nineteen

374 73 10
                                    

{•°}

Pemuda berusia hampir menyentuh pertengahan dua puluhan itu menggaruk tengkuk leher yang memang kendatinya tidak gatal.

Memberikan cengiran lebar memang tidak cukup untuk membuatnya mendapatkan pengecualian atas tindakan yang dirinya ambil kemarin malam. Yaitu kabur dari asrama tanpa meninggalkan pesan apapun.

Laki-laki yang lebih muda darinya, Kim Seungmin menggelengkan kepalanya pasrah. Karena tahu betul jika ia bertanya tak akan mendapatkan jawaban yang memuaskan. Hanya saja, ia berhak kesal kan?

"Lain kali, kamu harus menghubungi kami atau setidaknya bilang jika mau keluar. Kami pikir kamu tertabrak mobil atau jatuh dari jembatan." Memang terdengar sadis, tapi Changbin paham persis bahwa perkataan Seungmin itu diselimuti kekhawatiran.

"Aku minta maaf," Changbin mengucap sesal.

Minho yang sedari tadi diam akhirnya mengeluarkan deru napas kencang, cukup untuk membuat pemuda Seo itu ketar ketir.

"Lain kali jangan egois. Kami nggak mau kehilangan kalian, lagi." Minho memelankan bicaranya untuk kata yang terakhir. Menggantung, seolah-olah tanpa sadar meminta Changbin untuk menangkap maksud tersirat dari ucapannya. Dan ya, barangkali Minho berhasil.

Meskipun tindakannya itu mengundang tatapan tak percaya dari beberapa pasang mata yang sedari tadi memilih diam. Karena takut jika seketika berkata yang menyakitkan.

"Apa terjadi sesuatu?" Changbin memiliki perasaan yang teramat tidak nyaman.

Saat ini Chan tidak ada disekitar mereka, paham betul barangkali sedang berusaha menenangkan diri. Sama seperti apa yang Changbin lakukan. Tetapi, ketidakhadiran tersebut melukis tanda tanya besar di dahi Changbin. Memang tidak ingin berprasangka buruk, namun Seo tidak bisa mengabaikan perasaan sakit ini.

"Dimana kak Chan?" Ia kembali melontarkan pertanyaan.

Hening, belum mendapatkan jawaban yang seharusnya terjawab secara gamblang. Dirinya masih anggota dalam tim kan? Kenapa harus disembunyikan?

Hyunjin mengambil napas pendek, ia menjadi lebih diam dari biasanya. Dan itu adalah hal kecil pertama yang ia lakukan setelah Changbin pulang ke asrama mereka.

"Kak Chan sedang pergi, tidak ada yang tau kemana tapi... semuanya berpikir kemungkinan terburuk karena sebelum pergi, kak Chan bilang akan bertanggung jawab dan menuntaskan segalanya. Kamu tau Changbin, mungkin meninggalkan-"

"Enggak!"

Terus terang, jika diperkenankan, Changbin ingin mengunci tiap-tiap bibir yang seolah akan melontarkan kalimat serupa tersebut. Kalimat penuh belati yang mampu mengoyak jantungnya. Changbin benci itu.

"Enggak ada yang pergi kemanapun. Mau aku atau kak Chan, gak ada yang boleh pergi. Kalaupun ada, itu adalah aku."

Itu mutlak. Changbin bicara mutlak dan seharusnya tidak boleh diganggu gugat. Ia ingin merangkul mereka semua, tak ada satupun yang ia perkenankan untuk mematahkan tangannya.


{•°}


Tujuh tahun sudah berlalu begitu lambat dan membosankan. Begitulah isi kepala seorang Cha Eunwoo. Ah, mungkin hanya satu tahun terakhir yang menurutnya menyenangkan, selebihnya membuat muak.

Tidak bohong, ia juga pernah bermimpi sebagai idol. Namun segalanya pupus kala ia menyadari bahwa dunia hiburan yang sedang ia arungi ini lebih terasa bagai penjara. Kurang bahagia. Karena dari awal orientasinya hanyalah uang.

Kadang Eunwoo berpikir apakah dirinya harus mundur dari dunia semacam ini. Sirna sudah antusiasmenya kala menghirup aroma lembaran uang dan isi tabungan yang melimpah ruah. Sebab kosong cinta didalamnya.

Setidaknya begitu hingga sampai pada saat ia bertemu dengan Changbin. Meskipun tak ingin mengelak kalau niat awalnya hanya iseng belaka. Hanya ingin balas dendam pada Moonbin, cuma itu. Lantas pada akhirnya Eunwoo menelan ludahnya sendiri.

Sepasang kelereng hitam itu memantulkan cahaya oranye senja yang mulai meredup diselimuti gelap.

"Kamu jangan bertindak bodoh Bangchan. Kalau memang kamu merasa bersalah pada Changbin, jangan lari dari tanggung jawab. Dengan kamu pergi pun tak akan membuat Changbin melihat padamu karena sejak awal, kamu yang membangun tembok agar terus berseberangan dengan Changbin. Inilah yang kamu inginkan, Bangchan."

Eunwoo sedang tidak bercanda. Setiap kata yang terlontar dari bibirnya tak terdapat gelak tawa serta kekehan tengil. Ia bersungguh-sungguh.

Bangchan yang duduk disebelahnya tersentak, masih betah bisu sejak beberapa saat lalu. Atau mungkin sejak kemarin malam? Ah, masa bodoh bagi Eunwoo.

"Aku nggak mau Changbin bersama dengan orang pengecut seperti kamu."

{•°}

Cha Eunwoo memilih pulang ke apartemennya. Untuk alasan yang tidak mampu dijelaskan, tubuh serta batinnya terasa lelah. Bicara secara bijak dan mengintimidasi pada Bangchan tadi sungguh menguras tenaga.

Tidak hanya itu saja, berdebat dengan Moonbin dan manajernya sedari pagi buta pun sudah membuat dirinya kewalahan.

Eunwoo barangkali terlalu letih, sampai tak menyadari bahwa lampu ruang apartemennya menyala.

Sampai akhirnya hidung yang sensitif itu membau aroma manis yang asing tetapi familiar. Bagaimana mengatakannya, Eunwoo seolah terbiasa dengan aroma tersebut meskipun masih awam.

"Ugh, kamu sudah pulang. Mau aku buatkan air hangat?"

Saat ini sudah menunjukkan pukul sebelas malam, hampir mendekati penghujung hari. Cha Eunwoo sempat berpikir jika kemarin, ketika menghabiskan waktu bersama Changbin sudah cukup untuk membuatnya bertenaga.

Lantas mengapa sekarang tubuh tinggi semampai itu kaku untuk beberapa saat, tepat ketika sepasang kelereng hitam jernih miliknya menangkap sosok laki-laki bersurai legam lebat yang serasi dengan obdisian bulatnya.

Eunwoo kira Changbin yang kemarin cukup untuk dirinya hari ini.

Namun ia salah total.

Tidak, itu tidak cukup. Sampai kapanpun tidak pernah cukup untuk melegakan dahaga hausnya yang terdampak di padang pasir yang panas dan terik.

Malas menunggu perintah dari otak, sepasang kaki jenjang milik Eunwoo lebih dulu melangkah maju, terkesan buru-buru agar bisa segera berhambur memeluk tubuh pendek dihadapannya.

Changbin konstan tersentak kala tiba-tiba tubuhnya telah berpindah kedalam pelukan erat seorang Cha Eunwoo. Seolah mereka baru saja dipertemukan dalam perpisahan yang lama. Seakan mereka baru saja dipertemukan oleh takdir pada kehidupan masa lalu. Changbin merasakan hangat menyelimuti seluruh tubuhnya.

"Kamu kenapa? Apa terjadi sesuatu yang buruk?" Changbin kembali bertanya, cukup tenang untuk ukuran detak jantungnya yang berdetak tak normal. Barangkali Eunwoo bisa rasakan mengingat berapa rekatnya tubuh mereka sekarang.

Eunwoo menggeleng, sejujurnya sukar menemukan kata yang tepat untuk merepresentasikan perasaannya sekarang. Laki-laki itu hanya makin mempererat dekapannya, seakan takut lepas, menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher dari Seo. Menghirup aroma kelapa yang manis serta sedikit hint vanila, ini adalah aroma sabun miliknya. Entah mengapa, Eunwoo merasakan wajahnya menghangat.

"Aku menyukaimu. Mau sampai kapanpun. Aku menyukaimu."

Bukan hanya Eunwoo. Changbin pun merasakan hal serupa. Seolah jantungnya tengah dikelilingi selimut tebal yang menyebarkan hangat serta kenyamanan. Bohong jika mengatakan kalau dirinya menganggap Eunwoo menyebalkan.

Kalau dirinya yang dulu mungkin saat ini akan memaki habis-habisan seorang Cha Eunwoo. Tetapi, untuk kali ini, mungkin untuk saat ini, biarkan dua sejoli itu saling mengungkapkan isi hati mereka. Tidak perlu untaian kata, deru napas berat dari masing-masing telah mengatakan segalanya secara terperinci. Tanpa harus susah payah berkilah mencari alasan.


{•°}

hai hai minna-san ☠️

NOTHING LIKE US | CHA EUNWOO & SEO CHANGBIN (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang