6. Slaughter

165 31 1
                                    

"Huuffft.." Jingga terengah, meraih dahan untuknya berpegangan.

Ia nampak kesulitan berlari di area hutan yang konturnya menanjak seperti ini. Terlebih ia masih memakai seragam bidan dan sepatu dinas nya, yang tentu saja tidak didesain untuk itu.

Rika yang berada agak jauh di atas menoleh ke belakang. Ia juga sedikit terengah karena harus membawa tas ransel kecil dan menenteng senjata.

"Jangan berhenti! Terus berlari!" Pak Pandu yang berada di belakang berusaha membantu Jingga untuk mendaki. Ia mendorong punggung gadis itu, membantunya terus berjalan naik.

Sebab mereka belum terlalu masuk ke hutan.

-DOR! DOR!

Suara letusan peluru di belakang terdengar semakin intens.

"Ayo! Kita harus pergi dari sini!" ujar Pak Pandu sedikit memaksa. Ia harus memastikan bahwa dua gadis ini aman bersamanya.

"Tapi- kaki ku," Jingga meringis menahan perih.

Rupanya bagian tepi sepatunya membuat kulit tumit Jingga terkelupas. Ia memaksakan diri berlari dengan kaki yang sedikit berdarah.

"Sial!" Pak Pandu mengumpat sebal. Ia melirik ke arah belakang, di mana tepian hutan masih terlihat. Dengan keadaan seperti ini, tak mungkin rasanya mereka sampai puncak dengan sebelum-

-DOR!!

Sebuah letusan keras terdengar. Lalu di susul kesunyian pekat. Baku tembak antara sisa tim Elang dan Taring Merah telah berhenti.

"Hahahah! Mampus ko polisi keparat!"

Terdengar suara tawa puas penyerang mereka dengan logat daerah yang kental. Rupanya kelompok itu telah tiba di jalan tempat mobil Strada mereka berhenti.

Jingga yang menyadari bahwa musuh telah menang, terbelalak ketakutan.

Pak Pandu segera membekap mulut gadis itu, dan memberi isyarat untuknya tetap tenang.

Tak seperti seragam hitam Rika dan Pak Pandu, seragam bidan Jingga yang berwarna cerah terlihat sangat kontras di antara lebatnya hutan.

Pak Pandu menyeret Jingga perlahan untuk duduk di belakang semak. Ia mendekap erat Jingga yang tengah panik hebat. Mencoba sebisa mungkin membuatnya merasa aman.

Pak Pandu juga mengangguk pada Rika, agar gadis itu menyembunyikan diri. Cukup mudah bagi Rika yang telah terlatih untuk mengkamuflase dirinya dengan sekitar.

Pak Pandu mengunakan monocularnya untuk mengamati keadaan di bawah sana. Posisi mereka mungkin hanya berjarak beberapa ratus meter saja dari tepian hutan.

Sementara Rika di belakang, menggunakan teropong AK-102 nya untuk ikut mengamati lokasi penyerangan.

Sekitar 17-20 warga lokal berpakaian seadanya bermunculan dari dalam hutan. Masing- masing mengenakan sebuah kalung taring babi yang dicat merah.

Mereka menodongkan senjata, mengarah kepada Helmi dan anggota lainnya yang masih bertahan.

Beberapa lainnya memeriksa setiap mobil dan mayat anggota tim Elang, menjarah apapun yang bisa mereka gunakan. Helm tempur, rompi, senjata dan peluru.

Kelompok itu berteriak- teriak entah apa, namun dari nadanya sudah jelas mereka memaki- maki. Mereka menendang dan memukuli dua anggota tim yang masih hidup, menyeret mereka ke tengah jalan.

"Duduk ko!!" ujar salah satu sambil terus saja memukuli Helmi dengan popor senjata. Kelihatannya mereka sedang menginterogasinya itu- namun tak berhasil.

"Bagaimana Pak?" bisik Rika. Jarinya telah bersiap pada pelatuk. Ia benar- benar tak terima melihat rekan timnya diperlakukan seperti itu.

Pak Pandu mengangkat tangannya, yang berarti jangan berbuat apapun.

Sepertinya kelompok itu mulai muak karena tak mendapat informasi apapun. Dan mereka pun memutuskan untuk mengakhiri penyergapan.

Dua orang Taring Merah berjalan mendekat. Mereka menghunuskan parang besar, menatap dingin dua polisi yang terduduk tak berdaya.

Lalu mereka mengangkat tangannya tinggi di udara.

Rika memahan nafasnya. Ia hampir saja kelepasan menarik pelatuk saat parang itu mengayun cepat.

-CRAAKK!!

Jingga memejamkan matanya, refleks membenamkan wajah di lengan Pak Pandu. Sementara lelaki itu nampak menahan emosi dengan rahang mengatup rapat. Rika di belakang hanya bisa terdiam dengan mata basah.

Helmi dan rekannya tergeletak di jalan dengan parang menancap di kepala. Seluruh anggota tim Elang tewas di titik jalan itu.

Kelompok Taring Merah menyebar, membacoki satu persatu anggota tim Elang, memastikan tak ada yang tersisa.

Lalu mereka melucuti perlengkapan tempur para anggota, dan menumpuk mayatnya di tengah jalan. Menggunakan bahan bakar mobil, mereka pun menyalakan api.

Membakar mayat- mayat dan dua mobil polisi di sebuah jalan terasing di lereng Grassenberg. Sesudah itu kelompok itu berbalik kembali memasuki hutan.

Asap hitam membumbung tinggi di tengah birunya langit. Membuat derak bara di antara pepohonan yang bergeming menyaksikan pembantaian itu.

Menyisakan Pak Pandu, Rika dan Jingga yang mematung dalam persembunyian, menatap kepergian seluruh anggota tim mereka.

-----

"Ini," Pak Pandu menyodorkan botol airnya kepada Jingga. Ia baru saja mengisinya di sebuah aliran kecil sungai yang jernih.

Jingga yang sedang mendinginkan luka di kakinya dalam air, tak menjawab. Terlihat sekali ia masih syok dengan kejadian tadi.

Rika duduk di sebuah batu besar, menenggak botol minumnya sambil setengah melamun. Ia lebih banyak diam siang ini.

"Kamu tak apa?" Pak Pandu beralih dan berjongkok di depan Rika, mencoba melihat wajah sang sniper.

Rika mengusap air matanya, dan menggeleng. Ia menggenggam senjatanya erat sekali. "Padahal aku membidik mereka, tapi aku nggak bisa berbuat apa- apa. Helmi dan-"

Rika tak melanjutnya kalimatnya.

"Bukan salahmu. Kita memang nggak bisa berbuat apa- apa," Pak Pandu mengangguk, menggenggam tangan Rika. "Jumlah musuh jauh lebih banyak. Kalaupun kita mencoba berbuat sesuatu, kita tak akan ada di sini sekarang."

"Tapi kita membiarkan mereka mati," tambah Rika setengah menangis.

"Semua yang terjadi, sampai titik ini, adalah hasil keputusanku. Mereka semua yang tewas merupakan anggota tim ku- tanggung jawabku," ujar Pak Pandu datar.

"Termasuk keselamatan Jingga-"

"..."

"-dan kamu."

Rika menatap mata Pak Pandu.

Benar juga. Sebagai komandan tim, pasti beban moral yang ia tanggung saat ini sangat berat. Sebagian besar anggota timnya telah tewas karena keputusannya.

Ia harus hidup dengan kenyataan itu.

Dan kini Pak Pandu harus memimpin Jingga dan dirinya, memikirkan bagaimana ke depannya.

Pak Pandu mendongak, memandang arah matahari dan jam tangannya bergantian. Ia sedang memastikan arah utara dengan bantuan posisi angka 12, jarum jam dan matahari.

"Kita tak bisa berdiam di sini. Tempat ini jauh dari mana- mana. Kita harus mencari pemukiman dan mengontak pusat untuk bantuan," Pak Pandu berujar kepada dua gadis itu.

"Ke mana?"

"Kita akan ke Selatan," Pak Pandu menunjuk ke sebuah arah. "Kita akan menuruni sepanjang lereng. Ada sebuah desa kecil 10 kilo dari sini."

SRIKANDI. Mission: survive! [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang