8. Survival

175 31 4
                                    

Jingga menutupi mulutnya, hampir muntah saat melihat daging yang disodorkan kepadanya.

Beberapa menit lalu Pak Pandu menangkap ular yang cukup besar. Ia memotong dua jengkal dari kepala ular itu. Lalu dengan santai ia menyobek dan menarik lepas kulitnya.

Darah masih menetes- netes saat Pak Pandu mulai memotong kecil- kecil ular itu.

"Kalian bahkan enggak memasaknya?" Jingga menghela nafas, mengatur rasa mual di perut. Ia memilih untuk mengisi perutnya dengan air minum.

"Kelompok itu terbiasa hidup di hutan. Api akan menarik perhatian mereka, memberitahu keberadaan kita," Pak Pandu nampak santai memakan potongan daging ular itu.

"Biar dia makan daun aja kayak embek," jawab Rika cuek sambil mengunyah daging mentah di tangannya. Rasanya memang aneh, dan Rika tak akan pernah terbiasa dengan ini.

Tapi ia pernah memakan ular begini dalam latihan survival. Jadi Rika tak terlalu kaget lagi.

"Aku taruh di sini, barangkali nanti kamu lapar," Pak Pandu meletakkan beberapa potong pada alas daun.

"Enggak deh. Mending aku kelaparan," Jingga menggeleng pasti. Melihat ular saja dia jijik, apalagi memakannya. Amit- amit.

"Kita masih jauh Pak?" Rika mencoba mengupdate posisi mereka.

"Aku rasa belum ada separuh perjalanan," jawab Pak Pandu sambil meraih potongan lain. "Pergerakan kita sangat lambat."

Rika melirik ke arah Jingga. Gara- gara gadis sialan ini. Padahal biasanya 10 kilo ia tempuh tak sampai sehari perjalanan. Tapi karena Jingga, bahkan separuh saja belum.

"Kenapa kita harus lewat hutan sih?" Jingga memijiti betisnya yang sedikit kram. "Udah jalannya susah, banyak semak- semak."

"Lewat jalan utama akan membuat kita jadi sasaran empuk. Konvoi mobil saja mereka sergap," Pak Pandu mencoba menjelaskan.

"Goblok amat sih gitu aja enggak tahu?" batin Rika.

Pak Pandu mengusap mulutnya sambil berdiri. Ia mengamati suasana dan keadaan di sekeliling.

"Sebentar lagi matahari terbenam. Kita tak mungkin bergerak di tengah hutan dalam gelap. Terlalu beresiko," Pak Pandu mendongak melihat langit yang mulai memerah. "Kita akan buat bivak di sini."

"Bivak?" Jingga terlihat sangat asing dengan kata itu.

"Tenda darurat dari ranting dan daun," Pak Pandu meraih potongan kayu di dekatnya. Ia menyandarkan benda itu di sebuah pohon dan mengamatinya sejenak. "Sepertinya bisa dijadikan rangka utama."

"..."

"Aku akan membuat rangkanya," Pak Pandu memberi perintah kepada Rika dan Jingga. "Kalian kumpulkan daun dan rumput di sekitar. Jangan terlalu jauh, dan sebisa mungkin jangan membuat suara."

Rika dan Jingga mengangguk paham.

"Kita akan bermalam di sini," Pak Pandu menarik keluar sebuah pisau sangkur berbahan cold steel. Pisau ini akan sangat membantunya untuk memotong dahan- dahan rangka bivaknya.

------

Matahari hampir tenggelam sepenuhnya ketika bivak alami mereka selesai. Ukurannya tak terlalu besar, dan hanya cukup untuk mereka bertiga berdesakan. Daun dan rerumputan ditata sedemikian rupa menutupi seluruh rangka ranting.

"Nggak ada yang berjaga Pak?" tanya Rika. Biasanya saat latihan hutan, Pak Pandu menginstruksikan tim untuk bergantian jaga di luar semalaman.

"Kita tak membawa night vision. Selain itu, kita tak menyalakan api. Di luar sini akan gelap total saat malam nanti," Pak Pandu memasang ikatan rumput panjang di beberapa titik sebagai pintu penutup.

"Kita berjaga di luar pun tak akan terlihat apa- apa. Selain itu kita tak membawa jaket. Udara lereng akan terlalu dingin untuk kita berdiam diri di luar," Pak Pandu menekan bivak dengan kakinya untuk mengetes kekuatannya.

Rangkanya sedikit melentur, namun tak sampai patah.

"Cukup kuat untuk beristirahat," Pak Pandu mengangguk puas dengan hasil buatan mereka. Lalu ia memberi isyarat kepada Rika dan Jingga agar mereka masuk.

-----

-KRAAAAAH!!

Suara hewan malam terdengar riuh bersahutan. Hutan lereng ini terasa lebih hidup saat gelap menyelimut. Keresak dedaunan dan ranting seolah tak henti- menandakan sesuatu yang bergerak aktif di luar sana.

"Itu suara apa?" tanya Jingga lirih- ia sedikit tegang karena tak pernah bermalam di tempat seperti ini.

"Diamlah," Rika mulai senewen dengan rengekan Jingga. "Hutan di malam hari ya memang rame begini. Jangan mikir aneh- aneh."

"..."

"..."

"Tapi di dalam sini lumayan hangat ya?" celetuk Jingga lagi.

"Itu karena tumpukan daun- daunnya menjadi semacam insulasi, memerangkap suhu di dalam. Makanya di sini lebih hangat," Rika menjelaskan ilmu survival yang ia dapat saat latihan. "Selain itu juga bisa mengurangi tetes air saat hujan."

"Ooh, pantesan," Jingga senang mendapat sesuatu yang baru.

"..."

Kedua gadis itu terus berbincang lirih, mengusir bosan dan rasa tegang di dalam kegelapan pekat. Keduanya terus saja mengobrol sampai akhirnya lelah menghampiri.

Pak Pandu yang sedari tadi terpaksa mendengarkan ocehan mereka membetulkan duduknya.

Ia menarik nafas panjang untuk menenangkan pikiran. Tangannya memain- mainkan AK-102 yang sedari tadi ia genggam- untuk mengalihkan perhatian.

Bagaimana tidak, di dalam bivak sempit dan gelap seperti ini Rika dan Jingga tidur sambil mendekapnya.
Menyandarkan kepala mereka di kedua bahunya.

Pak Pandu bahkan rela menahan nyeri luka bekas jahitan tadi- demi membiarkan Rika bisa terlelap.

Samar aroma tubuh dan rambut dua gadis itu memenuhi kepala Pak Pandu. Membuatnya berpikir bagaimana bisa mereka masih wangi setelah seharian menyusuri hutan menghindari kelompok musuh.

"Mmmm.." Rika menggumam dalam tidur, merapatkan badannya.

Hembusan nafas Rika dan Jingga di telinganya membuat laki- laki itu tak bisa fokus.

"..."

Pak Pandu berdehem sejenak.

Kalau saja mereka tidak sedang dalam kondisi pelarian begini, mungkin ia akan menjadi laki- laki paling bahagia saat ini.

Namun ia tak boleh lengah. Ia harus tetap waspada- sebab kelompok itu bisa menemukan mereka kapan saja.

Ah. Bangsat.

SRIKANDI. Mission: survive! [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang