12. Crossed Path

158 32 1
                                    

"Astaga..." Jingga terduduk lemas di sebuah batang pohon. Ia menatap nanar ke arah pemukiman yang menjadi tujuan mereka. "Kita harus apa sekarang?"

Jingga merasa bahwa semuanya menjadi sia- sia. Perjuangan untuk berjalan 10 km menembus hutan, menahan kaki perih seharian, dalam kondisi kelelahan dan kelaparan.

Semuanya tak ada gunanya.

"Aku nggak tahu," jawab Rika dengan suara gemetar. Ia sendiri juga sama putus asanya seperti Jingga. "Tapi yang pasti, kita nggak bisa diam saja di sini. Kita harus terus berjalan."

"Aku capek!" pekik Jingga.

"..."

"Aku udah muak harus jalan di hutan, apalagi kakiku perih banget!" Jingga mengeluarkan semua yang ia rasakan sejak kemarin. "Kamu sih enak-"

"KAMU PIKIR AKU NGGAK CAPEK?" kali ini Rika juga ikut meledak. Matanya basah dan berkaca- kaca. "Kamu pikir enak membawa senjata kayak gini? Baku tembak dengan orang- orang itu?"

Jingga menelan ludah. Ia tak menyangka reaksi Rika akan seperti itu.

"Kamu nyadar nggak sih kalo mereka itu sedang memburu kita?" Rika menatap lekat wajah Jingga. Ia harus menjejalkan akal sehat ke dalam kepala gadis ini.

Jingga menunduk, memain- mainkan dedaunan di kakinya. Ia sedikit menyadari bahwa ia merepotkan. Bahwa ia menuntut terlalu banyak, memberikan semua beban kepada Rika.

Padahal, jika Rika melepas seragam itu- ia hanyalah gadis biasa yang seumuran dengannya. Rika sama saja seperti Jingga.

"Kamu lihat sendiri kan apa yang mereka lakukan kepada rekan tim ku, saat mereka tertangkap?" air mata Rika semakin deras saat ia teringat pembantaian itu lagi.

Jingga seketika terdiam. Ia juga kembali teringat dengan perbuatan kelompok Taring Merah saat menyerang puskesmas tempatnya bekerja.

Di mana beberapa rekan medis nya, di seret paksa dan ditembak kepalanya. Lalu ditumpuk dan dibakar dalam ruangan.

Beberapa lamanya keheningan menyelimuti. Hanya terdengar derak bara api yang sesekali.

"Terus sekarang bagaimana?" Jingga mengulangi pertanyaan itu lagi.

"Nggak tahu," Rika meraih senjata dan perlengkapannya. Ia tak mau berdiam diri di satu tempat dalam kondisi begini. "Pokoknya aku mau pergi."

"Ke mana?"

"Kubilang aku nggak tahu," jawab Rika singkat.

Jingga mendongak menatap langit. "Kalau Pak Pandu ada di sini, kira- kira dia bakal ngelakuin apa ya?"

Rika terhenyak. Semua hal ini begitu menyita pikirannya sampai membuatnya lupa dengan Pak Pandu.

Rika sontak menoleh ke arah Utara, dari arah mereka datang. Bukannya Pak Pandu bilang akan menyusul mereka?
Lalu kenapa sampai sekarang ia belum muncul?

Apakah terjadi sesuatu padanya?

Rika berpikir sejenak, lalu melangkahkan kakinya menuju hutan.

"Rika?" Jingga beranjak dari duduk. "Kamu mau ke mana?"

"Aku akan cari Pak Pandu."

"Cari ke mana? Hutan ini kan luas?"

"Menuju tempat ini adalah idenya," Rika berbalik memandangi Jingga. "Jika ia menuju ke Selatan, dan kita jalan ke Utara, ada kemungkinan kita akan berpapasan dengannya."

"..."

"Terserah kalau kamu nggak mau ikut," Rika melanjutkan jalannya ke arah Utara. "Tapi kalau mencari Pak Pandu, seenggaknya aku nggak diem aja tanpa tahu harus melakukan apa."

Jingga mengangguk. "Aku ikut."

-----

"Huuuft.." Jingga menghela nafas panjang.

Perjalanan mereka kembali ke Utara tentu saja terasa lebih berat. Sebab kini mereka harus berjalan mendaki. Keduanya telah menempuh beberapa jauh dari lokasi pemukiman terbakar.

Matahari pun mulai condong ke Barat.

"Maaf ya, aku malah jadi beban," Jingga kembali duduk di sebuah batu besar. Ia harus mengistirahatkan kaki karena lecet nya benar- benar parah.

Ia memercikkan air dari botol Rika untuk mendinginkan perih.

"Nggak apa, jangan dipikirin," Rika menyeka keringat di wajah.

Ia sendiri juga butuh istirahat. Beberapa potong daging ular mentah kemarin sangat tidak cukup untuk mengisi energi.

Rika terengah meletakkan senjatanya. Senapan seberat tiga kg ini entah kenapa jadi terasa berat sekali. Ditambah matanya juga mulai berkunang- kunang.

Rika melemaskan seluruh tubuhnya, mengatur nafas yang tak beraturan.

Jingga menutup botol air di tangan. Ia berdiam sejenak, lalu ia bertanya. "Kamu sama Pak Pandu pacaran sudah lama?"

Rika langsung menatap Jingga tajam. "Emang apa urusanmu tanya begitu?"

"Nggak usah mikir aneh- aneh, aku cuma pingin ada obrolan saja," Jingga tersenyum, seolah membaca pikiran Rika yang curiga padanya. "Lagipula, aku-"

"-ssstttt!!" Rika mengacungkan jarinya. Jingga pun sontak terdiam.

Rika memicingkan mata sambil menajamkan pendengaran.

Sekilas lalu ia mendengar suara kemeresak langkah kaki yang beradu dengan dedaunan kering di lantai hutan. Jingga pun sepertinya juga mendengar suara itu.

Apakah itu Pak Pandu?

Secercah semangat mulai kembali mengisi energi Rika. Ia tersenyum dan beranjak dari tempatnya duduk. "Kamu tunggu di sini, aku mau cek sebentar."

Jingga mengangguk. Toh kakinya juga terlalu sakit untuk dipakai berjalan.

Rika berjalan sambil mengulum senyum.

Ia berjalan pelan mendekati sumber suara yang berada tak jauh dari tempatnya. Kemungkinan besar itu Pak Pandu, sebab ia bilang akan menyusul mereka berdua.

Rika menelan ludah, menyandarkan badannya di balik sebuah pohon. Memanfaatkan rerimbunan semak untuk menyembunyikan diri.

Ia tetap harus melakukan standar pengintaian, sebab ia tak tahu siapa yang sedang berjalan mendekat.

Dan untungnya ia melakukan itu.

Sebab, tak lama kemudian ia mendengar suara beberapa laki- laki yang sedang mengobrol.

Dan itu jelas- jelas bukan suara Pak Pandu.

-SREEK.

Tiga orang laki- laki muncul dari balik rerimbunan. Mereka berjalan beriringan, mengenakan kalung taring babi berwarna merah di leher.

Dan mereka semua membawa senjata laras panjang.

"SIAL!!"

SRIKANDI. Mission: survive! [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang