Bagian 21

58 5 0
                                    

Gue cuma mau pindah ke Bali kenapa muka mereka kayak mau ditinggal mati sih?~Nakula Candravika~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gue cuma mau pindah ke Bali kenapa muka mereka kayak mau ditinggal mati sih?
~Nakula Candravika~

~••~

Sore ini tepat tiga hari setelah Bintang dan Mahendra tampil di panggung Luminar dan Nakula memutuskan untuk terbang ke Bali sesegera mungkin. Di antar oleh tiga sahabatnya sekaligus satu teman lama, Laluna Mirea.

"Nakula, gue baru aja ketemu sama lo masa lo udah flight ke Bali sih?" gerutu gadis yang jauh lebih pendek dari Nakula.

"Ya lo sih gak ketemu gue dari kemarin-kemarin."

"Deka tuh salahin! Gue minta nomor kalian gak di kasih."

Nakula tertawa pelan menepuk puncuk kepala Luna, "Baik-baik lo sama dia, agak gila soalnya."

"Emang kayak gitu dari dulu."

"Harus banget ya elus-elus kepala?" sindir Deka menatap tajam Nakula, sekedar membicarakan Nakula saja Deka sudah panas dingin apalagi melihat interaksi manis mereka seperti ini? Rasanya Deka terbakar habis dari dalam.

"Bacot banget babi!" hampir saja Nakula menempeleng wajah menjengkelkan Deka kalau saja Jonathan tidak merangkulnya erat.

Keberangkatan Nakula menuju Pulau Dewata tinggal sebentar lagi, berbagai doa semoga baik-baik saja terus dirinya dengar. Sebenarnya Nakula sangat berat meninggalkan kota kelahirannya ini, Jakarta punya banyak sekali luka dan tawa yang merekat dalam ingatan namun sekali lagi tekatnya sudah bulat untuk meninggalkan kota ini bersama bayang-bayang Selena.

"Nanti kalau udah sampai jangan lupa kasih kabar, La, jangan bikin khawatir." ujar Hara memperingatkan Nakula untuk kesekian kali.

"Iya, Hara, langsung gue pap deh."

"Harus banget pap?" Jonathan menanggapi dengan ketus.

"Kan no pict hoax."

"Bilang aja modus lo!"

"Dih! Gue pap di grup ya anjing bukan ke cewek lo aja!" perdebatan memang tidak pernah absen dari setiap pertemuan mereka.

"Ternyata masih sama aja." gumaman lirih Luna di dengar jelas oleh Hara.

"Emang gak ada niatan berubah kayaknya." bisiknya pelan.

Persis seperti dugaan Luna, Hara Syafira adalah gadis yang menyenangkan, berbanding terbalik dengan apa yang Deka ucapkan tempo hari. Mereka baru bertemu pertama kali namun sudah seperti teman lama.

Nakula melangkah meninggalkan teman-temannya dengan senyuman lebar yang entah apa artinya. Masing-masing dari mereka tahu jika melepaskan setetes saja air mata untuk saat ini maka tekat bulat Nakula akan goyah begitu saja dan itu sama dengan menghancurkan masa depan yang damai untuk sahabatnya.

"Padahal masih di Indonesia tapi kenapa Bali berasa jauh banget ya?"

"Soalnya kita gak punya uang." balasan ngawur Hara atas celetukan Luna membuat yang lain terkekeh pelan.

Setiap perpisahan akan selalu meninggalkan ruang kosong, terkadang akan terasa begitu hampa hingga seolah kita sekarat begitu saja. Namun demi sebuah hari yang lebih baik, demi sebuah damai yang lebih besar, kita perlu mengikhlaskan sebuah kepergian. Dan kali ini Hara akan berusaha menutup kekosongan itu diantara mereka semua, kehadiran Nakula memang tidak akan pernah bisa tergantikan, tapi setidaknya akan selalu ada Hara yang berusaha mengisi rongga-rongga itu agar tidak benar-benar berlubang dan hancur pada akhirnya.

Deka dan Jonathan kembali merasakan hal yang sama, persis seperti beberapa tahun lalu saat pertama kali Nakula mengatakan bahwa dirinya akan melanjutkan pendidikan ke Yogyakarta demi mimpinya. Ruangan yang akhir-akhir ini penuh seolah kembali kehilangan bagiannya dan tidak bisa di pungkiri nyeri yang menyelimuti hati perlahan menyeruak menembus pertahanan diri.

Namun untuk kali ini saja Jonathan ingin melepaskan sahabatnya dengan senyuman, karena sebelumnya saat mengantarkan Nakula naik ke kereta menuju Yogyakarta dirinya mengumpat ratusan kali atas keputusan Nakula yang semena-mena meninggalkannya berdua dengan Deka di Jakarta. Cukup kekanakan memang, namun bagi Nakula dan Deka itu adalah sesuatu yang wajar mengingat apa yang sudah Jonathan alami selama ini, Jonathan hanya tidak ingin ditinggalkan, itu saja.

"Ngerasa de javu?" Deka menepuk bahu lebar Jonathan beberapa kali.

"Dulu kita nganterinnya di stasiun sekarang di bandara, cuma beda tempat tapi sama-sama ditinggalin juga." ujarnya terkekeh.

"Mungkin emang harusnya gitu, people come and go." Deka tetaplah Deka, penenang paling dicari untuk sekedar mengatakan gak papa, semua akan baik-baik aja.

"Kita cuma perlu ngumpulin uang terus ngajuin cuti aja gak sih?" lagi-lagi Hara mencoba mencairkan suasana.

Kalau ditanya bagaimana perasaan mereka pasti jawabannya sama, ada yang hilang dan berganti kekosongan. Serupa bidak catur, jika satu pionnya hilang akan berdampak pada yang lain, strategi akan berubah meski tidak selalu ada pada kegagalan namun ruang kosongnya tetap akan membuat yang lain kuwalahan bahkan kocar-kacir kebingungan.

Seumpama langit Nakula Candravika adalah pelanginya, pelukis yang mampu membawa bahagia juga sesekali kesal karena terlalu sebentar muncul kepermukaan. Namun pelangi tetaplah pelangi, meski tidak bisa dipastikan kapan datangnya tapi akan selalu ada pelangi setelah hujan dan kedatangannya akan selalu menjadi pelengkap dan pertanda bahwa akan selalu ada harapan baru setelah badai memporak-porandakan keadaan.

"Kalau hari ini Nakula bisa senyum selebar itu, gue yakin dia punya mimpi yang lebih besar lagi di Bali. Meskipun gue tau koneksi lo emang gak pernah main-main, Jo. Tapi gue yakin lo gak akan ngebuat sahabat lo ngerasa bakatnya terlalu murahan sampai harus lo bantu."

"Lo bener, Lun. Koneksi gue di Bali emang banyak tapi gue cuma sekedar kasih dia saran harus kerja sama, sama siapa, selebihnya gue cuma bantu akomodasi aja."

"Udah gue tebak."

"Kita jadikan makan bareng?" Hara membuka suara setelah terdiam dalam keheningan.

"Sorry guys, tapi gue harus ngerjain laporan School Concert kemarin. Next time gue ikut deh, janji!" balas Luna tak enak hati.

"Aku anter."

Deka tanpa banyak bicara langsung menggenggam tangan Luna membawanya segera pergi, meninggalkan Jonathan dan Hara yang hanya menatap mereka berdua heran.

"Mereka kapan sih jadiannya?"

"Seinget aku belum jadian."

"Hah? Terus dari tadi mereka lagi ngapain? Cemburu, romantis, ngambek, masa gak pacaran?"

"Katanya Deka belum sih."

"Patut di bunuh si Deka!"

Jonathan terkekeh mendengar celetukan Hara, ya siapa juga yang tidak setuju untuk membogem wajah tengil Deka jika kepastian saja tidak diberikan padahal tingkahnya sudah seperti kekasih posesif?

"Dari pada marah-marah ngelihat tingkahnya Deka mending kita makan aja, lumayan isi energi sambil nunggu Nakula landing."

"Aku lagi pengen sea food, gimana kalau kita makan di resto teman kamu yang waktu itu aja?"

"Yuk! Kebetulan tadi Bintang lagi pengen sea food nanti sekalian kita bungkusin."

"Lo boleh gak suka atau benci sama perselingkuhan bokap lo tapi Selena bukan kesalahan atau aib, dia juga sama berharganya kayak kita. Selagi bisa buat diri kalian bahagia, kalau gak sekarang lo bisa coba suatu saat nanti waktu lo udah berdamai sama semuanya."

"Semoga gue bisa, Jo, semoga. Karena gak akan ada maaf untuk perselingkuhan."

To be continue...

Langit Biru || Johnny Suh (Completed)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang