VAA S2 BAB 1

748 153 8
                                    

Kendaraan roda dua itu berhenti tepat di depan pintu gerbang berwarna hitam. Wanita paruh baya yang kebetulan sedang mengangkat pot tanaman, berlari menghampiri anaknya kemudian membukakan gerbang tersebut.

"Bagaimana hari pertamamu?" tanya Salma, ibunya setelah menutup kembali pintu gerbang rumah mereka.

"Alhamdulillah lancar, guru-guru di sana pada welcome, murid-muridnya juga asik-asik," jawab sang anak, memarkirkan motornya, membuka helm yang melindungi kepalanya, kemudian mencium tangan Salma.

Hari pertamanya di Harapan Bangsa aman terkendali. Mungkin karena ia guru baru di sana makanya guru-guru senior Harapan Bangsa masih beramah tamah dengannya.

Salma bernapas lega, kekhawatirannya tiba-tiba menghilang begitu saja. Ia pikir putrinya ini kemungkinan besar akan mengahadapi sedikit keksusahan ketika beradaptasi dengan pekerjaan barunya. Sekarang ia senang kekhawatirannya tidak bermakna apa-apa.

Anak dan ibu itu baru saja pindah beberapa hari yang lalu di kota besar ini. Dulunya mereka sempat tinggal di desa nan jauh dari kota.

"Ya sudah, segera ganti bajumu dan tolong ambil rantang yang sudah ibu siapkan di atas meja makan, lalu berikan pada tetangga depan dan samping," ujar Salma menuding rumah bercat putih di depan rumah baru mereka menggunakan jari telujuknya.

"Oh iya, sekalian promosi ya. Siapa tau mereka ada acara deket-deket ini, terus pesen deh ke katering ibu," ujar Salma.

Sudah dua tahun Salma membuka usaha katering di desanya, kali ini ia juga berniat melanjutkan usaha kateringnya itu guna membantu perekonomian keluarganya.

Tak terasa setahun berlalu setelah meninggalnya sang suami. Keputusan Salma merantau ke kota tidak lain untuk memperbaiki krisis ekonomi keluarga. Apalagi kini dirinya lah yang menjadi kepala keluarga. Meskipun Raya sudah berkerja, namun masih ada Kinan yang menjadi tanggung jawabnya, anak bungsunya ini masih duduk di bangku kelas 11.

Gadis itu menuruti perkataan ibunya. Masuk ke dalam kamarnya, menggambil pakaian dari almari, lantas mengenakannya. Selepas itu ia melaksanakan amanah yang dititipkan ibunya.

Gerbang rumah tetangganya ini setengah dibuka, ketika ia memajukan langkahnya empat langkah, ekor matanya bisa menangkap seorang gadis mungil sekitaran empat atau lima tahun sedang bermain masak-masakan menggunakan daun dan tanah.

Anak kecil itu bermain sendiri sembari mengucapkan bahan-bahan makanan.

"Ayam, woltel, cabai, tomat. Hmm,, apa lagi ya? lumput?" Tangan mungilnya mengambil rumput di sekitarnya kemudian memasukkan rumput itu ke dalam panci mainannya.

"Talaaa.... Sayul sopnya udah matang," soraknya melompat kecil. Matanya membulat bertatapan bersama wanita asing. "Cali siapa ya?" tanya gadis kecil itu.

"Papa mama kamu ada di rumah?" tanya wanita dua puluhan tengah.

Gadis kecil itu menghampiri wanita dewasa asing yang ia tangkap sedang berdiri di samping gerbang rumahnya, menenteng dua rantang makanan dan menatapnya sambil tersenyum.

Gadis kecil itu menjawab,"Papa ada, mama pelgi,"

"Boleh panggilin papa kamu nggak?"

Gadis kecil itu mengangguk cepat, berlari masuk ke rumah memanggil papanya.

Sedangkan sang tamu mengamati perkarangan rumah tetangganya. Cukup besar dan asri, rupanya tentangganya ini juga penyuka tanaman seperti ibunya.

Tak lama gadis itu muncul kembali, namun tidak sendiri, melainkan bersama papanya.

Deg.

•••

"Lo tau gue benci pengecut, pengecut yang menjual negaranya, tanah airnya, dan hidup orang lain, demi berlembar-lembar kertas! Lo pikir dengan lo kaya lo akan hidup tentram? Nggak! Pemikiran lo salah! Uang bukan kebahagian, tapi awal kehancuran."

Voice and ActingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang