twenty nine

274 36 13
                                    


{•°}

Ia pada akhirnya terpaksa harus menyadari bahwa apa yang sedang dialaminya sekarang merupakan penjelasan tentang betapa rapuh dirinya. Pondasi yang telah ia bangun sangat kokoh kenyataannya runtuh begitu saja. Manipulasi yang Seo Changbin lakukan terhadap dirinya sendiri kini mulai menelannya perlahan-lahan.

Sakitnya sekarang ini tentu saja sebuah karma akan tindakan kejinya dua tahun lalu. Semua sakit itu kini menghantuinya tiada henti.

Changbin yang sedari kemarin hanya diam seribu bahasa di atas ranjang rumah sakit itu mau tak mau dipecahkan lamunannya oleh kehadiran seseorang, yang sejujurnya enggan ia lihat untuk sementara waktu.

Bangchan masuk ke dalam kamar tempatnya dirawat selama tiga hari lebih, ternyata keadaan Changbin lebih parah dari yang dibayangkan.

Ketika lelaki yang berusia dua tahun diatasnya itu mempersilahkan diri memasuki ruang teritorial sementara miliknya, Changbin sejenak membuang muka. Ingatan tentang luka yang lalu itu membuat retinanya panas.

Chan mengambil tempat disebelah ranjang Seo Changbin, kedua tangannya saling meremas satu sama lain pertanda bahwa laki-laki itu tengah gugup. Tetapi Changbin enggan menerka-nerka.

"Bin," sapanya singkat. Berusaha meminta perhatian pria yang lebih muda.

"Aku sedang tidak ingin berbicara. Bisakah kamu pergi saja?" Changbin menyahuti enggan, masih tak berniat untuk beradu tatap dengan sang lawan bicara. Yang kini barangkali rasa gugupnya semakin mendidih.

Chan tersenyum kecut, sepenuhnya paham dengan sikap Changbin terhadapnya sekarang. Seharusnya ia diperlakukan begini sedari dulu.

"Barangkali lain waktu aku tak akan seberani sekarang. Aku sangat paham kamu sedang tidak ingin diganggu, tapi tolong dengarkan aku sebentar, hmm?" Nada suaranya terdengar memohon, Bangchan serius akan ucapannya barusan. Sebab untuk berada di tempatnya sekarang, ia butuh ditampar oleh orang lain berulang kali dahulu sebelum benar-benar melangkah sendirian.

Changbin masih betah membuang muka, pun tak mengeluarkan sepatah kata sebagai bentuk persetujuan akan ajuan keinginan dari Chan barusan. Tetapi Bangchan tak lagi akan mundur kali ini.

"Pertama-tama aku minta maaf. Atas segala yang telah terjadi dua tahun lalu sampai sekarang, atas segalanya. Aku tahu aku tak pantas membela diri, kamu paling tau bahwa aku sangat pengecut. Seharusnya sebagai pemimpin, aku orang yang melindungimu. Tetapi malah sebaliknya, aku lepas tanggung jawab, lari dari masalah dan membuatmu terluka. Dulu aku selalu bersembunyi dibalik kata 'untuk tim', padahal aku sedang berusaha melindungi egoku." Bangchan memberi jeda sejenak untuk bernapas, ternyata mengakui kesalahan sangat sulit untuk dilakukan.

"Benar dulu aku menyukaimu, sangat menyukaimu sampai tidak terima ketika tau kamu milik orang lain. Aku yang memberi tahu hubungan kalian ke perusahaan, aku juga yang meminta mereka untuk mengancam mu. Aku hanya tidak senang dengan hubungan kalian. Bagaimana mengatakannya, aku suka padamu, tetapi aku malu mengakui kalau ternyata aku menyukai laki-laki sekaligus takut dengan bagaimana dunia melihatku. Bahkan sampai saat ini, rasa takut itu masih ada. Jahat, ya? Aku benar-benar minta maaf." Chan menundukkan kepala, mana mungkin punya nyali untuk mendongakkan kepala dengan pongah.

Mendengar itu tentu saja Changbin terperangah. Ia tahu mengapa Chan bersikap demikian tetapi sangat kaget kala mengetahui alasan lainnya. Seseorang yang ia kagumi sedari awal dirinya terjun di dunia musik ternyata hanyalah manusia biasa, sama sepertinya. Yang pula memiliki sifat tak terpuji sebagaimana seharusnya. Tetapi bagi Changbin, untuk saat ini Bangchan terlampau jahat sampai-sampai ia tak mampu mengatakan apapun selain air mata yang satu persatu mulai jatuh dari pelupuk. Memberikan jejak jatuh pada pipinya yang masih hangat.

"Dari semua orang, kenapa harus kamu kak?" Suara itu mengudara dengan serak, sebab ada isakan tertahan yang berusaha ditelan agar tak meledak.

Chan tak lagi mampu mengatakan apapun, kepalanya tertunduk makin dalam seolah ditekan oleh rasa malu sekaligus perasaan menyesal.

Lantas Changbin yang sejak awal memaksa untuk melupakan segala yang telah terjadi dahulu pun kini diterpa ingatan sakit tersebut. Dimana dirinya secara sengaja melukai Cha Eunwoo, barangkali orang yang memiliki luka paling banyak.

Daripada memaki pengakuan dosa dari Chan, Changbin lebih dulu menghina dirinya sendiri yang dengan bodoh menelantarkan Eunwoo begitu kejam. Disini yang dosanya paling besar adalah dirinya, bukan Chan atau siapapun. Seseorang yang layak dinobatkan sebagai pengecut seharusnya Seo Changbin. Apakah sudah terlambat jika dirinya ingin membayar dosa yang telah terbengkalai lama tersebut?



{•°}


"Jadi, ada keperluan apa?"

Moonbin sama sekali tidak memperkenankan basa basi mengambil alih waktunya yang begitu berharga. Meskipun agak sebal, tetapi ia berusaha ramah terhadap sosok laki-laki yang kini berdiri tak jauh darinya. Nampak sedang menimbang-nimbang sesuatu yang sesungguhnya ia tak begitu penasaran.

"Apa kamu masih berhubungan baik dengan Cha Eunwoo?" Sosok yang Moonbin kenal namun tak akrab itu terlihat ragu akan pertanyaannya barusan. Dan tanpa harus menebak lebih jauh pun, ia tahu arah pembicaraan ini akan berlari kemana.

"Langsung intinya saja," ujarnya ketus.

Sosok itu, Lee Minho mendecak kecil sebab tak tahu harus mengatakan dengan kalimat apa agar tidak terdengar memberatkan.

"Apakah dia bisa bertemu dengan Changbin sekarang? Maksudku kapanpun itu apakah dia bersedia bertemu Changbin kembali? Aku memang tak seharusnya ikut campur, tetapi kurasa ada yang perlu mereka selesaikan dari dua tahun yang lalu. Saat ini Changbin sedang berada di rumah orang tuanya karena sakit, maka dari itu aku meminta Eunwoo untuk menemuinya sekarang. Changbin memang tidak meminta ku untuk membawa Eunwoo, hanya saja aku rasa mereka perlu secepatnya bertemu. Aku hanya merasa tak tega melihat Changbin harus menderita terus-terusan." Minho menjelaskan dengan nada penuh kekhawatirannya, sekaligus takut jika saja apa yang ia katakan mampu menyulut amarah dari sang lawan bicara.

Moonbin urung memberikan respon, sejenak diam sembari menatap Minho lekat. Entah apa yang ada dipikiran pria itu tetapi Minho sungguh cemas sekarang.

"Baiklah, akan aku sampaikan padanya." Moonbin tidak menunjukkan emosi apapun, tubuh yang tadinya bersandar pada dinding itu kini ia tegakkan sempurna. "Sudah selesai kan?"

Minho mengangguk atas pertanyaan tersebut. Moonbin pun turut melakukan hal serupa. Lantas memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, tak butuh waktu lama untuk pria itu beranjak pergi meninggalkan Minho seorang diri. Yang masih tak yakin apakah tindakannya itu benar atau tidak.

"Terima kasih, maaf merepotkan," seru Minho sebagai perpisahan.

Tak ada tanggapan apapun dari Moonbin, lelaki itu melenggang pergi membawa punggung lebarnya menjauh dari jarak pandang Lee Minho.

Sampai ketika ia berbelok ke kanan, langkah kaki tersebut konstan berhenti. Tangan kiri yang semula berada di kantong celana itupun ia keluarkan, sembari menggenggam ponsel yang segera ia arahkan ke telinga.

"Dengar sendiri, kan? Sekarang terserah padamu, Cha Eunwoo."




{•°}



satu lagi kelarrr 🤧🤧🤧

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

satu lagi kelarrr 🤧🤧🤧

NOTHING LIKE US | CHA EUNWOO & SEO CHANGBIN (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang