Bagian 26 : Highest

101 11 1
                                    

Bulan telah terbenam, digantikan dengan langit yang kian membiru seiring dengan sinar matahari.

Kegelapan telah lenyap untuk sementara, dan sekolah yang sudah lama tidak berfungsi ini terlihat jauh lebih damai dalam embun pagi.

Namun di antara kedamaian itu, lima orang tengah terduduk di anak tangga lantai 4. Padahal tujuan mereka untuk pergi ke studio rekaman hanya berbeda satu lantai lagi.

Tapi keringat yang sudah menguasai wajah dan tubuh mereka sudah cukup menjelaskan betapa lelahnya mereka sekarang.

Tidak terkecuali dengan Aneth yang kini mendongak seraya mengatur napasnya. Ternyata ini cukup melelahkan juga. Apa karena tangganya yang cukup panjang? Entahlah, yang jelas Aneth sangat lelah dan merasakan kakinya sakit.

Mereka memang sudah terbangun saat dini hari tadi dan bersiap dengan membawa tas berat milik Aneth. Lalu naik saat matahari mulai terlihat, tapi setelah 30 menit berlalu pun mereka belum juga sampai di tujuan mereka.

"Kaki gue sakit!" teriak Aneth frustasi.

"Sini gue gendong aja." tawar Artha sambil berjongkok di depannya. Tas milik Aneth yang penuh dengan persiapan itu dialihkan ke depan tubuhnya.

Namun bukannya merespon, Aneth kini menukikkan alisnya tajam. "Gila lo. Gak mau!" ucapnya sebelum berdiri dan berjalan mendahului teman-temannya.

"Tunggu, Aneth!!!" panggil Killa sebelum mengikuti Aneth.

Mereka kembali melanjutkan untuk naik ke atas. Aneth yang memimpin jalan, sesekali melihat setiap sudut dari lorong tangga.

Sekedar informasi, tangga gedung ini berada di samping gedung. Di samping kanan dan kirinya ada tangga di setiap lantainya. Dan tangga itu hanya dipisahkan menggunakan pagar agar tidak jatuh dari ketinggian yang cukup untuk membunuh orang.

Lalu sampailah mereka di studio rekaman. Di atas studio rekaman ini hanya ada rooftop yang tak pernah dikunjungi siapapun.

Aneth menyadari sesuatu saat dalam perjalanan ke sini. CCTV hanya ada sampai di lantai 3 gedung ini, setelah itu tak ada lagi CCTV.

Jika mereka bisa menyelesaikan teka-teki ini dengan aman, mereka bisa menggunakan studio ini sebagai tempat aman baru.

"Haah, gue capek." lenguh Jian membungkuk dengan banyak keringat di dahinya. "Jangan sentuh apapun," peringat Jian sembari berjalan mendahului teman-temannya, menuju pintu studio lebih dulu setelah menyesuaikan napasnya.

Tangan Jian menggenggam knop pintu, tetapi tangannya tak juga membuka pintu itu. Jian yang membelakangi teman-temannya lantas memutar kepalanya ke belakang. Menatap mata teman-temannya dengan wajah khawatir.

Aneth, Artha, Rena, dan Killa yang menunggu tindakan Jian semakin merasa gugup. Tanpa disadari itu membuat tenggorokan mereka menggulir ludah dengan kesulitan. Aneth yang berada di dekat Jian, menatap Jian dengan pandangannya bertanya-tanya.

"Nungguin, ya..." Jian tiba-tiba meringis sambil menunjuk wajah temannya satu per satu. Tawa jenaka terdengar dari Jian, menertawakan wajah teman-temannya yang kini menatapnya datar.

Tangan Aneth terangkat tinggi, ia mendaratkan telapak tangannya pada punggung Jian. Hingga suara nyaring dan suara rintihan terdengar bersamaan, menandakan sekeras apa Aneth memukul Jian. "Jangan bercanda!" tegur Aneth kesal.

Masih dengan rintihannya, badan Jian menggeliat saat merasakan panas di punggungnya. "Iya-iya!" sinisnya sebelum dirinya kembali fokus pada pintu di depannya.

Dengan santai Jian memutar knop pintu dan mendorong pintu ke dalam. Betapa leganya mereka saat pintu tidak terkunci dan terbuka lebar tanpa harus bersusah payah.

12 Titik Balik (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang