Bab 3: night with fear

172 46 16
                                    

Semua membeku saat suara dari Bapak Kepala Sekolah berakhir. Mereka bingung, apakah ini hanya candaan semata? Ataukah mereka benar-benar harus bertahan di sekolah ini?

"Udah, jangan ke-trigger dulu. Kita tunggu aja sampai besok. Gue yakin semua ini cuma prank. Bisa jadi, kan, lusa tiba-tiba ada kabar berangkat ke Jogja?" ucap Jian, mencoba menenangkan teman-temannya yang dilanda rasa takut.

Zara, yang sedari tadi gemetar ketakutan, kini tersulut emosi setelah mendengar ucapan santai Jian. "Jangan ke-trigger gimana? Lo masih mikir ini candaan setelah denger speech Bapak panjang lebar kayak tadi?!" bentaknya.

"Ya terus, lo percaya hal gak masuk akal yang diomongin Bapak tadi?! Lo ngotak! Kita ini hidup di zaman di mana semuanya serba hukum! Sekolah kita juga bukan sekolah yang jauh dari pemukiman warga! Lo mikir dong, ya kali warga gak tahu kalau ada yang kekunci di dalam!" Sejujurnya, Jian juga takut, hanya saja dia mencoba membantah semua pemikiran buruknya.

"Sekolah kita besar, Jian! Sekolah kita ada di tengah-tengah pepohonan yang dibangun sama Bapak! Sekalipun lo teriak di sini juga gak akan ada warga yang denger!" Zara berteriak, dengan air mata yang sudah siap meluncur. "Kalau lo lupa, gak ada hal mustahil yang bisa dilakukan Bapak."

"Bisa stop nggak?! Ini baru permulaan, dan kalian udah mau pecah gitu aja?" Zerina, yang semula memeluk salah satu anggotanya, kini berjalan ke tengah untuk menjadi penengah di antara keduanya. "Bener kata Jian, kita tunggu sampai besok. Kita tenangin diri dulu," imbuhnya sebelum berjalan mendahului semua anggota OSIS.

Mau tak mau, mereka semua berjalan mengikuti langkah Zerina. Mereka takut. Mereka ingin berteriak meminta tolong sambil menangis, tetapi mereka sadar bahwa melakukan hal yang sia-sia hanya akan membuang tenaga percuma.

Benar, jalan keluar untuk saat ini adalah menunggu.

---

Jam menunjukkan angka 01.00, yang berarti mereka sudah melewati beberapa jam hingga tengah malam tiba.

Di tengah kegelapan, seluruh anggota berkumpul dan tidur di ruang OSIS setelah meja serta kursi mereka pindahkan ke pojok ruangan agar lebih luas. Mereka tidak benar-benar tidur. Bagaimana bisa tidur setelah semuanya terjadi begitu cepat?

Mereka hampir dimakan rasa bosan saat menyadari bahwa mereka di sini tanpa hiburan. Beruntung, salah satu anggota membawa UNO, permainan kartu yang bisa mengurangi rasa bosan mereka. Tentu saja mereka tidak kehabisan ide. Mereka mencari senter milik OSIS yang tersimpan di lemari untuk mengurangi kegelapan yang memeluk mereka.

"Udahlah, capek gue kalah mulu." Tampak Zico membanting beberapa kartu dari tangannya saat menyadari bahwa ini sudah kesekian kalinya dia kalah telak.

Zico berdiri dari duduknya. "Siapa yang mau ikut gue?" tanyanya pada teman-teman yang masih fokus bermain UNO.

"Gue ikut. Mau ke mana lo?" tanya Ezra.

"Boker. Gue udah mules banget, udah gak bisa ditahan."

"Gak jadi. Pergi aja sendiri sono."

"Katanya kalau temen jahat, nanti pantatnya panjang."

"Gak masuk akal banget, anjir. Yaudah, sini gue anter."

Dengan ekspresi terpaksa yang tertera dengan jelas, Ezra berdiri dari duduknya dan mengikuti langkah Zico dari belakang sambil membawa senter.

"Inget ya, cuma nganter aja! Jangan ngehomo juga!" teriak Rena, menggoda kedua temannya yang sangat kesal jika dituduh hal-hal aneh.

Tawa kembali memenuhi ruangan, dan mereka melanjutkan permainan kartu, ditemani camilan yang dibawa oleh Zara. Bisa dibilang, saat ini Zara adalah penyelamat mereka dari kelaparan di tengah malam.

Sementara itu, di sisi lain, Ezra kini memimpin jalan setelah Zico tiba-tiba berhenti dan meringis, menandakan bahwa dia takut berjalan di depan.

"Ezra." Entah ada apa, Zico memanggil Ezra dengan nada pelan. Beruntungnya, Ezra masih bisa mendengar suara Zico.

"Apaan?"

Zico menghentikan langkahnya, menatap ke atas. "Lihat ke atas, Ez."

Ezra langsung berhenti. Mereka menatap CCTV yang masih menyala di langit-langit lorong lantai dua, tepat di pojok dekat tangga. Jelas sekali jika CCTV itu masih berfungsi. Namun, yang menarik perhatian mereka adalah kain merah yang terikat di belakang CCTV.

"Kain merah itu udah lama di situ? Atau baru-baru ini?" tanya Zico.

Ezra hanya menggeleng, menandakan bahwa dia juga tidak tahu.

Sejenak, mereka saling berpandangan. Terlintas di pikiran mereka tentang kejadian tadi. Bagaimana jika memang mereka harus mengumpulkan dan memecahkan teka-teki ini untuk bisa keluar?

"Lo gendong gue, Zra. Biar gue ambil." Pada akhirnya, Zico mengikuti kata hatinya untuk mengumpulkan sedikit demi sedikit hal yang menurutnya mencurigakan.

Tak berbeda dengan Zico, Ezra pun mengikuti permintaannya, berjaga-jaga jika apa yang terjadi memang benar adanya, walau dia sendiri masih belum sepenuhnya percaya.

Ezra membungkuk, membiarkan Zico duduk di bahunya agar bisa menjangkau kain merah yang cukup tinggi letaknya. "Nyampe gak?" tanya Ezra dengan nada tinggi.

"Nyampe, tapi lo jangan banyak gerak, anjing! Gue gak bisa ngelepas kainnya kalau lo gerak mulu." Omel Zico saat dirinya kebingungan karena Ezra tidak bisa diam.

"Ya gimana gue gak gerak, kaki gue udah gemetaran nahan tubuh lo, ya bangsat! Jadi, cepetan! Jangan banyak ngomong!"

Tak menggubris omelan Ezra, Zico memfokuskan diri untuk melepas kain yang diikat lumayan rumit.

Puncaknya, kaki Ezra tak lagi kuat menahan tubuh Zico. Mereka berdua jatuh. Namun, untungnya, kainnya berhasil terlepas bersamaan dengan mereka yang terjatuh.

Zico segera berdiri, memegangi bagian pantatnya. "Udah nih, bawa dulu, Zra. Gue udah gak bisa nahan perut mules gue. Maaf, waktu lo gendong tadi, kelepasan kentut dikit." Ucapnya sebelum membawa lari senter yang tergeletak.

Berbeda dengan Ezra yang masih terlentang dengan kain merah di perutnya. Dialah yang merasakan sakit, lantaran berada di bawah dan tertimpa Zico. Perlahan, ia berdiri, menggenggam kain itu sebelum memasukkannya ke dalam saku celananya.

"Zico, bangsat. Pantes bau." gumam Ezra sebelum berlari menyusul Zico.

---

Di ruang OSIS, saat semua masih bersenang-senang bermain kartu walau rasa kantuk mulai menyerang, mereka memutuskan untuk mengakhiri permainan dan duduk melingkar.

"Kangen Bu Raya." Gumam Zerina.

Sebagai Ketua OSIS, Zerina memang tegas. Tapi, bagaimanapun juga, dia tetap membutuhkan tempat untuk berbagi keluh kesah.

Dan kini, mereka semua membutuhkan sosok Bu Raya, pembimbing OSIS sekaligus tempat mereka mencurahkan perasaan. Namun, di saat seperti ini, Bu Raya tidak ada di sana.

Aneth dan Rena, yang duduk di kedua sisi Zerina, langsung memeluknya untuk menenangkan perasaan sedih dan khawatir yang dia rasakan.

"Bu Raya pasti juga khawatir sama kita, Zer. Semoga besok beliau datang buat jemput kita," ucap Rena, mengelus punggungnya.

Mereka semua diam seribu bahasa. Ingin bercanda seperti biasanya, tetapi terlalu takut.

Brak!

Pintu ruangan terbuka kasar, menampilkan dua pria dengan napas tersengal-sengal.

Masih ngos-ngosan, Zico berjalan masuk dengan Ezra di belakangnya.

"Gue... gue hampir mati."

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

12 Titik Balik (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang