F. Perintah dari Pusat

157 31 0
                                    

Di sebuah ruangan berukuran sedang, terdengar riuh oleh tawa dan obrolan. Asap rokok mengepul, membuat tempat itu terasa pengap.  Belasan laki- laki berseragam hitam nampak menikmati kopi sambil menunggu kedatangan seseorang.

"Dantim masuk!!" seru salah seorang saat melihat pintu terbuka.

Semua personel di dalam seketika menegakkan posisi duduk mereka, sebagai gestur hormat kepada Pak Pandu yang memasuki ruangan.

"Istirahat," ujar sang Dantim.

"Loh, sekarang punya aspri?" celetuk Pak Broto saat melihat Rika berjalan menyusul di belakang Pak Pandu. [aspri: asisten pribadi]

"Aspri apa calon bhayangkari nih?"

"Jangan- jangan kita dikumpulin mau ngumumin ini," Helmi menimpali.

Wajah Rika seketika terasa panas memerah karena anggota tim Elang menggodanya. Ia melirik ke arah Pak Pandu, mencoba melihat seperti apa reaksi laki- laki itu.

"Cukup bercandanya," ujar Pak Pandu datar. Ia melenggang, mengambil posisi di ujung meja. "Ini serius."

Seketika ruangan itu menjadi hening. Jika Pak Pandu berkata serius, maka ini serius.

Rika yang membawa sebuah map besar membagikan lembaran berkas kepada masing- masing personel tim Elang.

"Perintah baru turun beberapa jam lalu. Mabes akan mengirim bantuan pasukan ke Papua minggu depan-" Pak Pandu membuka briefing misi hari itu. "Dan selamat, Tim Elang terpilih untuk berangkat."

"Ah, sial."

"Besok pagi setelah apel, kita akan berangkat menuju Pusdik Sidoarjo untuk melakukan latihan gabungan dengan tim dari seluruh Jatim," Pak Pandu menjelaskan rencana misi dari pusat untuk mereka.

Selama seminggu ke depan, mereka akan melakukan simulasi dan penyegaran materi kombat dalam hutan. Semuanya untuk mempersiapkan para personel sebelum mereka diterjunkan dalam medan operasi yang sebenarnya.

Pak Broto membaca berkas itu beberapa kali, lalu bertanya. "Sebenarnya, kelompok Taring Merah ini apa? Apakah mereka separatis?"

Pak Pandu menggeleng. "Tujuan mereka bukan untuk itu. Mereka melakukan serangan di wilayah pegunungan Grassenberg untuk mengusir perusahaan tambang di sana, dan mengambil alih untuk mereka kuasai."

"..."

"Mereka tak segan meneror dan menghabisi warga sendiri yang berseberangan dengan mereka. Bahkan penduduk lokal pun membenci kelompok ini."

Semua orang di sana mengangguk paham sambil membaca  lembaran dari Pak Pandu. Namun tidak dengan Rika yang nampaknya tidak terfokus pada misi ini.

Ucapan 'cukup bercandanya' oleh Pak Pandu tadi masih terngiang di telinganya.

Beberapa waktu ini memang ia merasa bahwa hari- harinya semakin sering ia habiskan bersama Pak Pandu baik sebagai anggota maupun di luar itu. Ada semacam kedekatan yang berkembang di antara mereka.

Namun Rika baru menyadari bahwa Pak Pandu belum pernah secara eksplisit menyatakan bagaimana perasaannya.

Terutama ucapan tadi, seolah menyadarkannya kembali tentang status hubungan mereka.

Lalu, kemarin- kemarin itu apa?

Apakah cuma Rika yang menganggap kedekatan di antara mereka berdua spesial?

-----

...Ayun kakimu kiri dan kanan.
Atur langkah, jaga kerapian.
Jangan sampai merusak barisan.
Banjar dan shaf nya harus diluruskan...

Suara derap sepatu PDL terdengar nyaring beradu dengan jalanan aspal. Belasan anggota brimob Batalyon B Malang berlari dalam barisan, mengenakan ransel besar, atribut tempur lengkap dengan senjata mereka.

Suara nyanyian mengiringi setiap langkah, membuat masyarakat di sekitar menoleh memperhatikan.

Terutama pada sosok perempuan berambut sebahu, berperawakan paling kecil di antaranya, namun membawa sebuah senjata sniper yang sangat mencolok.

Pak Pandu memimpin barisan, mengarahkan mereka berbelok menjauh dari jalan aspal. Kini tim Elang memasuki areal perkebunan warga, menapaki jalanan tanah berbatu.

Mereka akan memasuki hutan di sekitar wilayah Pusdik Watukosek- tempat mereka mengalami tempaan saat menjadi anggota  Brimob dulu.

Kini mereka akan menjalani kembali latihan pertempuran hutan untuk beberapa hari ke depan.

Pak Pandu akan memimpin subtim sebanyak 7 orang, memimpin mereka melewati beberapa titik pemberhentian.

Dalam simulasi ini, mereka harus menempuh jarak 30km dalam waktu yang ditentukan. Mereka juga harus mengatasi semua rintangan, kontur medan terjal dan juga melawan kelompok pelatih yang akan memburu mereka.

Pak Pandu berjongkok di bawah sebuah pohon- dengan selembar peta wilayah yang dipenuhi coretan- coretan misi. Ia menjelaskan pembagian posisi tim dan apa peran masing- masing.

"Ada pertanyaan?" Pak Pandu memandangi anggota tim nya.

Rika segera mengangkat tangannya. "Ijin Ndan. Kenapa saya harus membawa Cyclone dalam simulasi ini, sementara yang lain membawa SS?"

Bukan tanpa alasan Rika bertanya seperti itu. Pertama, sebagai perempuan dengan perawakan lebih kecil, ia harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menyamai pergerakan rekan tim laki- lakinya. Kedua, berat senjata Cyclone yang ia bawa hampir dua kali lipat dari berat senjata yang lain.

Nggak adil dong?

"Memang ini simulasi," Pak Pandu menatap tajam wajah Rika. "Namun tujuan simulasi adalah untuk memberi gambaran pada kalian bagaimana medan yang sebenarnya.

Di lapangan nanti, kamu sebagai sniper akan lebih sering membawa Cyclone tentunya?
Kamu pikir musuhmu peduli bahwa kamu perempuan? Atau senjatamu beratnya 7kg?"

"..." Rika menghela nafas. "Siap, tidak Ndan."

"Kalau begitu diamlah," ujar Pak Pandu dingin.

SRIKANDI. Mission: survive! [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang