Bagian 23 : 'Mereka'

95 11 0
                                    

Brak!

Tangan kanan Artha menghantam meja dengan keras, melupakan kaki kanan Aneth yang berada di pangkuannya tadi.

"Bajingan! Seharusnya lo siksa orang itu dulu, Ji!" marahnya dengan wajah merah padam dan mata tajam menatap Jian.

Sungguh, di mata Aneth sekarang, wajah Artha mirip dengan tomat lebay yang sering ia tonton di YouTube.

"Akh, sakit, Tha!" geram Aneth ketika tumitnya terbentur kursi karena kaki Artha yang tak bisa diam.

Sontak, Artha yang tadi terlihat marah langsung menyusut begitu saja. Ia segera memposisikan kembali kaki Aneth dengan baik.

"Astaga, maaf," ucapnya seraya memijat tumit Aneth.

Benar, secepat itulah perubahan Artha jika itu berhubungan dengan Aneth.

Jian menghela napas berat. Baginya, melihat Artha bertingkah aneh sudah menjadi hal yang biasa.

"Lo mau gue nyiksa gimana lagi? Itu tangannya udah ditembak dua-duanya sama Aneth."

"Potong dua tangan sama lidahnya," timpal Killa, tak kalah kejam.

"Gue gak mau baju gue makin kotor kalau kena darah dari lidahnya."

"Yaudah, mana mayatnya? Gue potong-potong, terus gue gosongin dulu pakai listrik, baru gue lempar ke depan pintu OrGar."

Jian mengalihkan tatapannya ke arah Artha, menatapnya seolah baru saja mendengar ucapan yang lebih gila dari psikopat.

"Gila, lo. Nyiksa orang mati cuma bakal ngotorin tangan lo."

Artha mencibir kesal. Dirinya sangat marah saat mendengar seseorang berani menyentuh tubuh Aneth. Setidaknya, ia harus melihat kedua tangan pelaku terpisah dari tubuhnya. Aneth tidak boleh memiliki trauma yang sama untuk kedua kalinya.

"Terus, mayatnya lo taruh di mana?" tanya Killa.

Jian mengangkat satu alis ke arah Killa. "Gue taruh di lemari kelas pojok, terus gue kunci." Jian menunjukkan kunci yang baru saja diambilnya dari saku celana. "Kenapa? Lo punya ide gila kayak si idiot itu?" Jian menunjuk Artha dengan dagunya, mengabaikan tatapan bodoh yang diberikan Artha padanya.

Namun, sebelum Killa bisa menjawab, perhatian mereka teralihkan oleh suara dengusan Aneth.

"Udahlah, lagian udah mati juga," decak Aneth, lelah dengan perbincangan tak masuk akal teman-temannya. Tentu saja, ia juga belum puas. Ia masih sangat marah saat tubuhnya dilecehkan seperti itu. Tapi percuma saja, toh pelaku sudah menemui ajalnya. Kematian pelaku adalah bayaran dari setiap sentuhan tidak senonoh yang diterima Aneth.

"Ini... gue gak salah masuk aliansi yang isinya full psikopat, kan?" terdengar sahutan Rena, yang sedari tadi diam mendengarkan percakapan menyeramkan mereka.

Keempat temannya sontak menoleh, memperhatikan Rena dengan tatapan polos. Seolah mereka bukanlah orang yang tadi mengucapkan imajinasi menyeramkan.

"Ya... sejujurnya, gue juga setuju sama saran Artha."

"KAN! APA GUE BILANG!" Tiba-tiba, Artha berdiri dengan bersemangat. Akhirnya, ada seseorang yang menyetujui idenya. Dan hal itu kembali membuatnya melupakan sesuatu.

"SAKIT, ARTHA!" teriak Aneth dengan wajah merah dan kedua tangannya mencengkeram paha kaki kanannya, berusaha menahan sakit. "Lo kalau masih marah sama gue, bilang aja, Tha!" ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

Artha dengan panik kembali duduk dan meraih kaki kanan Aneth, tetapi Aneth segera menepis tangannya menggunakan kaki.

"Jangan sentuh!" desis Aneth marah.

12 Titik Balik (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang