11. Burned Down

160 31 5
                                    

Suara serangga dan burung- burung kecil riuh terdengar. Matahari sudah melewati puncak, namun hawa di dalam hutan masih saja terasa pengap dan lembap.

Cercah terik matahari menembus sela dedaunan. Berkat rimbunnya kanopi hutan, mereka mendapat sedikit perlindungan.

Sudah hampir satu jam dua gadis itu berjalan. Jingga bahkan sudah tak peduli lagi dengan rasa sakit di kakinya.

"Apakah masih jauh?" Jingga menyeka keringat di dahi. Satu tangannya menyibak dedaunan, dan membuka celah untuk mereka menuju ke Selatan.

"Seharusnya tidak," jawab Rika di belakangnya.

Ia sendiri tak ingin terlalu banyak bicara. Ia harus menghemat energi dan fokus kepada sekitar. Belum lagi ia menenteng senapan seberat 3 kg sepanjang hari.

Bagaimana jadinya kalau tadi Pak Pandu tak membawakan tas nya? Pasti akan lebih berat lagi beban yang ia baws.

Keduanya berjalan lambat menapaki dasaran hutan yang dipenuhi dedaunan. Mulai dari sini, kontur tanah sudah agak landai. Sehingga mereka lebih mudah untuk berjalan.

Rika mendongak ke arah matahari. Posisinya yang berada tepat di atas kepala, membuat bayang- bayang tegak lurus dengan bendanya- sehingga tak bisa dijadikan acuan arah.

Rika mengandalkan lumut dan jamur yang memenuhi batang- batang pohon, sebab benda- benda itu hanya tumbuh di sisi Barat.

Memang sangat kurang akurat memakai lumut sebagai acuan. Tapi lebih baik ketimbang tidak ada sama sekali.

"Aku lapar," Jingga memegangi perutnya. "Dari kemarin aku belum makan."

"Kan Pak Pandu sudah kasih kamu ular seh?" Rika mulai emosi dengan tingkah bidan satu ini. "Salah sendiri enggak di makan?"

"Kamu pikir aku bisa makan ular mentah, gitu?" Jingga kembali bergidik jijik teringat potongan daging ular dari Pak Pandu. Bahkan dalam kondisi terpotong tanpa kulit saja benda itu masih menggeliat- geliat.

Membuat Jingga menutupi mulutnya dengan tangan, menahan muntah.

"..."

"Baiklah," ujar Rika sambil menoleh ke kanan- kiri. "Nanti kalo aku lihat ada KFC di sekitar sini, kamu yang pertama aku kasih tahu."

Jingga mencibir, menatap sinis ke arah Rika. Sedikit teriritasi oleh komentar polwan jahat satu itu.

Namun toh Jingga tak bisa apa- apa. Selain terus berjalan, memegangi perut yang kosong. Wajahnya benar- benar letih.

Rika mendengus. Ia lalu menyodorkan botol veples miliknya kepada Jingga. Botol yang ia isi dengan air sungai kemarin, yang kini tinggal separuh.

"Nih minum," Rika menggoyangkan botol di depan wajah Jingga. "Setidaknya membuat perutmu agak keisi, walau cuman air."

"Isinya air sungai kan?"

Rika tersenyum lebar.

"Makasih, nggak usah," Jingga menggeleng.

"Ya sudah," Rika memasang kembali botol itu di pinggangnya. Ia benar- benar sebal sekarang oleh sifat manja gadis resek ini.  "Nanti kalau kamu haus, silakan cari genangan air terdekat."

"..."

"Aduuuh, kapan sih kita nyampe nya?" keluh Jingga sambil mengusap kakinya yang berdarah. "Aku udah nggak kuat."

Rika menggertakkan rahangnya. Ia ingin marah sekarang.

Dan Pak Pandu memberi Rika misi agar menjaga Jingga? Dan bahkan sampai Pak Pandu sendiri memisahkan diri untuk melindungi gadis seperti ini?

"Kamu ya-"

Rika tak melanjutkan kalimatnya. Pandangannya tertuju pada asap tebal membumbung di kejauhan. Terlihat sangat kontras dengan langit lereng yang terik cerah.

Dan asal asap itu adalah dari arah yang mereka tuju.

Jingga ikut menoleh ke arah yang sama. "Apa itu?"

"Mungkin-" Rika berjalan melewati Jingga. "-semoga saja bukan!"

"Hey, memangnya ada apa?" Jingga ikut mempercepat langkahnya- dengan sedikit tertatih.

Rika setengah berlari menyusuri lantai hutan, melompat dan menerjang apapun di depannya. Ia mempunyai pemikiran buruk untuk ini.

Asap itu terlihat begitu tebal, sudah pasti karena sumber api yang besar. Aktifitas sehari- hari tidak pernah menimbulkan asap yang sepekat dan sebesar itu.

"Rika! Tunggu!" Jingga sedikit berseru melihat Rika yang semakin menjauh.

Rika tak peduli. Kini yang ada di kepalanya cuma satu. Dan ia harus memastikan itu sendiri, sekarang juga.

Setelah berjalan cepat beberapa menit, Rika pun berhenti di balik sebuah batang pohon besar. Dalam rerimbunan vegetasi hutan.

Ia hanya bisa berdiri mematung, dengan perasaan yang bercampur aduk.

Ia memang berhasil membawa Jingga keluar dari hutan.

Namun di depan sana, tepat di depan matanya. Tempat yang menjadi tujuan mereka sejak kemarin kini sudah tak ada lagi.

Api besar melahap semuanya. Belasan rumah kayu terbakar habis, dengan derak api besar yang bergejolak.

Padahal pemukiman ini adalah harapan Rika untuk memperoleh bantuan. Lalu jika harapannya telah terbakar habis seperti ini, apa yang harus ia lakukan?

Kelompok Taring Merah telah selangkah lebih depan dari mereka. Kelompok itu memutus satu- satunya kemungkinan bagi Rika dan Jingga untuk meminta bantuan.

Kini mereka benar- benar terjebak di hutan ini.

SRIKANDI. Mission: survive! [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang