PROLOG

492 45 2
                                    

"Maju!!"

Seorang anggota brimob berteriak keras. Ia berjaga di depan pintu, dengan sebuah SS-2 tergenggam erat di depan dada. Matanya awas mengamati sekeliling.

Hutan rimbun dengan pohon- pohon besar. Perbukitan hijau yang membentang mengelilingi kompleks puskesmas itu. Terlihat sangat damai dan indah, namun sekaligus menyimpan ancaman di dalamnya.

"Ayo cepat!!"

"Awas langkah kalian!!"

Empat orang staff puskesmas berlari bersamaan dari dalam bangunan, dengan kawalan dua anggota polisi bersenjata lengkap.

Para staff itu terlihat lusuh dan mengenaskan. Beberapa di antara mereka ada yang menangis. Namun mereka terus berlari, bergegas menuju tiga mobil double-cabin yang bersiaga tak jauh dari sana.

"Cepat! Cepat!!" ujar seorang polisi yang berjaga di dekat mobil. Ia nampak tegang, memastikan semua staff yang mereka evakuasi telah naik ke dalam mobil.

Lalu ia pun menekan tombol mic radio yang tergantung di rompinya.

"Dantim masuk! Paket sudah di amankan!" ujarnya.

"8-6. Semua personel segera balik kanan!" sahut seseorang dari radio.

"Siap!!"

Di dalam bangunan puskesmas, terlihat dua orang polisi yang sedang berdiri berdampingan. Mereka menghela nafas panjang memandangi keadaan ruang kantor puskesmas itu.

Seolah masih bisa menceritakan kekacauan dan kengerian yang telah terjadi.

Isi lemari obat telah kosong dijarah. Meja- meja yang terguling dan patah. Berkas medis dan buku yang berserakan. Terlihat pula bekas- bekas peluru di tembok.

Juga beberapa mayat yang telah terbakar hangus di tengah ruangan. Dengan bekas darah yang mengering di lantai.

"Kita apakan mereka?" tanya Helmi dengan pandangan yang tak lepas dari mayat- mayat itu.

"Biarkan saja di sini. Tim lain akan membawa mereka,"    jawab Pak Pandu sambil membalik badan. Ia berjalan pelan menuju pintu keluar.

"Tapi Ndan?" Helmi terlihat kurang setuju. "Mereka ini warga sipil! Kita tak bisa membiarkan mayat- mayat ini di sini!"

Pak Pandu menoleh. "Misi kita adalah para staff itu. Dan kita harus membawa mereka pergi dari sini. Kita tak boleh membuang waktu dengan mengevakuasi mayat- dan justru membahayakan mereka yang masih hidup."

"Tapi-" Helmi terdiam tak melanjutkan kalimatnya. Ia merasa bahwa alasan komandan tim nya masuk akal. "Baiklah. Ayo kita pergi."

Pak Pandu mengangguk singkat. Ia hendak kembali berjalan ketika ia menyadari sesuatu. Pak Pandu memandangi sekitar mencari seseorang.

"Mana Rika?"

-----

"Ayo Mbak," seorang polisi wanita berujar lembut mengulurkan tangannya.

Polisi dengan rambut sebahu itu tersenyum ramah. Ia juga mengenakan seragam hitam, dengan sepucuk Ak-102 menggantung di pundak. Sebuah patch nama bertuliskan SRIKANDI tersemat di dadanya.

Di hadapannya, bersembunyi di bawah meja dapur, seorang perawat yang nampak ketakutan. Ia masih trauma, meringkuk tak berani keluar dari persmbunyiannya.

Ia tak bisa melupakan kejadian kemarin di mana teman- temannya dieksekusi lalu dibakar seperti binatang.

Rika membungkukkan badannya, mengamati nama si bidan pada seragamnya. "Namamu Jingga ya?"

"..."

"Ayo ikut aku," Rika menyibakkan rambutnya ke belakang. "Ada banyak teman- temanku di luar. Kami akan membawa kalian pergi dari sini."

Jingga masih diam saja, memandangi Rika ragu beberapa lama.

"Rika, masuk," suara radio memecah suasana.

"Masuk Ndan," sahut Rika cepat.

"10-2? Kita harus balik kanan sekarang juga!" perintah Pak Pandu melalui radio.

"Masih ada satu orang lagi. Saya akan segera membawanya," balas Rika- masih tersenyum kepada Jingga. Ia menatap Jingga lembut, mencoba membuatnya setenang mungkin.

"..."

Jingga membalas uluran tangan Rika, kemudian menggenggamnya erat.

"Bagus, ayo kita pergi!" Rika mengangguk singkat, dan menuntun bidan itu meninggalkan ruangan.

Mereka berdua berlari kecil menyusuri lorong di sebelah bangunan utama, lalu keluar menuju lapangan.

Rika menarik Jingga bergegas melintasi sebuah tiang pipa yang roboh, dengan sisa bendera merah- putih yang telah terbakar hangus.

Tak jauh di depan, tiga mobil bertuliskan POLISI telah bersiap berangkat. Mobil dua dan tiga telah tertutup, membawa masing- masing dua staff yang mereka tolong.

Pak Pandu berdiri di samping mobil satu yang pintunya masih terbuka- memandangi Rika tajam sementara gadis itu berlari mendekat ke arahnya.

Helmi bersiaga di bak belakang mobil, dengan senjata teracung ke arah hutan.

"Maaf Pak!" seru Rika terengah saat ia tiba di pintu mobil.  Ia menunjuk ke arah Jingga di belakangnya. "Saya tadi-"

"Cukup bicaranya, segera masuk!" potong Pak Pandu.

"Siap!" Rika mengangguk dan segera mengajak Jingga naik ke dalam mobil. Rika yang telah duduk di kursi tengah, menatap komandan tim-nya saat laki- laki itu menutup pintu.

Sekilas Pak Pandu tersenyum padanya.

Membuat Rika sedikit berbunga, juga salah tingkah.

-DUK!! DUK!!

Hilmi yang berada di bak belakang memukul atap mobil dua kali- memberi isyarat kepada sopir bahwa semuanya sudah siap.

"Kita berangkat sekarang Ndan?" Pak Broto- anggota tim yang bertubuh agak tambun bertanya kepada Pak Pandu.

Sang Dantim segera duduk di kursi sebelahnya, memandangi dua mobil di belakang melalui kaca spion.

Ia meraih mic radio mobil dan memberi arahan kepada seluruh anggota tim nya.

"All units be advised! Kita akan berkendara 3 jam melalui redzone. Tetap waspada, dan bersiap dengan senjata kalian."

"8-6 Ndan!!"

"Siap, dimengerti!!"

Pak Pandu menarik nafas panjang.

"Roll out!!"

SRIKANDI. Mission: survive! [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang