan memanggil namaku.

Tapi sekarang, aku bahkan hanya bisa berdiri menatap kepalanya yang bersembunyi pada lenganku.

"Artha...." lagi, dia kembali memanggil namaku dengan suara kecilnya.

Maaf, Aneth.

Ini juga menyakitkan untuk berdiam diri mendengar tangisanmu.

"Ya? I'm here, Aneth." balasku sembari memutar tubuh Aneth menghadap ke arahku.

Namun sebuah kesalahan besar bagiku saat memutuskan membawa wajah cantik perempuan itu menghadap ke arahku. Aku bahkan tidak sanggup menghadapi wajahnya.

"Sakit." lirihnya dengan air mata yang mengalir deras di pipinya. Tangisan kerasnya yang tersengal-sengal berkat sesak di dadanya, semakin membuatku bisu.

Tangan kananku terangkat dan meraih wajahnya. "Sorry, Aneth. I can't do anything for you." gumamku membalas ucapannya. Telapak tanganku menghapus setiap air mata yang jatuh, walau rasanya sia-sia saat air mata tak kunjung berhenti mengalir.

Tanganku menyelipkan poni panjangnya di telinga kanannya dan menangkup pipi kanannya.

Demi Tuhan, jika aku menginginkan hidup itu berarti aku dengan telak akan membawa Aneth untuk terus hidup. Sebaliknya, jika Aneth harus mati maka aku pun juga akan mati.

Jadi, tolong jangan menangis. Setidaknya kita akan ke neraka bersama.

•••••

"Nama kamu siapa?" sosok gadis kecil berdiri di samping anak laki-laki yang meringkuk di pojok ruangan.

Wajah kecilnya yang tampak ceria, sungguh sangat tidak cocok dengan keadaan panti asuhan yang bahkan lebih mirip rumah korban bencana alam.

Lalu aku yang mendapatkan pertanyaan itu hanya mengernyit bingung. Apa dia anak perempuan bodoh? Apakah tempat menyeramkan ini bisa dianggap sebagai taman kanak-kanak untuknya?

"Jangan sok asik." sinisku.

Namun bukannya pergi, gadis itu kini duduk di sampingku. Ah, aku baru menyadari jika potongan pendek rambutnya sangat berantakan.

"Kamu baru ya di sini?" tanya anak perempuan itu.

Aku tidak menjawab pertanyaannya.

"Kamu dijual apa dipungut?"

Apa-apaan? Kenapa pertanyaannya tidak cocok untuk anak seusianya? Aku hanya dititipkan orangtuaku! "Kamu nggak diajarin sopan santun ya sama orangtuamu? Aku ini cuman dititipin. Mama sama papa-ku lagi keluar negeri buat kerja."

12 Titik Balik (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang