G. Keberangkatan

157 30 0
                                    

-BRUUUUUM

Iring- iringan truk angkut personel melaju melewati jalanan kota Sidoarjo. Paling depan, sebuah sedan patwal membunyikan sirene, membuka jalan membelah padatnya kendaraan di jalanan kota.

Truk berwarna hitam merah kuning itu nampak menjulang di antara kendaraan lain. Para warga yang menyingkir, sedikit takjub melihat banyaknya personel bersenjata lengkap yang duduk di bak belakang.

Termasuk juga Rika, yang mendekap Cyclone nya erat. Ia berusaha ramah, menanggapi beberapa laki- laki dari kompi lain yang mengajaknya berkenalan. Toh ia hanya menganggap mereka angin lalu.

Tapi yang membuat Rika sebal, adalah Pak Pandu enggak bereaksi apa- apa. Dingin- dingin aja dianya. Emang Pak Pandu nggak peduli kalau seandainya Rika diajak jalan sama brimob lain?

Huh. Komandan resek.

"Kenapa mukanya di tekuk begitu?" Pak Broto tersenyum melihat pipi Rika yang menggembung karena jutek. "Lagi marahan kah sama Pak Pandu?"

"Habisnya," Rika merengek. "Aku bingung."

Pak Broto menautkan alisnya. "Bingung gimana?"

Lalu Rika pun menceritakan semua tingkah Pak Pandu yang membuatnya merasa di tarik ulur. Tentang bagaimana Pak Pandu kadang membuatnya merasa jadi satu- satunya cewek yang ia perhatikan, namun sekaligus kadang menjadi cewek yang dilihat saja enggak.

Pak Broto mendengar semua cerocosan Rika sambil tersenyum. "Masa sih dia begitu?"

"Pak Broto nggak percaya nih," Rika mendengus.

"Bukannya enggak percaya. Tapi semenjak deket sama kamu, dia agak berubah loh," Pak Broto terkekeh. "Sekarang lebih kalem sama kita- kita. Dulu aja, beeeeeh.. Berasa mau makan orang bawaannya."

"Masa sih?" kali ini justru Rika yang enggak percaya.

"He eh," Pak Broto meyakinkan.

Rika mengernyit memandangi komandannya yang berada di sisi lain bak truk.

"Cowok tengil begitu?"

-----

Dari Pusdik Brimob Watukosek, puluhan personel ini lalu bergeser ke LANUDAL Juanda Surabaya. Mereka mendapat bantuan transportasi dari pihak TNI berupa beberapa unit pesawat Hercules untuk mobilisasi pasukan.

Ratusan personel berseragam hitam menyemuti areal lanud, berkelompok membentuk beberapa peleton. Mereka nampak bersantai, menunggu persiapan keberangkatan.

Tepat jam 12 siang nanti, pesawat akan mengudara. Masih ada waktu 30 menitan bagi mereka untuk melakukan apapun yang mereka perlu.

Rika berdiri agak menepi sendirian.

Ia diam menatap pesawat berwarna hijau gelap berukuran besar yang sedang stand by di areal hangar. Terlihat beberapa mekanik melakukan final check.

Rika menelan ludah. Setelah menaiki pesawat itu, ia akan berada di udara untuk menuju pulau lain. Ribuan kilo jauhnya dari ayah dan ibu, melakukan operasi beresiko tinggi.

Bahwa setelah ini, ia akan berada di medan merah yang sebenarnya.

"Kamu ngapain di sini?" sebuah suara terdengar dari belakang Rika, membuatnya sedikit tersentak.

"Siap-" Rika seketika membetulkan postur berdirinya, menegakkan badannya sempurna. "-tidak ada apa- apa Ndan."

"Ini sedang santai, nggak usah terlalu formal," Pak Pandu mengangguk, memberi ijin kepada Rika untuk bersikap biasa saja.

"..."

Pak Pandu menyilangkan lengan di depan dada, menyipitkan mata menatap Rika lekat. "Takut?"

Rika tak menjawab beberapa lama. Sebagai pasukan tempur, tentu saja ia didoktrin untuk selalu siap. Namun operasi ini benar- benar sesuatu yang besar bagi Rika. Tentu saja ia merasa takut, dan ia tak ingin menyembunyikan ini.

Rika lalu menunduk dan memberi angguk an kecil.

"Bagus," ucap Pak Pandu dengan reaksi yang di luar dugaaan. "Merasa aman akan justru membuatmu dalam masalah. Membuatmu tidak peka dengan bahaya.  Rasa takut lah yang sebenarnya kamu perlukan- sebab ia akan membuatmu semakin waspada."

"..."

"Dan di situlah kegunaan rekan tim," Pak Pandu masih berdiri melipat lengan, memberi pengertian kepada Rika. "Aku, kamu dan anggota tim Elang yang lain. Kita semua harus saling menjaga satu sama lain."

"..."

"Terutama aku," ujar Pak Pandu lembut.

"Aku yang akan paling depan menjagamu. Sebab sebagai ketua tim, keselamatanmu adalah tanggung jawabku."

Rika sontak mendongak menatap wajah Pak Pandu. Raut wajahnya serius, berarti ia benar- benar mengucapkan itu?
Rika menahan nafas dengan wajah memerah.

"Kamu sudah menelpon bapak ibu?"

"Belum," Rika menggeleng. Ia sempat ragu apakah perlu memberi tahu ibu tentang misinya kali ini. Ia tak ingin membuat bapak ibu kuatir.

"Lebih baik kamu telepon mereka. Beri mereka kabar dan minta doa," Pak Pandu melepas lipatan lengannya. Ia membalik badan sebelum akhirnya melangkah pergi.

"Aku titip salam juga sama ibu."

"..."

Rika tak bisa menahan senyum bahagianya. "Siap Ndan!"

SRIKANDI. Mission: survive! [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang