Aku baru menyadari hal ini ketika melihat kejanggalan dari benang merah yang disusun Aneth. Aku langsung menyampaikan apa yang aku pikirkan padanya.
Aku, Rena Rich Mayta, pertama kali merasakan ketertarikan yang begitu besar dalam hidupku. Entah mengapa, aku merasa puas setiap kali berhasil menjawab teka-teki yang diberikan oleh sekolah ini.
Mungkin agak gila, tapi aku menyukai apa yang terjadi di sini. Kalian mungkin berpikir aku gila, dan aku tahu itu. Tapi sekolah ini terasa seperti sebuah permainan, dan aku merasa tertarik, meski nyawaku menjadi taruhannya.
Tidak, semua permainan memang membutuhkan tumbal, bukan? Bedanya, jika aku mati di sini, aku tak akan hidup lagi seperti di game ponselku. Tapi aku tetap tertarik, bahkan lebih dari sebelumnya.
Seperti yang teman-temanku bilang, aku seorang penulis novel dengan genre thriller-fantasi. Jadi, jika aku bisa bertahan hidup, aku pasti akan mendapatkan pengalaman yang lebih dari cukup untuk menjadi penulis hebat.
Selain itu, aku menyukai cara berpikir Aneth. Jika gadis itu menjadi seorang penulis, aku yakin novelnya akan sangat hebat.
Karena itulah, aku mengikuti langkah-langkahnya tanpa ragu.
Gadis itu berdiri di sampingku, tampak sedang mempertimbangkan apa yang aku sampaikan.
"Masuk akal," ucapnya singkat. Entah mengapa, kata-katanya membuatku merasa senang, seolah mendapatkan pujian dari seseorang yang keren. "Dilihat dari perubahan sikap Bapak, dan langkah sekolah yang terkesan buru-buru, mungkin kita benar-benar kurang 'memuaskan' penonton atau investor dengan pertunjukan kita. Jadi mereka sengaja mengambil langkah yang tidak sesuai dengan prinsip permainan mereka," jelasnya.
Mataku berbinar menatapnya, ingin mendengar lebih banyak lagi mengenai apa yang ada dalam pikirannya.
"Berarti sejak awal, semuanya tidak sesuai dengan rencana mereka," kata Jian yang tiba-tiba menimpali.
"Atau bisa jadi, ada orang yang membantu 'mereka' supaya kita berjalan sesuai dengan rencana mereka," jawab Aneth, sambil menunjuk salah satu red.
Benar, kita belum mengetahui jawaban dari red itu. Aku pun masih belum bisa menebak siapa salah satu dari dua belas anak yang dimaksud.
"Zara?"
Mendengar nama itu disebutkan, aku langsung menoleh ke arah sumber suara, diikuti oleh Jian dan Aneth yang juga menatap dengan fokus.
"Kenapa lo nyebut dia?" tanyaku pada Artha, yang hanya memasang wajah polos, seolah dia hanya menebak saja.
Artha mengedikkan bahunya acuh, "Dia kelihatan sus banget. Selalu menentang pendapat Aneth dan memulai debat gak penting. Dia juga yang paling semangat menyebarkan rumor kalau Aneth pembunuh kematian pertama," jelasnya.
Terdengar masuk akal. Zara memang sering menentang pendapat Aneth, terkadang memaksa anggota OSIS untuk mengikuti apa yang dia inginkan.
"Yakin lo?" kini aku menoleh ke arah Jian, yang sedang tersenyum miring ke arah Artha.
Mendengar pertanyaan Jian membuat kebimbangan menguasai pikiranku. Kita tidak bisa sembarangan menebak, karena jika kita salah, kita bisa mencurigai orang yang salah.
"Zerina?" Artha kembali menyebut nama seseorang.
Nama kedua yang disebut Artha cukup membuat kita semua terdiam. Termasuk aku, karena aku bahkan tak berpikir ke arah sana. Zerina sangat terbuka, berpikiran luas, dan memiliki kepribadian yang tenang. Tapi di sini, tidak ada yang mustahil.
Tanpa menjawab, Jian menarik sudut bibirnya ke bawah sambil mengangkat kedua bahunya dengan acuh. Sungguh, terkadang Jian tampak mencurigakan.
"Bukan lo, kan?"

KAMU SEDANG MEMBACA
12 Titik Balik (END)
Teen Fiction(Sudah revisi) Aneth Tisha Andintala, seorang anggota Osis yang terjebak di dalam gerbang sekolah yang selama ini ia bela mati-matian bersama 11 anggota lain. Aneth bertanya-tanya apakah solidaritas, kekompakan dan semua hal bisa bertahan bahkan ny...