Delapan Belas

6.9K 448 13
                                    


Happy Reading✨

****

Baby baru selesai mandi, sambil memegangi perutnya dengan langkah hati-hati ia keluar dari kamar mandi hanya berbalutkan selembar handuk. Ia baru pulang setelah mengikuti senam khusus ibu hamil yang rutin ia lakukan selama hamil. Tadi ia hanya di antar oleh supir keluarganya. Biasanya Lena pun ikut menemani setiap Baby senam, namun, hari ini Lena berhalangan ikut.

Usia kandungannya tepat memasuki bulan ke sembilan. Beberapa kali ia sudah merasakan kontraksi palsu. Dokter memperkirakan HPL nya 8 hari lagi. Bisa lebih cepat atau lambat. Atas permintaan keluarga, sore ini rencananya ia akan kembali pindah ke rumah kedua orangtuanya. Baby pun menurut karena salah satu syarat yang Dewa dan Lena ajukan adalah mereka memberikan Baby waktu tiga bulan jika Baby benar-benar ingin tinggal sendiri. Mendekati waktu kelahiran Baby harus sudah kembali ke rumah dan ia menyetujui itu semua.

Baby sedikit meringis ketika merasakan kram di perutnya. Semakin mendekati persalinan, beberapa kali Baby merasakan kontraksi palsu. Ia mencoba mengatur nafasnya ketika kontraksi itu kembali ia rasakan. Ia mencoba tetap tenang. Dengan cepat memilih baju dan langsung memakainya lalu berjalan perlahan menuju kasurnya.

Baby mencari ponselnya. Tapi, kemudian ia ingat ponselnya ada di dalam tas yang tadi ia gunakan untuk pergi, dan tas itu saat ini ada di dapur. Ia hanya duduk di pinggir kasur sambil mencoba mengatur nafasnya, agar rasa tak nyaman di perutnya bisa sedikit mereda lalu ia bisa berjalan menuju dapur untuk mengambil ponsel.

Tapi, bukannya mereda, rasa sakit yang Baby rasakan semakin menjadi. Baru menurunkan kaki mencoba berdiri, tapi, ia sudah tidak kuat. Ia tidak yakin bisa kuat berjalan menuju dapur meski jarak dapur sebenarnya tak terlalu jauh.

Apalagi ketika ia merasakan ada sesuatu yang mengalir dari sela pahanya. Baby menatap kasur yang ia duduki basah, ia yakin itu bukan air kencingnya. Dirinya tidak mengompol, itu adalah air ketubannya. Ia sudah tidak bisa tenang apalagi ketika rasa sakit dari perutnya semakin menjadi. Baby bahkan sampai meremas seprai untuk melampiaskan rasa sakitnya.

"Sabar ya, nak. Sebentar lagi Om Petra datang" Ia mengelus perutnya lembut. Sore ini giliran Petra menemaninya. Meskipun ada satu asisten rumah tangga yang dipekerjakan sekaligus untuk menjaga Baby, keluarganya masih bergantian menginap untuk menemaninya. Dan kebetulan sekali Mbak Asih, art nya sedang Baby mintai tolong untuk membelikan makanan karena Baby sudah tidak punya stok bahan makanan untuk dimasak. Baby hanya sendirian di dalam apartemennya, berdua jika si kecil Kirey juga masuk hitungan. Anjing kecil itu hanya menggonggong kecil melihat tuannya sedang meringis kesakitan.

Dirinya kembali mencoba bangkit, mencoba kuat sekedar berjalan ke dapur untuk mengambil ponselnya. Namun, lagi-lagi ketika mencoba berdiri, Baby merasa tidak tahan. Ia takut nanti malah terjatuh dan bisa membahayakan untuk bayinya.

Baby merasakan dibawah sana ada yang mengganjal, rasa mulasnya semakin tak bisa ia tahan. Dirasa waktu lahirannya mungkin sudah di depan mata, ia bersandar pada sandaran ranjang. Melepas celana dalamnya lalu membuka lebar kedua kakinya. Nafasnya terengah ketika merasakan dorongan dibawah sana semakin terasa.

Saat kontraksi di perutnya kembali datang, dorongan dibawah sana sangat terasa. Baby mencoba mengenjan perlahan. Terus seperti itu sampai ia perlahan merasakan ada yang keluar dari jalan lahirnya. Perasaan Baby semakin tak karuan saat ia sudah tidak bisa mengontrol nafasnya. Ia merasa sesuatu tertahan dibawah sana.

Mencoba mengumpulkan sisa tenaganya yang tersisa, dalam sekali dorongan Ia berhasil mengeluarkan bayinya. Dengan perlahan mencoba Baby menegakkan tubuh. Memejamkan matanya selama beberapa detik untuk menenangkan dirinya sebelum mengambil bayinya yang masih berlumuran darah dengan ari ari masih menempel. Bayi itu hanya diam, sama sekali tak ada suara maupun pergerakan.

"Sayang?" Jantung Baby berdetak tidak karuan. Tak ada sama sekali gerakan dari bayinya. Dengan hati-hati Baby mencoba menyeka darah yang menempel di tubuh bayinya.

"Nak?"

"Sayang bangun. Bangun, nak. Kamu harus hidup. Jangan tinggalin Mama" Baby mulai menangis terisak-isak sambil memeluk tubuh kecil bayinya yang terasa dingin. Ia mencoba menyentuh jemari kecil bayinya dengan gerakan halus.

Baby menoleh ketika mendengar pintu kamarnya terbuka, telihat Petra berdiri di ambang pintu dengan tubuh kaku.

"Petra tolong ambilin baju, anak gue kedinginan, Pet" Petra yang kaget dengan apa yang ia lihat hanya diam berdiri diam di ambang pintu. Tanpa sadar beberapa tetes air mata keluar dari matanya. Ia terlampau kaget melihat banyaknya darah lebih kaget lagi melihat kakanya sedang menggendong sesosok bayi kecil sambil terisak-isak.

"Kenapa lo malah nangis, sih. Cepet Petra. Anak gue bisa mati kedinginan ini" bentak Baby keras.

Otak Petra benar-benar kosong. Ia linglung tak tahu apa yang harus ia lakukan. Dengan bodohnya ia malah mengikuti saran Baby berjalan menuju lemari mengambilkan baju. Tapi, di dalam lemari itu hanya terdapat baju-baju Baby. Sampai kemudian ia tersadar ketika mendengarkan jeritan mba Asih. Wanita itu dengan cepat berlari ke arah Baby tak menghiraukan jinjingan berisi makanan yang ia bawa berhamburan jatuh ke lantai.

"Mas Petra ini kak Baby nya harus cepat dibawa ke rumah sakit" jerit Mbak Asih.

"Aduh mas kok bisa santai-santai saja"

Seakan tersadar dengan cepat Petra menggendong tubuh Baby. Ia meminta Mbak Asih untuk membawakan si bayi.

******

"Mana anakku Mama. Cepat bawa kesini! Cepat bawa kesini, Ma. Dia pasti haus" Sudah hampir tengah malam ketika Baby tersadar setelah melakukan prosedur kuretase. Baby terus saja merengek meminta untuk bertemu bayinya yang bahkan sudah dikuburkan sejak sore tadi. Baby sempat mengalami pendarahan yang cukup hebat.

"Kenapa malah pada nangis, sih. Tuli semua ya kalian?" Bentak Baby kasar. Ia frustasi melihat seluruh anggota keluarganya hanya terdiam tanpa mengindahkan ucapannya.

"Cepetan bawa kesini" jerit Baby. Meskipun tubuhnya terasa sangat lemah keinginan untuk segera bertemu bayinya lebih kuat. Ia ingin memastikan apakah bayinya baik-baik saja.

"Petra lo kemanain anak gue? Cepat bawa kesini" Baby menatap Petra, ia ingat sebelum tak sadarkan diri adiknya itu yang merebut bayinya dalam gendongannya.

"Cepat ambil, Pet. Dia tadi kedinginan. Gue mau peluk dia"

Di atas sofa Petra hanya diam. Ia tak mampu mendengar jeritan-jeritan Baby yang sangat menyayat hatinya. Ia menyesal harusnya tadi ia bisa datang lebih cepat, mungkin semua ini tidak akan terjadi.

"Nak, iklaskan--" Baby menyentak keras tangan Dewa yang mencoba menyentuhnya.

"Apa? Apa lagi yang harus diikhlaskan? Aku cuma mau ketemu anakku, aku mau peluk dia, tadi dia kedinginan. Apa susahnya sih tinggal bawa kesini. Ada dimana dia biar aku sendiri yang cari?"

Lena memeluk tubuh Baby ketika putrinya itu nekat mencoba turun dari atas ranjangnya. Ia membawa Baby ke dalam dekapannya, membiarkan putrinya itu menangis meraung dalam pelukannya. Kenapa ketika anaknya itu sedang mencoba meraih kebahagiaan setelah semua kesakitan yang terjadi, ada saja sandungannya. Satu kali lagi mendung duka itu hadir.

"Ma. Hiks..."

"Nanti kita kesana, ya. Sudah tengah malam. Kamu istirahat dulu, oke?"

"Anakku mati, ya?" Lena tak mampu membalas perkataan Baby, ia hanya mengelus naik turun bahu putrinya yang masih bergetar hebat.

Karena Baby terus saja menangis, dokter memberikan suntikan penenang agar wanita itu bisa istirahat.

*****

Trapped With My Ex [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang