2. Ambushed

194 35 2
                                    

Kepulan debu kering terlihat beterbangan saat tiga mobil strada-triton berjalan membelah hutan. Mereka membentuk barisan panjang, dengan jarak +- 10 meteran antar mobil.

Mobil- mobil polisi itu melaju pelan karena kontur jalan pegunungan yang menurun. Selain juga karena kondisi jalanan tanah berbatu, yang membuat suara khas saat beradu dengan roda.

Mereka sudah melewati sepertiga perjalanan dari kompleks plant Goldminer menuju Mapolres Mimika.

"Elang 01 kepada 02 dan 03," Pak Pandu memonitor tim melalui radio di dashbor mobil. Laki- laki itu terus mengecek keadaan konvoi nya secara berkala. Ia juga memantau pergerakan melalui GPS. "Laporan."

"Elang 03- semua aman. Kondisi di depan lengang. Ganti," sahut mobil 03 yang berada paling depan.

"Elang 02- clear. Ganti," jawab mobil 02 di tengah.

Saat meninggalkan puskesmas tadi, posisi urutan konvoi berubah sebaliknya dari posisi awal. Dengan mobil 01 menjadi urutan belakang dikarenakan bentuk halaman puskesmas yang tidak memungkinkan untuk melakukan putar balik.

"Tetap waspada, masih ada dua jam lagi perjalanan," ucap Pak Pandu sambil mengawasi keadaan di luar. Ia nampak tenang namun juga tak lengah begitu saja. "Perhatikan keadaan sekitar, dan laporkan jika ada yang mencurigakan. Ganti."

"Siap!!"

Mobil 02 dan 03 di depan membawa masing- masing dua survivor penyerangan puskesmas kemarin. Mereka bersembunyi dan bertahan selama sehari di tempat itu- karena adanya keterbatasan komunikasi.

Sehingga baru ada bantuan evakuasi kepolisian sehari setelahnya.

Sementara di mobil 01, ada satu staff yang ditemukan Rika. Ia nampak lebih tenang ketimbang tadi.

Rika meraih sebotol air mineral 600ml dari belakang sandaran kursinya. Ia memberikan botol itu kepada Jingga yang duduk di sebelah.

"Kamu belum minum dari kemarin kan?" tanya Rika sambil tersenyum.

Jingga memandangi Rika beberapa saat, lalu tersenyum. Ia menerima pemberian Rika sambil berterima kasih.

Rika kembali menyandarkan punggungnya. Ia menarik nafas panjang, memegang erat senjatanya.

Ia tahu bahwa perjalanan konvoi ini sangat berbahaya. Namun entah kenapa, berada dalam satu mobil dengan Pak Pandu membuatnya merasa tak terlalu tegang.

Rika diam- diam memandangi pantulan wajah Pak Pandu di kaca depan.

-BIIP!!

Tiba- tiba mobil 03 di depan membunyikan klakson.

Beberapa meter di depan, terlihat seorang laki- laki yang berjalan di pinggiran. Namun karena jalur yang tak terlalu lebar, membuat mobil 03 terpaksa meminta jalan.

Laki- laki itu hanya mengenakan celana dan pendek kaos tanpa lengan. Kulit legamnya terlihat penuh keringat dan debu. Ia membawa seikat ranting dan kayu kering di pundaknya.

Orang itu berhenti, dan menyingkir agak masuk ke tepi hutan. Ia memandangi mobil- mobil konvoi yang melintas- membiarkan mereka berjalan lebih dulu.

Ketika mobil terakhir - unit 01- telah melewatinya, Helmi yang ada di bak belakang melemparkan sebotol air mineral pada orang itu.

"Makasih Bang!" ujarnya sambil mengangkat botol pemberian Helmi. Ia tersenyum kepada mereka, melambaikan tangannya.

"Hey, namamu Jingga kan?" Pak Pandu bertanya sambil menatap orang di tepi jalan itu dari spion.

"I- iya Pak?" jawab Jingga gugup.

"Berapa lama kamu bekerja di kompleks GM?"

"Eh, berapa lama ya?" Jingga mencoba mengingat- ingat. "Mungkin sudah hampir satu tahunan. Sudah lumayan lama Pak."

"Kamu hapal daerah di sini?" Pak Pandu bertanya lagi. Ia terus saja memandangi orang itu hingga mobil berbelok- dan dia menghilang dari pandangan.

Sementara Pak Broto dan Rika diam menyimak pembicaraan mereka.

"Lumayan hapal, aku sering lewat sini," jawab Jingga.

"Apakah ada rumah, kampung atau apapun di dekat- dekat sini?" Pak Pandu bertanya dengan agak cepat.

"Rumah? Eh, entahlah. Aku rasa-"

"Jawab yang pasti!" Pak Pandu berseru keras- membuat Jingga tersentak kaget. Begitupun Pak Broto dan Rika yang agak terkejut karena tak biasanya Pak Pandu bersikap seperti itu kepada non- anggota.

"..."

"Ada atau tidak!?" kali ini Pak Pandu menoleh, menatap tajam kepada Jingga.

Gadis itu menahan nafasnya sambil menggeleng. Ia terlihat hampir menangis karena dibentak Pak Pandu. "Tidak ada Pak."

"Kenapa tiba- tiba marah sih Pak?" Rika memprotes kesal kepada komandannya. Ia merangkul pundak Jingga, melindunginya sebagai sesama perempuan.

Reseh amat sih jadi komandan?  Untung cakep.

Pak Pandu tak mempedulikan protes Rika. Ia kembali menghadap depan, memandangi kanan dan kirinya yang dipenuhi pepohonan.

Ia bergumam kepada dirinya sendiri. "Jadi memang hanya ada hutan kan?"

"..."

"Seingatku dalam perjalanan berangkat tadi, cuma ada satu kampung kecil, sekitar-" Pak Pandu men- zoom out display GPS mobil dan menggeser layarnya. Ia menunjuk ke sebuah titik di jalur konvoi. "-10 kilo lagi."

"Memangnya kenapa?" Rika mencoba memperjelas arah pembicaraan.

"Jika dalam radius itu tidak ada rumah sama sekali, untuk apa orang itu berada di sini?"

"Sudah jelas kan, dia mencari kayu kering?" jawab Rika cepat.

Pak Pandu menoleh kepada gadis itu. "Jika kamu adalah warga lokal, apakah  kamu akan berjalan sejauh itu untuk mencari seikat kayu? Di siang terik begini?"

"..."

"Seluruh wilayah ini adalah hutan lebat. Kamu tinggal mengambil kayu di sekitarmu."

Pak Broto sepertinya mulai menyadari maksud Pak Pandu. "Tunggu, maksudmu-"

Pak Pandu tak menjawab. Ia segera meraih mic di dashbor mobil dan segera mengontak seluruh unit.

"Elang 02 dan 03, masuk!"

"Elang 02 masuk, ndan!"

"Elang 03 masuk."

Pak Pandu memberi peringatan kepada timnya. "Konvoi masuk siaga satu. Sekali lagi, konvoi masuk siaga satu. Semua unit pastikan bersiap dengan-"

Belum usai Pak Pandu memberikan arahan, tiba- tiba saja rentetan suara letusan terdengar menggema dari arah hutan sekitar mereka.

-DOR! DOR! DOR!

Dan seketika kaca depan mobil dipenuhi cipratan cairan berwarna merah pekat. Rika dan Jingga terbelalak membeku melihatnya.

Itu darah. Itu adalah darah.

"ASTAGA!" Jingga terpekik tertahan.

"KONTAK KANAN!!"

SRIKANDI. Mission: survive! [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang