7. Jealousy

172 32 2
                                    

"Huuff.." Rika berjalan sambil menyeka keringat di dahinya. Pak Pandu meminta Rika berjalan paling depan sebagai pembuka jalan - sebab Rika membawa senjata. Selain itu, kecepatan jalannya tak jauh berbeda dengan Jingga sehingga pegerakan tim lebih sesuai dengannya.

Jingga berada di tengah, dengan Pak Pandu berada paling belakang. Ia memposisikan diri sebagai sweeper, agar lebih mudah mengawasi dua orang di depannya. Selain itu ia mengarahkan pergerakan tim sambil terus melihat arah mata angin.

Mereka bertiga berjalan dalam diam, dan lebih fokus dengan kontur tanah yang miring. Suara angin, desir dedaunan dan suara hewan hutan mengiringi perjalanan mereka.

"Pak Pandu?" Jingga berujar lirih memecah kebisuan.

"Ya?" jawab Pak Pandu.

"Lenganmu terluka," Jingga menunjuk ke lengan atas Pak Pandu.

Rika berhenti berjalan dan berbalik. Ia baru sadar bahwa bagian lengan atas seragam hitam Pak Pandu sedikit terkoyak. "Kamu kena tembak Pak?"

"Hampir. Ini cuma keserempet dikit, darahnya udah berhenti," Pak Pandu melirik ke arah bahunya cuek. "Kita lanjut jalan."

"Ini lumayan parah Pak. Di dalam hutan begini, lembap dan banyak kotoran," Jingga mendekat dan memeriksa bekas luka itu. "Kalo dibiarin bisa infeksi. Bahaya."

"Kita juga dalam bahaya, kita harus tetap lanjut berjalan," Pak Pandu berkeras.

"Nggak bisa, aku harus tangani ini dulu," Jingga menatap lekat Pak Pandu. Ia berbalik ke arah Rika. "Apa ada sesuatu dalam tas mu yang bisa kupakai?"

Rika mengangguk dan segera melepas ransel kecilnya. Ia mengeluarkan sebuah tas pouch kecil dengan tanda silang merah. "Aku bawa emergency kit."

Jingga mengangguk dan meraih tas itu. "Sekarang Pak Pandu duduk, biar aku periksa lukanya."

Beberapa menit berlalu. Terlihat Pak Pandu duduk di sebuah batang pohon roboh, dengan Jingga berdiri di sebelahnya. Laki- laki itu bertelanjang dada, sebab baju dan rompi tacticalnya menghalangi proses perawatan.

Jingga mengelap dan membersihkan sekitar luka itu dengan air sungai dalam botol.

"Nggak ada anestesi?" Jingga mengacak- acak isi tas P3K. "Ada jarum dan benang bedah, tapi nggak ada anestesi? Aku harus menjahit lukanya."

"Jahit saja kalau memang perlu," ujar Pak Pandu.

"Cuma 1-2 jahitan, tapi ini akan sakit sekali," Jingga memperingatkan sambil mengolesi bahu Pak Pandu dengan alkohol. Lalu dengan hati- hati ia mulai menjahit luka di bahu itu.

Pak Pandu mengernyit menahan sakit dan menggenggam AK- nya erat. Sementara Jingga dengan terampil menangani lukanya.

Tanpa menyadari bahwa ada sepasang mata yang menatapnya tajam.

Rika duduk tak jauh dari mereka, membawakan baju dan rompi Pak Pandu. Ia memperhatikan setiap gerak- gerik bidan itu lekat.

"Heh, tangannya!!"

Rika membatin saat tangan Jingga bergerak ke dada Pak Pandu. Dia yang jadi bawahannya saja nggak pernah tuh pegang- pegang begitu.

Rika sampai harus menghela nafas berkali- kali untuk menenangkan diri. Entah kenapa rasanya tangan Jingga memang sengaja menyentuh yang tidak perlu.

Namun ia tak bisa berkata apa- apa. Sebab ia tak mengerti apapun tentang perawatan luka dan penanganan medis.

Melihat Jingga yang dengan bebas melakukan ini itu pada Pak Pandu, Rika merasa sedikit menyesal dengan keahliannya sebagai sniper.

Kenapa dia enggak memilih masuk kebidanan saja dulu?

"Itu tangannya kenapa?" tanya Jingga saat melihat bekas luka panjang di tangan kanan Pak Pandu.

"..." Pak Pandu tak menjawab.

Dan entah kenapa, saat mendengar pertanyaan itu, Rika tersenyum tipis. Ia merasa menang.

Itu luka yang Pak Pandu dapat saat menolongku dulu. Ia rela mempetaruhkan nyawanya dalam air demi aku. Dan bahkan ia sempat menciumku.

Kamu enggak ada apa- apanya Jingga!

-----

"Ssssshhh.." Jingga mendesis pelan saat salah satu kakinya menapak tanah. Jingga sempat berpikir untuk membuang sepatu dinasnya. Namun Pak Pandu menyarankan untuk melilitkan perban P3K sebagai 'kaos kaki' darurat agar kakinya tidak lecet lebih parah.

Bertelanjang kaki di dalam hutan adalah ide buruk bagi yang tidak terbiasa. Sebab kau tak tahu akan menginjak duri, batu tajam atau hewan berbisa.

"Kakimu masih sakit?" tanya Pak Pandu.

Jingga mengangguk, menyandarkan badannya pada Pak Pandu sambil membetulkan posisi sepatunya.

"Lelet amat sih jalannya," gumam Rika ketus.

"Apa sih? Aku denger ya!" balas Jingga. Ia melanjutkan berjalan dengan sedikit tertatih. "Kamu sih enak pake sepatu PDL, coba kamu pakai ini!"

"Siapa suruh pakai sepatu begitu," Rika melirik sinis ke arah Jingga.

"Heh, diem," Pak Pandu menggeplak kepala Rika dan Jingga. "Kalau kita ketangkap gara- gara mereka denger suara kalian bertengkar, goblok itu namanya."

"Dia duluan," Jingga menunjuk Rika.

"Udah ayo jalan!" Pak Pandu menggelengkan kepalanya melihat dua gadis ini. "Jingga pakai sepatu dinas begitu kan bukan karena mau. Kamu peka dikit dong Rik."

Rika membalik badannya sebal. Kenapa Pak Pandu malah membela Jingga sih?

Ia kembali teringat saat di mana tim Elang melakukan latihan fisik lintas alam.

Dimana mereka harus membawa tas ransel seberat puluhan kilogram, dan menenteng senjata sambil bergerak melewati hutan.

Pak Pandu nggak ada tuh toleransi saat dirinya kelelahan. Ia tak peduli bahwa Rika seorang perempuan, atau bahwa ia membawa Cyclone yang beratnya dua kali lipat dari yang lain.

Pak Pandu menghukum Rika push-up karena menghambat pergerakan timnya, di tengah kondisinya yang benar- benar lelah. Bahkan Rika sampai muntah dan pingsan karenanya.

Pak Pandu benar- benar memaksa Rika melebihi batas fisiknya.

"Padahal aku dulu digituin," Rika mematahkan ranting kecil karena kesal.

Ia melirik ke belakang. Pak Pandu dengan sabarnya memegangi tangan Jingga. Ia menuntun gadis lelet itu menuruni patahan tanah yang menurut Rika: tinggal dilompatin doang juga beres.

Manja! Dia emang sengaja cari perhatian.

Menyebalkan.

SRIKANDI. Mission: survive! [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang