Benar, laki-laki itu—Raksa Dirgantara.
"Oh, gue paham sekarang, jadi lo Raksa Dirgantara?" ucap Mazaya setelah menelaah perkataan laki-laki yang sedang menatapnya lekat.
Gitu ternyata cara mainnya. Pantes aja kita ketemu terus. Tapi perasaan karakter Raksa nggak pernah diceritain? Apa dia karakter figuran?
Bisa Mazaya lihat timbul kerutan disekitar dahi laki-laki itu. Raksa bingung. Bukankah seharusnya gadis ini tau kalau namanya memang Raksa? Aneh, sekali. Namun, laki-laki itu tidak terlalu memikirkannya.
Obrolan mereka pun ditutup ketika kemacetan mulai pudar. Sisa lima belas menit itu mereka berdua gunakan berdiam diri menikmati lagu yang diputar radio. Raksa menurunkan gadis itu di depan lobby apartemen.
"Sorry banget, Zay gue nggak bisa bukain lo pintu. Lo pasti tau alesannya kan?" tutur laki-laki itu yang dibalas anggukan kepala Mazaya.
Mazaya tau benar apa yang laki-laki itu maksud. Apartemennya sedang dalam kondisi ramai, jika penyanyi itu terciduk mengantarnya pulang, satu negara bisa membahas mereka berhari-hari.
"Zay, omongan gue tadi bukan bermaksud mengajak balikan. Gue cuma mengungkapkan perasaan gue aja, kalau lo nggak nyaman kita bisa melanjutkan pura-pura saling nggak kenal." Raksa memastikan Mazaya tidak menyalahartikan ungkapan isi hatinya tadi.
Lagi-lagi hati Mazaya sesak, gadis itu pun mendengar suaranya sendiri.
Ternyata gue yang emang terlalu berharap.
"Iya, gue nggak akan salah paham kok."
Laki-laki bermata coklat itu tersenyum lega.
Menutup pintu mobil Raksa, gadis itu memelankan langkahnya, tiba-tiba moodnya berubah muram. Ia memalingkan kepalanya guna melihat laki-laki di dalam mobil. Namun karena kaca mobil laki-laki itu gelap, ia tidak bisa melihat objek yang ingin dilihatnya.
Gue yang pertama memustuskan, tapi kenapa gue yang merasakan sakit?
Tersadar, Mazaya mengernyitkan kening. Gadis itu bimbang sendiri, sebenarnya ada apa dengan dirinya, kenapa ia mengatakan kalimat seperti itu?
Tidak mau memeras otaknya ia pun menggelengkan kepalanya, mempercepat langkahnya memasuki lift.
Sedangkan Raksa belum juga melajukan kendaraan bermesin itu. Ia masih memikirkan keputusannya.
"Raksa, lo udah melakukan hal yang tepat. Memang benar masih ada ruang khusus untuk Mazaya di sini, tapi lo nggak boleh egois. Selama dua setengah tahun ini Tasya lah yang selalu mendukung lo Raksa, sampai lo berhasil mencapai puncak karir lo sebagai penyanyi, lo harus inget itu. Jangan pernah menyakiti orang lain lagi, kayak kesalahan bodoh lo dulu," monolog laki-laki itu pada diri sendiri.
▪︎▪︎▪︎
Jam berjalan begitu cepat. Hari berganti hari kemudian berganti kembali. Keesokan harinya, semua siswa dan siswi kelas Sebelas IPS 3 dengan tenang mendengarkan penjelasan Bu Ika—wali kelas mereka. Hari ini sebenarnya tidak ada mata pelajaran beliau, namun beliau sengaja masuk untuk sekedar memberi kabar bahwa ulang tahun Harapan Bangsa kurang dua hari lagi.
"Anak-anak karena dua hari lagi ulang tahun sekolah, kepala sekolah menyuruh seruluh wali kelas menginformasikan kepada murid didiknya untuk mengajukan satu pasangan mewakili kelas buat lomba dansa. Satu pria dan satu wanita. Kira-kira dari kalian ada yang mau mengajukan diri?" tanya Bu Ika menatap satu persatu anak-anaknya.
Hampir semua murid Seblas IPS 3 membuang muka, mereka tidak tertarik mengikuti lomba tersebut. Melihat itu, seseorang mendapatkan ide. Orang itu pun mengangkat tangannya. Bu Ika yang melihatnya tentu menoticenya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Voice and Acting
FantasyPernah nggak sih kalian nge-ship in karakter novel tapi akhirnya sad ending? Kalau pernah kalian termasuk satu spesies bareng Mazaya. Mazaya penggemar garis keras Couple Gitar, singkatan Gista Sagara. Mereka berdua tokoh fiksi yang Mazaya harap bers...