nine

848 142 9
                                    


{•°}

Pria berparas bak pantulan matahari di danau yang tenang itu menyungging senyum kecil, melukis lekuk sabit pada matanya. Itu terjadi tepat setelah mendengar reaksi iritasi dari seseorang yang berada di seberang sambungan panggilan. Tak cukup yakin, namun ia bisa membayangkan bagaimana ekspresi geli itu.

"Kamu mau bertemu denganku?"

Terdengar dengkusan dari sana. Lalu jawabannya pun datang selanjutnya. "Aku tidak punya alasan untuk bertemu denganmu."

"Kamu punya."

"Berhenti bicara omong kosong."

"Apa perlu aku ceritakan secara detil perkara kamu mengotori pakaianku tempo hari? Dan saat itu kamu berjanji untuk mencucinya, tapi kamu malah pergi begitu saja. Kamu tahu kan kekuatan media sekarang bagaimana."

Lalu helaan napas panjang menyapa rungunya, Eunwoo terkikik tanpa suara. Sembari mengayunkan kakinya pada lantai keramik putih yang polos dan dingin. Meskipun penghangat ruangan telah dinyalakan.

"Ishh, mau bertemu di mana memangnya!"

Rahangnya melentur, senyum lebar hadir begitu saja mendengar respon dengan nada jengkel tersebut. Ia memenangkan keadaan saat ini.

"Kamu ingat restoran katsu tempat kita bertemu waktu itu? Kamu tunggu di depan sana dan aku akan datang secepat mungkin."

"Aku tidak sudi menunggu lebih dari sepuluh menit. Cepat atau aku pergi!"

Dan sambungan telepon itu putus. Eunwoo memandang benda pintar itu dengan sumringah lalu kemudian mengantungi nya ke dalam saku mantel tebal yang ia kenakan. Yeah, pria itu memang telah bersiap sedari awal. Meski belum sepenuhnya pasti apakah seseorang yang ia hubungi tadi akan menerima ajakannya yang mendadak.

Beruntungnya, usaha tersebut tidak sia-sia.

"Kamu mau kemana?"

Sebuah suara memanggil, dengan nada dingin yang hampir sama rasanya bagai suhu udara di luar sana. Eunwoo tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa si pemilik suara, langkah kakinya tetap melaju mantap menuju pintu utama bangunan tersebut. Ia harus pergi sesegera mungkin.

"Bertemu seseorang," sahutnya singkat.

"Di luar dingin dan saljunya turun lumayan lebat."

"Setidaknya lebih baik dari pada harus mendengarkan kalian bertengkar."

Cukup sampai di situ. Sebab jika di lanjutkan, banyak hati yang akan hancur malam itu. Retaknya sudah terlalu rentan dan dalam satu sentilan, maka itu akan jatuh dan runtuh. Tidak, Eunwoo tidak mau itu terjadi.

{•°}

Salju seputih susu itu ditendang tidak manusiawi, sebagai penyalur rasa kesal selagi dirinya menunggu kehadiran seseorang. Bibir kecilnya tidak berhenti meluncurkan gerutuan, brengsek, bajingan, sialan secara berturut-turut.

Mungkin dari sekian banyak orang berlalu lalang di sekitarnya, mereka bertanya-tanya mengapa gerangan pemuda dengan wajah tertutup itu mengomeli lampu jalan. Atau tiang listrik, dan selanjutnya udara kosong. 

"Ugh, aku kesal sekali!"

Tepat setelah keluhan itu lolos, sebuah mobil berada tak jauh di tempatnya berdiri. Menepi dari ramainya jalanan kota malam itu. Maka selanjutnya, si pengemudi keluar dari dalam sana. Dengan tampilan tak jauh berbeda dengannya, setelan mantel tebal dengan topi hitam dan masker mulut bernada serupa. Sosok itu kemudian melangkah ke arahnya, dan sekarang Changbin yakin sepenuhnya bahwa itu adalah orang penyebab kekesalannya.

NOTHING LIKE US | CHA EUNWOO & SEO CHANGBIN (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang