Sontak wajah mereka pucat pasi saat mendengar ucapan panik dari Zico. Hampir mati? Apa yang terjadi hingga Zico bisa mengatakan hal itu?
Zico duduk di sela-sela lingkaran yang dibuat teman-temannya. "Gue mules banget tadi. Bayangin lo boker sambil gelap-gelapan, mana ada kecoa di pojok kamar mandi," keluhnya, sembari mengelus perut.
Tak berbeda dengan Ezra yang memilih tetap duduk di samping Zico. "Lo gila, Zic. Gue kira kenapa lo keluar kamar mandi langsung lari gitu aja, ternyata cuma gara-gara kecoa," sahutnya.
Plak!
Zico menyentuh kepalanya dengan wajah terkejut saat Killa tiba-tiba memukulnya tanpa aba-aba.
"Jaga omongan lo, ya! Jangan sembarangan ngomong 'mati'. Kita ini di sekolah. Bisa nggak sih kalau bercanda itu jangan kelewatan?" Killa, yang memang memiliki kepribadian mudah terbawa emosi, langsung terpancing oleh ucapan Zico.
Killa memang sedari tadi hanya diam karena masih terlalu takut untuk sekadar membuka mulutnya.
"Iya, iya, maaf," gumam Zico.
Wajah semua orang kini terlihat lebih baik dibandingkan beberapa waktu lalu. Mereka tampak lebih tenang setelah mengetahui bahwa Zico baik-baik saja.
"Yang lain juga, jaga omongan kalian. Bercanda ada batasannya," imbuh Killa seraya menatap satu per satu orang yang ada di sana. Mau bagaimana lagi? Ini semua karena Zico yang menyulut emosinya.
Mereka kembali terdiam, masing-masing merenungkan pertanyaan yang menumpuk di kepala mereka.
"Ini nyokap sama bokap gue nggak ada inisiatif nyari gue, apa ya? Gini amat nggak dipeduliin ortu," ucap Stefan, yang duduk di sebelah Zara.
"Apa daya yang nggak punya ortu," sahut Aneth, sebelum melakukan high five dengan Artha karena merasa senasib. Pada dasarnya, orang-orang yang bergabung dengan OSIS melakukannya untuk mengisi waktu luang dan mengusir rasa kesepian yang mereka miliki.
"Sudah, sudah, ayo tidur. Besok masih ada hari," ucap Zerina.
Mereka semua mengangguk dan mulai mencari posisi yang nyaman untuk tidur. Berbaring di lantai dengan tas sebagai bantal memang bukan posisi tidur yang ideal, tapi apa boleh buat?
Malam itu, mereka akhirnya terlelap setelah kelelahan memenuhi tubuh dan pikiran mereka.
---
Tugas sang bulan sudah berakhir saat matahari naik dan menggantikan posisinya.
Cahaya matahari menyelinap di sela-sela kecil ruangan, membuat ruangan yang semula gelap kini sedikit terang. Itu juga menjadi alasan mengapa mata mereka perlahan mulai terbuka, meskipun rasa kantuk masih begitu kuat.
Klek!
Pintu ruangan terbuka.
Tunggu, bukankah mereka semua masih tertidur? Namun, jika dihitung kembali, hanya ada 11 orang yang masih terlelap. Ah, ternyata memang sedari tadi sudah ada seseorang yang bangun sebelum matahari terbit.
Anias berdiri di antara teman-temannya yang masih tertidur. "Halo semuanya!" Seperti biasa, Anias selalu terlihat ceria di mana pun dan kapan pun.
Beberapa orang terbangun dan duduk, meski mata mereka masih lengket dan terasa berat.
"Lo pagi-pagi udah bangun aja. Dari mana?" tanya Artha, salah satu dari lima orang yang terbangun.
Anias duduk di sebelah Aneth, yang masih berusaha mengumpulkan nyawanya. "Dari ngecek gerbang depan sama belakang. Ini udah jam enam, tapi kok nggak ada satu pun petugas atau guru yang datang, ya?" ucapnya sambil menyambar camilan sisa tadi malam.
Rena refleks mengambil ponselnya dan mencoba menyalakannya. Sesaat kemudian, ia lupa kalau ponselnya sudah mati sejak kemarin malam. Kebiasaan melihat HP begitu bangun memang sulit dihilangkan.
"Sialan, gue lupa," gerutunya.
"Gue laper," celetuk Artha.
"Sama," sahut Jian sambil melamun.
"Ya, kita tunggu aja dulu," timpal Aneth, yang kini matanya sudah terbuka sepenuhnya.
"By the way, badan gue lengket banget dari kemarin belum mandi. Mana AC ruang OSIS mati," keluh Anias, mengendus bagian ketiaknya sendiri.
Merasa setuju dengan ucapan Anias, mereka semua mengangguk.
"Apa kita mandi aja, ya? Bajunya tetap pakai ini," usulnya. Sebuah ide bagus, tapi rasanya terlalu ribet untuk dilakukan dalam kondisi seperti ini.
"Yaelah, nanggung banget. Kan habis ini kita pulang," sahut Ezra, entah sejak kapan ia terbangun.
"Iya, iya, bener," balas Anias.
"Tapi ya, better kita keluar daripada stay di ruangan panas kayak gini," lanjut Ezra, bangkit dari duduknya dan keluar ruangan untuk mencari udara segar.
"Ikut!"
---
Mereka hanya berjalan mengitari sekolah, berharap menemukan tanda-tanda bahwa gerbang sudah terbuka. Namun, hingga jam 12 siang, gerbang masih terkunci rapat.
Di sana, tiga orang siswi berdiri memandang gerbang dengan tatapan kosong.
"Ini beneran nggak ada yang sekolah? Emang kemarin ada informasi kalau hari ini libur, ya?" tanya Zara, memecah keheningan.
"Setahu gue sih nggak ada info. Kan seminggu ini sekolah sibuk nyiapin festival band," jawab Rena, yang berdiri di samping Zara dengan posisi yang sama persis. Sementara itu, Aneth di sebelahnya masih tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"WOY! KALIAN NGAPAIN?!"
Mereka berdua sontak menoleh ke arah sumber suara.
Zico berdiri di teras lantai dua dengan camilan di tangannya. Lagi-lagi, itu adalah camilan sisa tadi malam.
"ITU KAN MAKANAN SEMALEM! MASIH ENAK? DARI KEMARIN BUNGKUSNYA NGGAK DITUTUP, LOH!" teriak Zara saat menyadari hal itu.
Zico mengacungkan jempolnya. "MASIH ENAK."
Setelah itu, ia berlalu begitu saja. Ya, memang hanya itu yang ingin ia ucapkan.
Aneth memandang Zico, lalu sebuah ide nakal muncul di kepalanya. Namun, ia memilih untuk memendamnya, mengingat risiko yang mungkin harus ia tanggung setelah mereka keluar dari sini.
"Tapi gue laper," gumam Aneth, cukup pelan tapi masih bisa didengar kedua temannya.
"Sama," sahut mereka.
Mereka pun berjalan menuju tangga untuk kembali ke ruangan OSIS. Sejujurnya, jauh di lubuk hati, Aneth mulai merasa bahwa harapannya untuk keluar dengan mudah dari sekolah ini semakin menipis. Namun, ia menepis pemikiran itu sekuat tenaga. Ia masih ingin percaya bahwa semua ini hanyalah kebetulan.
"Halo semuanya," sapa Zara saat memasuki ruangan OSIS.
Aneth memandang satu per satu temannya yang tengah melakukan berbagai aktivitas. Ada yang tidur, bermain Uno, memakan camilan sisa kemarin, atau bahkan bercanda ria.
Anias menoleh ke arah Aneth. "Gimana? Udah ada tanda-tanda orang datang?" tanyanya.
Aneth menggeleng kecil dengan ekspresi sedih.
Ia menghela napas lelah. "Kita tunggu lagi aja, ya. Sabar," ucapnya.
Sungguh, ia sangat takut jika teman-temannya merasakan keputusasaan yang kini tengah menghantuinya. Tapi beruntung, mereka masih bisa bersabar dan tetap berpikir positif.
---
Namun, menjelang malam, harapan itu mulai memudar.
"Gue laper," untuk kesekian kalinya, seseorang mengeluh.
Zerina hanya bisa mematung. Sebagai ketua, ia ingin mengalihkan perhatian mereka. Tapi, usahanya terasa sia-sia.
Aneth menatap mereka.
"Ayo bobol kantin sekolah. Kalau semisal dihukum, itu urusan belakangan."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

KAMU SEDANG MEMBACA
12 Titik Balik (END)
Teen Fiction(Sudah revisi) Aneth Tisha Andintala, seorang anggota Osis yang terjebak di dalam gerbang sekolah yang selama ini ia bela mati-matian bersama 11 anggota lain. Aneth bertanya-tanya apakah solidaritas, kekompakan dan semua hal bisa bertahan bahkan ny...