Tumpukan kertas itu dibawa ke tengah ruangan, mereka duduk dengan kertas yang terhampar di hadapan. Tidak ada percakapan, hanya suara kertas yang dibalik-balik, dengan aroma kertas tua yang tampak menguning, beberapa bagian bahkan terdapat bekas hangus. Waktu yang telah berlalu jelas tercermin pada kondisi kertas-kertas ini.
Ditengah tumpukan itu, Artha menemukan tiga foto yang terselip. "Ini foto sekolah tahun kapan?" tanyanya, menatap foto yang tampak usang, menunjukkan kondisi sekolah yang jauh berbeda dengan sekarang.
"Liat sini." Jian mengambil foto dari tangan Artha tanpa permisi.
Dua foto tersisa di tangan Artha. Foto kedua memperlihatkan sebuah meja bundar dengan beberapa orang duduk di kursi, tertawa, dikelilingi tumpukan kertas yang menandakan suatu pertemuan. Foto ketiga menunjukkan sekelompok orang berjas formal, berdiri sejajar untuk berfoto bersama. Di tengah-tengah mereka, seorang perempuan menggendong bayi.
"Gila, auranya old money banget," gumam Artha, melirik foto itu dengan heran.
Sementara itu, Rena membuka tumpukan kertas lainnya. Salah satunya menarik perhatiannya. Sebuah map yang dilipat dengan kertas yang lebih tebal, berbeda dengan kertas lainnya. Rena memegangnya dengan hati-hati, membawanya ke pangkuannya, dan membuka lembarannya. Awalnya, ia pikir itu hanya peta sekolah biasa, tapi begitu dibuka sepenuhnya, Rena terkejut melihatnya. Itu adalah rancangan bangunan.
Setiap sisi bangunan dijelaskan secara rinci, mencatat penggunaan setiap ruangan dan apa yang akan terpasang di sana. Rena segera mengenali beberapa ruangan yang ada di peta itu. "Ini ruangan OSIS..." gumamnya, menunjuk ke pojok.
Melihat kertas besar yang dibuka, Jian dan Artha langsung tertarik dan meninggalkan foto-foto yang menurut mereka tidak terlalu penting. Jian melangkah lebih dekat, duduk di samping Rena, memandangi peta itu. "Ini kayaknya peta sekolah kita, kan?" Jian bertanya sambil menunjuk ke beberapa bagian yang dia kenali. "Oh! Ini ruangan pembuangan informasi yang hanya bisa diakses sama staff. Kita ada di sini," kata Jian, menunjuk ruangan tempat mereka sekarang berada.
"Pantes tadi pintunya pake smart door lock," sahut Artha, merenung.
Sementara itu, Aneth satu-satunya yang masih fokus pada sebuah kertas. Kertas itu tampak berbeda—map yang mewah, seperti sebuah proposal lama. Aneth terus membaca dengan seksama.
"Sekolah Garuda Merah, dibangun pada tahun 1997, atas nama Graha Aden Dirtadengga, yang melibatkan 13 investor besar, untuk membangun sekolah dengan tujuan hiburan. Hiburan yang dijanjikan akan dilaksanakan pada tahun 2024, dengan Raya Deina Dirtadengga sebagai pengganti Graha Aden Dirtadengga," Aneth membaca keras, keningnya berkerut.
Tangan Aneth yang semula memegang kertas perlahan menurun, wajahnya menatap kosong. "Bu Raya, ternyata kepala sekolah di sini?" ujarnya dengan nada tidak percaya.
Rena yang mendengar itu cepat melepaskan map di tangannya dan meraih kertas dari tangan Aneth. Matanya memindai setiap kata di sana. Kertas itu seperti sebuah perjanjian, yang mengaitkan Bu Raya sejak kecil dengan pembangunan sekolah ini.
"Jadi dari awal sekolah ini dibangun untuk ini semua?" Rena bertanya dengan wajah pucat.
Aneth mengambil beberapa kertas yang sebelumnya dibacanya. "Ini semua adalah perjanjian dan proposal pengajuan dana untuk pembangunan sekolah ini. Garuda Merah bukan sekolah negeri. Sekolah ini swasta, dibiayai oleh investor. Mereka mengumpulkan para pejabat tinggi dengan kekayaan besar untuk bergabung dalam permainan ini," jelas Aneth dengan yakin, setelah menganalisa semua informasi.
"Sama seperti presentasi yang kita lakukan di kelas. Kita pasti memberikan semua detail, kan? Nah, proposal ini juga begitu. Ada yang membahas dana, ada yang merinci persiapan untuk permainan ini, dan foto yang kalian lihat tadi... itu saat mereka 'presentasi' di depan para investor," Aneth melanjutkan, menunjuk satu per satu kertas yang terhampar.
Keterkejutan memenuhi wajah mereka semua. Bahkan menutup mulut yang ternganga rasanya sudah sangat sulit.
"Gak heran, gak mungkin rencana yang melibatkan puluhan nyawa nggak ada persiapan panjang," timpal Jian yang sedari tadi diam.
Aneth berdiri, mengambil denah sekolah yang tadi dipangku Rena. Ia berjalan menuju tembok dan menancapkannya dengan paku yang tersisa, di samping benang merah yang sudah terpasang.
"Ini denah sementara. Tapi gue yakin, denah yang sekarang nggak akan jauh beda," kata Aneth, berdiri tegak di depan denah yang sudah terpasang di tembok.
Ketiga orang yang semula duduk di antara tumpukan kertas kini berdiri dan berjalan mendekat. Mereka memperhatikan dengan seksama, membaca setiap informasi yang ada di denah.
"Kalau sesuai dengan denah ini, ada beberapa jebakan bom yang sudah tertanam di bangunan ini. Contohnya kejadian tadi—tiba-tiba bom aktif padahal Killa cuma nyalain tombol mic. Menurut gue, sebenarnya tombol aktif itu ada di pusat, bukan di sini. Kalau bom sudah aktif sejak tombol Killa ditekan, pasti bom itu udah meledak sejak awal siaran," jelas Aneth panjang lebar.
Artha, Jian, dan Rena mengangguk mengerti.
Tiba-tiba jari Rena menunjuk ke arah sebuah ruangan yang sebelumnya tidak bisa mereka akses. Itu adalah ruangan milik OrGar. "Basecamp... kita?" tanya Rena, suaranya terdengar bingung. Ia bukan sedang menyebutkan base mereka, melainkan membaca informasi di ruang itu.
Fokus mereka berpindah pada ruangan itu. Di sana tertulis jelas bahwa ruangan itu adalah 'pusat' dari semua kejadian ini.
"Jadi sedari awal OrGar itu nggak pernah ada? OrGar itu 'mereka', dan sejak awal OrGar adalah staf dari pemilik sekolah ini?" Artha menyimpulkan.
"Menurut gue juga gitu," sahut Jian.
"Wow," Rena menutup mulutnya, matanya melebar saat memperhatikan denah yang sangat rinci. Beberapa bagian menampilkan ruang bawah tanah yang disiapkan untuk menampung mayat. "Bahkan kuburan kita udah disiapin di sini," gumamnya, suara seraknya menggema di ruangan.
"Mulut lo," jawab Artha dengan nada sinis.
Aneth masih terdiam, memandangi denah di depan matanya. Ia mencerna setiap informasi yang baru mereka temukan. Semua ini semakin rumit dan penuh dengan misteri.
Sekolah ini, yang awalnya tampak seperti tempat belajar biasa, ternyata memiliki tujuan yang jauh lebih gelap. Pemilik sekolah sebelumnya adalah ayah dari Bu Raya, yang berarti Bu Raya adalah pemilik yang sekarang. Sekolah ini dibangun dengan satu tujuan, dengan melibatkan investor yang memiliki ide gila untuk bergabung dalam permainan yang jauh lebih besar. Dan OrGar, yang selama ini mereka kira sebagai organisasi siswa, ternyata hanyalah staf yang bekerja di balik layar.
Denah yang mereka temukan semakin menunjukkan betapa rumitnya permainan ini, dengan berbagai jebakan yang sudah disiapkan. Dan ruangan tempat mereka berada sekarang adalah ruangan yang seharusnya hanya bisa dimasuki oleh 'staf'.
Jian menatap kosong ke depan, matanya tidak berbinar seperti biasanya. "Kita masuk ruangan yang salah," ujarnya dengan nada datar.
Aneth langsung menoleh ke arah celah ruangan yang mulai gelap. Waktu untuk kabur sudah habis. Mereka harus siap menghadapi masalah yang akan datang, di detik-detik menjelang hari ke-12.

KAMU SEDANG MEMBACA
12 Titik Balik (END)
Teen Fiction(Sudah revisi) Aneth Tisha Andintala, seorang anggota Osis yang terjebak di dalam gerbang sekolah yang selama ini ia bela mati-matian bersama 11 anggota lain. Aneth bertanya-tanya apakah solidaritas, kekompakan dan semua hal bisa bertahan bahkan ny...