Semua anggota memilih untuk mengikuti tindakan Jian. Mereka berbaring dalam jarak yang dekat, kecuali Artha yang berada sedikit lebih jauh dari empat anggota lainnya.
Aneth berbaring di bawah meja, menyamping menghadap Killa yang juga tengah menghadap dirinya.
Aneth tahu bahwa ini akan menjadi hal yang berat bagi Killa. Perempuan itu cukup sensitif, dan emosinya belum bisa dikendalikan dengan baik. Aneth sudah mengenal Rena, sejak awal sudah bekerja sama dengan Jian, dan jelas selalu bersama Artha dalam menghadapi semua ini.
Tapi Killa... Perempuan itu masih baru dalam hal ini. Dia adalah seseorang yang mengikuti naluri perasaannya, dan sebelumnya lebih berpihak pada cara anggota kubu lain dalam menghadapi bencana ini.
Dan sekarang, perempuan itu dipaksa untuk terus melangkah maju menggunakan logika, melupakan perasaannya.
Itu pasti sangat sulit bagi Killa.
"Neth..." panggil Killa, meski matanya masih terpejam.
Aneth, yang sedari tadi memperhatikan kelopak mata Killa, menjawab panggilannya. "Hm?"
Perlahan, Killa membuka matanya, menatap Aneth dengan sorot sayu. "Lo pernah denger soal kasus pembunuhan di daerah timur nggak?" tanyanya.
Pembahasan yang tiba-tiba itu membuat Aneth mengernyitkan dahi. Ia mencoba mengingat kasus pembunuhan apa yang dimaksud Killa. "Eum... yang mana?"
"Kasus sepuluh tahun lalu."
Aneth kembali mencoba mengingat-ingat. Begitu ia berhasil mengingat kasus yang dulu cukup gempar di kotanya, ia mengangguk cepat. "Tentang suami yang bunuh istri sama selingkuhan istrinya itu, kan? Kasus itu parah banget, emang—"
"Itu kasus orang tua gue."
Ucapan Aneth terpotong. Bibirnya membeku, terbuka lebar. Tadinya ia kira Killa hanya ingin membahas kasus yang cukup gempar untuk mengalihkan topik. Tapi ia benar-benar tak menyangka dengan apa yang baru saja dikatakan Killa.
"Kill?" Aneth termenung.
Sementara itu, lawan bicaranya kini tersenyum manis. "Ssst, ini rahasia kita, ya?" bisik Killa.
Aneth mengangguk setuju. Ia penasaran dengan fakta mencengangkan ini, tapi tidak akan bertanya lebih jauh jika Killa memang tidak ingin membahasnya.
"Mama gue tukang selingkuh. Papa gue psikopat gila yang nggak bisa nahan emosinya, dan emosi gue nurun dari dia. Semua orang bilang gue mirip sama Papa gue. Setelah kejadian buruk itu, nggak ada satu pun media yang khawatir sama kondisi anak dari dua bajingan itu. Gue dioper sana-sini sama saudara gue, nggak ada yang mau nampung gue. Dan sialnya, gue sadar kalau keadaan gue setelah kejadian buruk itu lebih buruk daripada saat gue masih hidup bareng si psikopat. 'Si psikopat hitam gila,' mereka nyebut gue gitu."
"Setelah itu, gue tinggal bareng tante gue yang udah berkeluarga." Killa merengkuh tubuhnya sendiri, semakin menyusut dalam posisi berbaringnya. "Dan jadi pelampiasan nafsu bejat om gue," tambahnya, mendeskripsikan kejadian yang berulang dalam satu kalimat.
Itu menyakitkan.
Rasanya sangat tidak beruntung saat Aneth memahami bagaimana ribuan luka itu ada.
Aneth tak merespons, membiarkan Killa berbicara dengan mata yang terpejam erat.
"Gue baik-baik aja sama pemandangan mayat di depan mata gue. Lo nggak perlu khawatir sama gue, Neth." Mata Killa terbuka seiring kalimat terakhirnya berhasil diucapkan.
Aneth belum merespons, kembali tenggelam dalam iris hitam Killa. "Gue bukan khawatir soal ketakutan lo ngelihat mayat, Kill. Gue khawatir ke lo, ke perasaan lo, ke pikiran lo. Gue khawatir tentang semua yang mungkin berdampak ke diri lo," tuturnya dalam tatapan yang dalam.

KAMU SEDANG MEMBACA
12 Titik Balik (END)
Teen Fiction(Sudah revisi) Aneth Tisha Andintala, seorang anggota Osis yang terjebak di dalam gerbang sekolah yang selama ini ia bela mati-matian bersama 11 anggota lain. Aneth bertanya-tanya apakah solidaritas, kekompakan dan semua hal bisa bertahan bahkan ny...