Dari sekian banyak waktu kenapa harus hari ini, Ra?
~Aditya Widya Kusuma~~••~
Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, mega merah mulai muncul di langit bagian barat menandakan akan segera berakhirnya hari ini. Namun Hara masih betah duduk berlama-lama di ruangan milik Aditya, meminta pria itu untuk menunjukkan beberapa contoh undangan pernikahan mereka juga dekorasi untuk resepsi.
"Kamu beneran datang kesini cuma mau pilih dekorasi aja?"
"Emang kenapa sih, Ditya, aku gak boleh mampir ya?"
"Bukan gitu, kamu habis dari rumah sakit langsung kesini apa gak capek?"
"Aku tadi dapat chat dari Juan katanya kamu udah pilih-pilih kartu undangan, udah nentuin dekornya juga, ini terus aku ngapain?"
"Kan aku udah bilang biar aku aja yang urus, kamu fokus sama kerjaan kamu aja."
"Ditya, meskipun aku tau pernikahan kita cuma sebatas perjodohan aku juga mau ikut andil dong!"
"Kan kamu semalem udah bilang mau yang kayak gimana."
"Terus kalau ternyata aku gak nyaman sama pilihan kamu gimana, kalau ternyata aku gak cocok sama style kamu gimana?"
"Jadi sekarang udah puas? Ada yang mau di ganti lagi? Kalau ada bilang aja nanti aku kasih tau WO-nya."
"Aku mau pakai tema soft blue aja deh, gimana menurut kamu?"
"Boleh, dresscode buat tamu undangannya tetep pastel?"
"Iya!"
"Ada lagi yang mau di rubah?"
"Aku mau ikut fitting baju sama ukur cincin."
"Ya kalau itu kamu emang harus ikut, lusa aku janjian sama butiknya."
"Jadi di Naka's, kan?"
"Iya, kan kamu maunya di sana. Ada lagi?"
"Gak ada."
"Yaudah aku taruh ini di laci dulu."
Aditya masih tidak habis pikir tadi tepat pukul empat sore Hara sudah berada di dalam ruangannya, yang Aditya yakini perempuan itu pasti langsung datang kemari sepulang dari rumah sakit. Meskipun sebenarnya ingin sekali rasanya langsung mengantar Hara pulang saat itu juga namun Aditya lebih memilih beranjak ke meja kerjanya mengambil beberapa contoh kartu undangan dan dekorasi pernikahan karena berdebat dengan Hara sama saja dengan mengundang sakit kepala.
"Kamu kenapa lebih pilih kelola label musik dari pada jadi Dirut Rumah Sakit?" pertanyaan tiba-tiba dari Hara seolah membuat dunia Aditya berhenti berputar. Pergerakannya yang akan membuka laci meja ikut berhenti, pandangannya beralih pada gadis cantik yang duduk di sofa ruangannya.
"Kenapa kamu mati-matian mau urus tempat ini dari pada ikutin maunya Mama kamu?" Aditya masih bungkam di tempatnya tanpa beranjak, pikirannya tiba-tiba kacau mendapat pertanyaan beruntun dari Hara.
"Tadi siang Mama cerita semuanya dan aku bahkan baru tahu kalau rumah sakit itu juga salah satu usaha kalian, hal yang buat aku lebih kaget lagi adalah kalian kenal baik sama keluarga Adinata." Hara memutuskan untuk mengatakan hal ini karena sepertinya Aditya belum berniat menceritakan apapun padanya.
"Hara?"
"Iya, maksud kedatangan aku kesini sebenarnya mau tanya. Apa benar kamu biarin aku berhubungan sama cowok lain di depan mata kamu yang bahkan pernikahan kita aja udah bisa dihitung hari itu, karena kamu tau Jonathan adalah anak dari sahabat Papa kamu?" pertanyaan ini adalah inti dari rasa penasaran Hara selama ini, apa yang sebenarnya menjadi alasan calon suaminya tersebut.
"Hara, aku akan jelas-"
"Iya, Ditya! Kamu memang harus jelasin semuanya dengan rinci tanpa terkecuali."
Hara terlampau kaget saat tadi siang Mama dari pria dihadapannya ini bergabung bersamanya di kantin rumah sakit. Dirinya sedang tidak ada pasien dan akhirnya bisa mencuri waktu untuk mengisi perutnya yang kosong tapi cerita dari calon mertuanya membuat selera makannya hilang.
Aditya mengatur napasnya dan setelah menaruh beberapa contoh undangan pernikahan pada laci meja kerjanya Aditya berjalan menuju sofa di samping Hara. Ada hening cukup lama diantara mereka yang akhirnya memaksa Aditya menjawab pertanyaan demi pertanyaan Hara.
"Pertama, benar Jonathan itu anak dari sahabat baik Papa. Aku sama dia dulu beberapa kali emang pernah ketemu waktu kecil, tapi setelah kematian Ayahnya aku gak pernah tau lagi gimana kabarnya." Aditya sempat melirik Hara yang menatap ke arahnya masih dengan raut muka yang sama, menuntut penjelasan.
"Kedua, aku emang gak pernah berminat sama sekali jadi Dirut di sana. Aku udah beberapa kali bilang sama Mama tapi beliau tetap keras kepala dan akhirnya aku bilang sama Papa apa yang aku mau, aku cuma mau hidup dengan apa yang aku suka dan Papa kasih label musik ini. Papa bilang label ini gak boleh sampai gagal karena ini satu-satunya kenangan Papa sama mendiang sahabatnya yang baru akhir-akhir ini aku tau kalau itu Ayahnya Jonathan." Aditya menarik napasnya berat sebelum akhirnya kembali melanjutkan kalimatnya.
"Ketiga, awalnya aku memang gak tau kalau Jonathan dan Jona itu orang yang sama, aku gak tau kalau ternyata dia adalah anak dari sahabat ayah, dan untuk hubungan kalian..." ada jeda yang sengaja Aditya berikan untuk melihat reaksi perempuan disampingnya.
"Aku benar-benar mau biarin kamu nuntasin semuanya, Hara. Aku emang gak bisa paksa perasaan kamu kan? Kalau kamu memang masih jalin hubungan sama dia sampai hari ini gapapa, aku cuma mau minta tolong setelah kita resmi jadi suami istri kalian kembali jadi teman biasa, bisa?"
Hara terpaku, dirinya menatap kedua iris milik Aditya mencoba mencari kebohongan atau setidaknya keraguan dalam ucapannya namun hasilnya nihil. Pria ini mengatakannya dengan sangat mudah dan tegas, bagaimana bisa nada tegas itu terbungkus dengan kata-kata yang lembut?
"Aku serius sama pernikahan kita Hara, jadi aku minta kerja samanya ya?" Hara masih tidak menjawab apapun.
"Sebenarnya Jonathan juga udah tau tentang ini tapi katanya belum waktunya kamu tau, Jonathan mau kasih tau kamu soal hubungan Ayahku dan Ayah Jonathan waktu resepsi pernikahan kita. Biar kamu tau kalau masing-masing dari kita udah berdamai sama rasa sakit masing-masing, aku sama Jonathan udah sepakat soal ini tapi ternyata Mama justru hancurin rencana kita."
"Mama benar dengan bilang ini ke aku." ujarnya setelah keterdiaman yang cukup lama.
"Dengan begitu aku gak akan bertanya-tanya lagi, aku gak akan bingung lagi, aku tau gimana harus bersikap dan gak salah ambil jalan."
"Maaf soal pernikahan kita yang gak bisa aku batalin."
"Kita cuma pion, Ditya, jalani peran kita sebaik mungkin. Makasih buat kamu yang mau ngertiin aku, makasih udah bikin jarak sebelum kita resmi menikah, makasih udah kasih aku ruang gerak yang sangat luas, dan makasih udah ambil bagianmu dengan sangat sempurna, pokoknya makasih banyak buat apa aja yang udah kamu lakuin sampai hari ini."
"Kamu terlalu banyak bilang makasih, Ra, padahal aku cuma kasih hal yang memang seharusnya kamu dapetin."
"Aku ada pertanyaan terakhir."
"Apa?"
"Sejak kapan kamu punya perasaan itu?"
To be continue...
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Biru || Johnny Suh (Completed)✓
Fanfic//Bagian Pertama Adinata Bersaudara// [Kita Yang Selalu Ingin] Bukankah langit setia memeluk senja? Entah saat masih merah merekah bahagia, Atau bahkan saat hitam legam penuh duka. Sampai akhirnya senja hilang ditelan malam, Berganti esok fajar deng...