17. Rescue Team

183 35 7
                                    

-DOR! DOR!!

Suara letusan senjata terdengar, mengagetkan semua yang ada di sana.

-BRUGG!!

Dua laki- laki itu roboh hampir bersamaan, dengan lubang- lubang menganga di badan mereka. Cairan kental berwarna merah pekat mengalir, perlahan membanjiri tanah.

Rika dan Jingga berdiri di tempat. Tercengang melihat apa yang terjadi secara tiba- tiba.

Sebab tak ada apapun selain pepohonan, semak dan belukar di tempat itu. Kondisi penuh tekanan yang mereka alami membuat kedua gadis itu tak bisa menangkap kejadian yang begitu cepat.

"Ap- apa?" Jingga bertanya lirih.

"Clear!!"

"Target dilumpuhkan!!"

Tiba- tiba saja tempat itu penuh dengan seruan orang- orang yang entah berada di mana.

Rika dan Jingga masih tak beranjak dari tempat mereka. Mengetahui bahwa ada orang- orang bersenjata di sekitar, membuat kaki mereka tak mampu melangkah. Insting mereka masih menganggap diri mereka dalam bahaya.

"POLISI!!" orang- orang itu pun memperkenalkan diri, meyatakan bahwa mereka bukanlah musuh.

Lalu setelahnya, tiga orang laki- laki berjalan keluar dari balik semak. Mereka semua mengenakan setelan outdoor, dan membawa ransel gunung kecil. Ketiganya berjalan mendekati Rika dan Jingga, sambil membawa senapan SS-2.

Rika dan Jingga menganga, tanpa ada suara yang keluar. Rasa lega yang luar biasa seolah membuncah dari dalam. Rasanya seperti melepas beban berat dari pundak mereka.

Seorang laki- laki bergegas menuju Jingga. Ia berjongkok di sebelah gadis itu, memeriksa luka di lengan dan kakinya. "Hanya luka lecet dan gores. Tidak terlalu parah."

Jingga terduduk lemas, kembali melelehkan air mata.

Bukan rasa sakit yang membuatnya menangis, melainkan karena emosi luar biasa yang ia sedang rasakan saat ini.

Orang itu tersenyum. Sepertinya ia cukup memahami  bagaimana kondisi mental Jingga setelah melalui semua. Ia memperhatikan seragam yang Jingga pakai sejenak.  "Aku akan melakukan penanganan ringan. Kamu perawat bukan? Tolong bantu aku."

Jingga mengangguk cepat.

Seorang lagi berjalan pelan mengelilingi tempat itu. Dengan penuh waspada memeriksa masing- masing anggota Taring Merah yang tergeletak. Memastikan mereka semua telah mati- dengan cara menusukkan sebuah pisau sangkur besar ke tubuh mereka.

Yang terakhir, berjalan mendekati Rika. Ia mengenakan topi rimba. Lengan kemejanya dilipat sebatas siku. Sebuah bekas luka di leher seolah menjadi ciri khas nya.

Pembawaannya sekilas mengingatkan Rika pada Pak Pandu. Bedanya, jika Pak Pandu terkesan seperti cowok rumahan, orang di hadapannya ini terkesan seperti cowok lapangan.

"Syukurlah kami belum terlambat," orang itu mengangguk kepada Rika. "Kami berlari sejauh dua kilo, setelah mendengar baku tembak yang kamu lakukan."

Rika masih sesenggukan mencoba menguasai perasaannya.

"Tenanglah," orang itu meraih baju seragam Rika di tanah, dan memakaikan baju itu di kedua bahumya. "Kamu sudah aman."

Ia mengeluarkan lipatan kertas dari dalam sakunya - yang berisi foto Rika sebagai target evakuasi. Orang itu memandangi foto di kertas dan Rika bergantian. "Srikandi? Tim Elang?"

Rika yang sedang mengenakan pakaiannya, hanya menanggapi dengan anggukan kecil. Ia menghapus air matanya. "Dan cewek itu bernama Jingga."

Laki- laki itu menoleh ke arah Jingga yang sedang dirawat anggota timnya.

Lalu ia pun menghubungi rekan tim yang lain menggunakan radio kecil yang terhubung dengan earphone.

"Alpha to Charlie. We've got the package," ujarnya memberi informasi. "Geser ke titik penjemputan. Ganti."

"Copy! Charlie's moving." sahut Charlie dari seberang radio.

Laki- laki itu berjalan di sekitar lokasi untuk bahwa memastikan sekeliling mereka aman. Ia lalu berujar kepada salah satu anggotanya.

"Kita bawa semua ini, lalu segera ke titik jemput!" Dantim menunjuk senjata- senjata rampasan Taring Merah.

"Semoha Taring Merah belum sadar kalau tim patroli mereka tak kembali. Kita tak boleh berlama- lama di tempat ini," Dantim itu menyisipkan sebatang rokok Surya di bibir, lalu menyulutnya. "Kita akan pergi dalam dua menit."

Rika yang sudah memakai semua perlengkapannya, mengambil kembali AK-102 nya yang sempat di rampas tadi. Ia pun berjalan mendekati Dantim yang telah menolongnya itu.

"Terima kasih, Pak-?"

Dantim itu mengembus asap putih panjang ke udara.

"Namaku Doni," ujarnya memperkenalkan diri. "Komandan Tim Jaguar."

----

"Ini, makanlah," seorang anggota Jaguar berjalan mendekati Jingga yang sedang duduk di kabin tengah mobil Land Cruiser tua. Polisi itu menyodorkan roti dan botol air mineral kepada Jingga."Kamu pasti lapar dan haus."

"Makasih," Jingga tersenyum, menerima pemberian itu. Ia menatap polisi itu sejenak. "Makasih juga sudah mau bantu aku berjalan lewat hutan."

"Tugas ku," ujar polisi itu membetulkan topinya. Ia lalu berbalik dan bergabung dengan anggota Jaguar yang lain.

Sub tim Alpha dan Charlie berkumpul di sebuah titik jalan, agak jauh dari lokasi pemukiman yang dibakar Taring Merah. Di sana sudah menunggu dua mobil sipil yang mereka gunakan untuk membaur dengan sekitar.

Tim Jaguar sedang berkumpul untuk melakukan briefing singkat sebelum berangkat meninggalkan lokasi.

"Oke, kita bergerak sekarang," Doni mengangguk kepada semua anggotanya. "Selalu stand by dengan senjata kalian. Kita harus segera membawa dua gadis itu menuju Rumah Sakit."

"SIAP!!" seru mereka serempak, lalu bergegas menuju mobil masing- masing.

-BRAK!!

Doni membanting pintu mobil sambil menyulut sebatang rokok lagi. Ia duduk di kursi kiri depan, sementara Rika duduk di belakangnya.

Tanpa menunggu lama, kedua Land Cruiser itu mulai meninggalkan tempat. Membuat jejak dan kepulan debu di jalanan tanah.

Rika menyandarkan kepalanya lemas ke jendela. Menatap rerimbunan dedaunan hutan yang selama dua hari ini menemaninya.

Rasanya semua seperti mimpi. Sebuah mimpi buruk yang mungkin akan membekas selamanya dalam benak Rika. Setelah ia melihat sendiri bagaimana teman- teman setim nya di bantai.

Dan Dantimnya.
Astaga, Rika hampur lupa.

"Pak Doni," Rika berujar lirih kepada Dantim Jaguar. "Apa kalian menemukan Dantim kami? Masih ada seorang lagi yang-"

Doni yang sedang berbicara melaluo radio, melirik ke arah Rika melalui pantulan rear mirror. Tatapan tajamnya membuat Rika tak berani berkata apa- apa lagi.

"..."

Doni terdiam beberapa lama memandangi Rika. Terlihat sekali bahwa gadis di belakangnya ini sangat khawatir dengan keberadaan Dantimnya.

Doni menghembus asap putih panjang, membentuk jejak sementara mobil berjalan.

"Sayangnya," ujar Doni datar. "Tim kami tak menemukannya."

SRIKANDI. Mission: survive! [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang