twenty six

248 39 25
                                    


{•°}


Sirat terluka kini benar-benar tercetak jelas pada wajah Eunwoo yang malam itu bersemu akibat dinginnya udara di malam musim dingin. Ia bahkan sukar menutup kembali mulutnya setelah kalimat yang Changbin sampaikan diterima oleh akal sehatnya.

Lidahnya terlampau kelu.

Semesta paham bahwa sepasang insan itu sedang sama-sama terluka. Bahkan kini belati tajam tengah menghunus leher masing-masing secara imajinatif.
Nestapa tak pernah pandang bulu, deritanya selalu cukup untuk meruntuhkan dunia seseorang.

Changbin yang lebih dulu membuang muka, teramat takut dirinya bisa pecah tangis jika terus melihat raut penuh luka yang saat ini Eunwoo pertontonkan kepadanya.

"Dari awal apa rasa cinta itu ada? Kurasa disini aku yang jatuh sendirian, maka dari itu kamu bisa dengan mudah memutuskan. Apa aku terlihat gampangan bagimu?" tanya Eunwoo dihiasi suara yang bergetar. Tak tahu pasti penyebabnya karena luka yang semakin menganga atau memang hanya karena dinginnya suhu udara yang semakin rendah.

Mendengar itu Changbin dapat merasakan belati tadi menusuk pangkal lehernya dengan kasar, bagaikan benda tumpul.

Perlu digarisbawahi bahwa Eunwoo merupakan pribadi yang jarang atau bahkan tidak pernah menangis. Terlebih tumbuh dewasa dengan keadaan keluarga yang kacau balau membuatnya semakin gemar memakai topeng yang mampu menyembunyikan segala emosinya sebagai makhluk hidup berakal.

Tetapi kali ini berbeda. Seakan Eunwoo sangat ingin Changbin tahu tentang betapa terlukanya ia saat ini. Sepasang temaram redup itu kini tercemar sedikit kemerahan, sebagai bentuk penegasan bahwa hatinya makin luluh lantak seiring penuhnya pelupuk mata dengan air mata kekecewaan.

"Aku tau aku sangat egois sekarang. Hanya ingin kamu dan masa bodoh dengan yang lainnya. Sedangkan kamu punya banyak pertimbangan, aku paham sekali. Tetapi, pernah tidak sedikit saja kamu memikirkan ku? Mempertimbangkan hubungan kita? Akan lebih baik jika dari awal kamu katakan kalau semuanya tidak penting, maka aku juga akan berhenti berusaha. " Ia biarkan satu titik air mata itu membasahi pipinya yang membeku. Memberikan jejak kesedihan yang bahkan masih tercetak jelas meski diseka berulang kali.

"Biar kutanya padamu, apa kita melakukan kesalahan yang besar? Apa kita bersekongkol untuk membunuh orang? Apa meneror orang banyak? Sampai sebegitunya mereka mengutuk kita seakan-akan kita barang paling menjijikkan. Apa yang salah dari aku yang menyukaimu?" Eunwoo seakan tengah mengaitkan tiap-tiap pertanyaan barusan ke tubuh Changbin. Memberatkan sang terkasih agar setidaknya dapat merasakan sakit serupa.

Atau malah lebih dalam dari yang ia kira.

"Kamu benar, tak ada yang salah seharusnya. Tetapi tidak semua orang berpikiran seperti mu dan tidak semua orang bisa menerima orang macam kita. Kita adalah publik figur." Akhirnya si surai cokelat bersuara setelah cukup lama diam membisu.

Kini di dalam jaket tebalnya, kedua tangannya menggenggam erat seolah samar jika sesuatu dapat lepas dari kendalinya. Tanpa sang lawan bicara ketahui dan memang jangan sampai tahu.

"Sejak awal aku hanya penasaran padamu karena kamu selalu menggangguku. Aku hanya berpikir bahwa kamu akan cepat bosan dan menjauh. Tetapi kamu memaksaku untuk menyukaimu dan bertindak seolah-olah kita saling mencintai. Maaf jika aku menyakitimu, tetapi kita sudahi sampai disini saja. Anggap saja semuanya tidak pernah terjadi dan kita kembali ke kehidupan masing-masing seperti sebelumnya. Saat kita masih menjadi orang asing bagi satu sama lain."

Cukup sampai disitu saja. Belati tumpul tadi sudah lebih dari pantas untuk menusuk-nusuk tiap sudut tubuh Eunwoo begitu kejam.

Sosok Cha Eunwoo yang sesungguhnya adalah seorang anak laki-laki yang begitu rapuh, mudah terombang-ambing sebagai pertanda betapa lemahnya pertahanannya. Sebagai seorang manusia, sebagai seorang laki-laki.

Lantas kala mendengar yang terkasih melontarkan kalimat terlarang barusan, jika diibaratkan Eunwoo sebagai bangunan tua yang pondasinya telah lapuk. Tinggal menunggu waktunya ambruk saja.

"Ah, begitu rupanya." Air mata itu terus jatuh tanpa perintah dibalik pencahayaan yang semu. "Baru aku tahu ternyata kamu sebegitu bencinya padaku."

"Kurasa semuanya sudah jelas sekarang. Kuharap kamu terus merasa bersalah dan selalu menderita. Aku tidak akan pernah mengharapkan kebahagiaan untukmu." serunya masih dengan nada bergetar.

Lantas tanpa menunggu respon apapun, Eunwoo beranjak pergi. Yang dimana di setiap langkah kaki terdapat makian terhadap betapa bodoh dirinya. Cha Eunwoo sama sekali tidak berbalik karena masa untuk ia memandang wajah Changbin telah habis.

Punggung yang tegap itu menyiratkan luka yang teramat dalam. Sampai-sampai sebuah pedang pun tak mampu menandingi tentang betapa rusaknya luka tersebut. Setitik harapan terhadap perasaan yang di-semogakan masih eksis itu luluh lantak. Habis diterpa si angin yang pun nampaknya tak merestui hubungan mereka berdua. Sebegitu terlarangnya.

Setidaknya Cha Eunwoo tahu kapan dirinya harus berhenti.

Lalu bagi Seo Changbin, apakah benar hanya sebatas itu saja? Lantas mengapa kini ia malah jatuh terduduk sambil mengigit bibir. Sedang harap-harap cemas agar tangis yang telah ditelan bulat-bulat tidak memberontak keluar. Meraung-raung meminta agar figur seseorang yang makin menjauh dari pandangannya itu agar berbalik. Memeluknya yang kini perlahan-lahan hancur menjadi kepingan tak beraturan.

Kenyataannya tidak ada satupun dari mereka yang sungguh baik-baik saja.

Hidup memang tidak pernah adil maka seharusnya manusia harus terbiasa. Meski banyak dari mereka yang malah menyalahkan nestapa, manusia tetaplah makhluk sosial yang berakal dan penuh perasaan. Mana ada yang mampu terbiasa dengan kehilangan.



{•°}

helower

helower

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.







NOTHING LIKE US | CHA EUNWOO & SEO CHANGBIN (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang