16. Dead End

188 31 9
                                    

Rika hanya tertegun menatap inisial huruf S pada rompi yang dikenakan laki- laki itu. Huruf yang ia tulis sebelum misi evakuasi.

Kenapa rompi Pak Pandu ada padanya?
Dari mana ia mendapatkannya?

Apakah Pak Pandu telah-?

Seketika itu perasaan sesak memenuhi dada. Sebuah pemikiran buruk berkecamuk dalam kepalanya.

Rasa perih yang Rika rasakan saat ini jauh lebih parah ketimbang pukulan dan tendangan mereka tadi.

Air mata Rika mengalir perlahan. Membasahi pipi dan tanah di dekat wajahnya. Ia tak ingin percaya dengan apa yang ia lihat sekarang.

Bukankah kamu bilang akan menyusul kami berdua, Pak Pandu?

"Gadis ini su babak belur,"  si anggota menunjuk Rika yang tergeletak tak berdaya. "Sa mo habisi dia di sini saja."

"..."

"MATI KO POLISI!!" serunya. Ia mengangkat senjata, mengarahkan kepada Rika.

"Tunggu dulu," ujar si pemimpin. Ia memandangi Rika lekat, sementara tangannya masih menahan Jingga. "Sa pun ingin kasih dia mati. Tapi polisi- polisi keparat ini, dia sudah bunuh banyak kawan- kawan kita. Sa tak ingin dia mati cepat."

"Pace mo siksa dia dulu?" tanya si anggota.

Si komandan memandangi wajah anggotanya itu, balik bertanya padanya. "Sekarang sa tanya, berapa lama korang berada di hutan eh?"

"..."

"Berapa lama korang tak rasakan perempuan?"

"AH!" seru si anggota sambil tertawa. "Betul juga ko kata!"

"Bangun ko!!" lalu orang itu menarik lengan Rika kasar, memaksanya untuk berdiri.

Si pemimpin mengacungkan parangnya ke arah Rika. Ia menatap lekat mata gadis itu, dan berujar lantang. "Sekarang, lepas baju ko itu!"

Rika terhenyak selama beberapa saat. Orang ini ingin dia melakukan apa?

"CEPAT!!" si anggota menamparnya keras. Membuat Rika hampir terjatuh. "Lepas baju ko!!"

Rika balik menatap nyalang ke arah mereka semua. Mana mungkin ia mau menuruti permintaan itu begitu saja kan!?

"..."

Si pemimpin nampaknya tak terlalu senang melihat reaksi Rika. Ia pun menempelkan bilah parangnya pada lengan Jingga, lalu menariknya cepat.

-SREEET!!!

"AAAAAHHH!!" Jingga meraung meronta- ronta dalam pitingan si komandan. Satu tangan Jingga memegangi lengan kirinya. Darah merah merembes membasahi seragam cerahnya.

"Sa tak main- main," si pemimpin menjilati bekas darah Jingga di parangnya. Lalu ia menempelkan bilah tajam itu ke dahi Jingga. "Kalau ko tak turuti, kali ini sa bacok kepala dia."

Saking ketakutannya, Jingga sampai tak bisa mengeluarkan suara. Ia masih memegangi lengannya. Dan menatap Rika lekat. Seolah memohon agar Rika melakukan sesuatu.

"CEPAT!!"

Rika hanya diam.

Ia tak tahu harus berbuat apa lagi. Para laki- laki di sekelilingnya berdiri tertawa- tawa, dengan senjata api yang siap membunuh mereka kapan saja.

"CUIH!!" satu dari mereka meludahi Rika. "Ini balasan kawan- kawan kami yang kalian kasih mati!"

Rika bisa saja menolak perintah itu, dan membiarkan si pemimpin membunuh Jingga sekarang juga. Toh pada akhirnya, mereka berdua akan dibunuh.

Namun tegakah dia?
Bisakah dia membiarkan orang itu membunuh Jingga?

Apapun yang ia lakukan, mungkin hanya menunda kematiannya. Apapun yang ia lakukan, mereka akan tetap membunuhnya.

Ini adalah titik akhir dari semuanya.

Rika menggigit bibir menahan tangis. Tiba- tiba saja ia teringat kedua orang tuanya.

Apa kabar ayah dan ibu ya? Apakah mereka sudah makan?

Apakah mereka tahu bahwa putri kesayangannya sedang mengalami hal seperti ini? Ah, tidak. Jangan sampai mereka tahu.

"Kenapa diam saja?" si komandan mengangkat parang nya, bersiap menancapkan parang ke kepala Jingga.

"..."

Tangan Rika terangkat perlahan. Lalu jemarinya mulai melepas satu- persatu kancing seragam hitamnya. Ia sudah tak bisa berpikir lagi. Tubuhnya seolah bergerak sendiri sampai melolosi kancing yang terakhir.

Dengan perasaan gamang Rika melepas seragam itu dari kedua bahunya, membiarkan benda itu jatuh ke lantai hutan.

Rika menoleh ke arah Jingga, dengan mata yang basah.

Jingga ikut menangis, seolah tak rela Rika diperlakukan seperti itu. Walaupun selama pelarian di hutan mereka tak akur dan sering bertengkar, namun dalam kondisi terancam seperti ini-

-mereka merasa bahkan lebih dari sekedar sahabat.

"HAHAHAHAH!!" para laki- laki itu tertawa terbahak- bahak melihat seorang polisi tak berkutik melawan. Ini akan menjadi berita yang bagus untuk eksistensi kelompok Taring Merah.

Memperkosa polisi ini akan mencoreng kesombongan para aparat. Menjatuhkan moral mereka. Polisi- polisi sampah itu akan berpikir dua kali untuk melakukan apapun pada mereka.

Si anggota terkekeh. Ia berjalan mendekati Rika dari belakang, lalu mengendus bahu dan leher gadis itu. "Wangi sekali ko, perempuan?"

Rika memejamkan matanya dan menahan nafas. Ia terlalu takut untuk membayangkan apa yang akan mereka lakukan terhadapnya.

Bahkan Pak Pandu saja tak pernah memperlakukannya seperti itu.

Tangan lelaki itu menyentuh lengan Rika, lalu bergerak menyusuri bahu dan pundaknya. Merasai lembutnya kulit perempuan yang telah membunuh teman- teman Taring Merahnya.

Lalu ia menggenggam tali bra Rika.
Kemudian menariknya kuat- kuat.

SRIKANDI. Mission: survive! [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang