Dia Jonathan Auriga Adinata, aku biasa memanggilnya Auri, pria misterius yang menyenangkan dengan kemeja kemana-mana, penyuka Americano tanpa gula, dan aku mencintainya.
~Selena Candravika~~••~
Meski telah berlalu cukup lama siapa sangka semua kenangan itu masih terlihat jelas seolah baru kemarin di lalui. Suasananya bahkan tidak berubah, hanya bertambah ramai dari pada sebelumnya. Aroma bahkan hembusan anginnya masih semenyenangkan dahulu, dan yang paling penting suara deburannya masih menjadi melodi paling menenangkan sampai hari ini.
Dulu sekali Jonathan selalu datang kemari sendirian, tidak bersama Deka ataupun Nakula, bukan juga dengan Mahendra ataupun Bintang. Hanya sendirian menapaki pasir ini sampai akhirnya air laut menyapa telapak kakinya dengan lembut, memberikan setitik kesejukan yang mendinginkan jiwa. Lantas kemudian perlahan dirinya membawa seorang gadis sederhana yang punya banyak kepelikan dibalik senyum menenangkan.
"Aku selalu suka pantai kalau sore kayak gini, selalu ramai."
"Ramai itu bikin pusing tau, Ra."
"Ramai itu bikin bahagia, Jo."
Dari gadis penyuka coklat itu Jonathan akhirnya tau jika ramai tidak selalu menyebalkan, kita hanya perlu lebih luas memandang sekitar dan pasti akan menemukan hal-hal yang menarik di tengah keramaian. Seperti saat ini, Jonathan tidak sengaja melihat sepasang anak kecil sedang membangun istana pasir dengan muka yang jauh dari kata bersih, pasir menempel dimana-mana bahkan rambut dan baju mereka sudah basah tidak tertolong. Lucu dan menggemaskan.
"Rumah aku itu selalu sepi udah kayak rumah hantu yang gak ada penghuninya, padahal kita ada disana dan masih bernapas, cuma ya gitu suasananya yang mati."
"Tapi setidaknya kamu masih punya Papa dan Mama yang hidup dengan sehat, Ra."
"Aku bersyukur banget soal itu, tapi aku juga boleh serakah dengan minta waktu mereka lebih banyak, kan?"
Saat itu Jonathan terdiam, dirinya tidak membalas apapun karena yang dikatakan Hara Syafira memang benar. Rumah itu bukan hanya tentang sebuah bangunan tapi juga suasana di dalamnya.
Di satu waktu saat mereka kembali ke tempat ini Hara mengajak serta Bintang dan Mahendra yang kala itu baru saja pulang dari hari terakhir ujian mereka.
"Mahendra, Bintang, ada beberapa hal yang terjadi tanpa dugaan kita. Meskipun kita sudah mempersiapkan 100% untuk suatu hal kalian harus kasih tempat setidaknya 20% buat menampung kekecewaan, karena gak ada yang gak mungkin di dunia ini termasuk kegagalan. Tapi kalian juga harus tetap optimis dari hasil yang sudah kalian usahakan, kalaupun nanti hasil ujiannya gak memuaskan kalian bisa coba di kesempatan selanjutnya karena hidup itu soal menjajaki kesempatan dan menentukan pilihan."
Mungkin saat itu Mahendra dan Bintang belum memahami perkataan panjang Hara, tapi Jonathan tau benar bahwa keduanya meresapi kalimat panjang itu dengan baik. Atau mungkin sampai hari ini kalimat panjang dari Hara Syafira adalah salah satu pondasi untuk mereka.
Setiap sudut dari pantai ini selalu membawanya terbang jauh ke belakang, ke waktu dimana semuanya masih terasa abu-abu dan tidak jelas. Tentang perasaannya, mimpinya, hubungannya, atau apapun yang melekat pada Jonathan Auriga yang saat itu masih dilanda kebingungan hebat mengenai jati diri.
"Dari semua tempat dan pemandangan di muka bumi kenapa harus langit?"
"Karena cantik."
Satu percakapan sederhana saat dirinya dan Deka pertama kali membahas kesukaan masing-masing diawal masa pertemanan mereka membuat Jonathan kembali tersenyum tipis, pada waktu itu Deka sempat ingin memukul tengkuk Jonathan saking kesalnya tapi di urungkan karena satu kalimat Jonathan lolos begitu saja.
"Rasa suka itu pasti sebabnya gak ada, ya tiba-tiba muncul aja gitu. Kalau ada alasan dibaliknya ya berarti gak tulus, iyakan?"
Masih terekam jelas bagaimana akhirnya Jonathan dan Deka berteman dengan berandalan sekolah seperti Nakula hanya karena kesalahpahaman rokok.
"Sejak kapan lo ngerokok, Ka?"
"Apaan anjing, gue gak ngerokok!"
"Itu punya gue, nitip bentar tadi."
Dan pada akhirnya mereka justru menjadi teman seperjuangan yang tidak terpisahkan, mulai dari masa putih abu-abu sampai satu persatu mulai mencoba melangkah ke arah yang lebih serius bersama orang terkasih.
Jonathan bersyukur masih ada di bumi sampai saat ini, mengantarkan Hara pada Aditya, membuka jalan untuk Deka dan Luna, mendamaikan Nakula dan Selena, dan yang paling penting mengurus Mahendra dan Bintang tanpa cacat. Sekarang dirinya perlahan mulai merasa lega, tanggal pernikahan Deka dan Luna tinggal tiga bulan lagi itupun tidak penuh dan itu berarti kembali lagi tercapai tujuan kecilnya.
"Kalau cuma diem disini sambil senyum gak jelas mending pulang aja deh, takut kamunya kesambet."
Suara itu membuat Jonathan tersentak, betapa terkejut dirinya mendapati pemilik suara sedang tersenyum cerah disampingnya seraya menatap jauh ke laut yang biru.
"Kok udah disini? Aku besok baru aja mau susulin kalian, Bunda sama Nakula gimana sehat semua? Papa sama Mama kamu?"
"Satu-satu aja, Auri." ujar Selena terkekeh.
Benar, pemilik suara yang mengejutkan Jonathan sampai seolah kerongkongannya kering adalah Selena. Gadis yang hampir satu bulan lalu pergi ke Rotterdam karena sang Ayah yang mengalami kecelakaan hebat.
"Pertama, aku bisa sampai kesini ya naik pesawat terus dianterin kesini sama Bintang. Kedua, Bunda sama Bang Naka sehat dan sekarang juga udah ada di Indonesia. Ketiga, Mama udah sadar dari koma dan Papa udah membaik dan keluar dari rumah sakit. Dan kamu gak perlu susulin aku kesana soalnya aku udah ada dihadapan kamu dengan sehat tanpa cacat."
Jonathan langsung memeluk Selena erat sedetik setelah jawaban panjang itu terucap. Hari itu Jonathan tidak bisa langsung berangkat ke Rotterdam seperti apa yang dirinya bicarakan dengan Deka karena ternyata para pemegang saham memberikan banyak tekanan untuknya dalam beberapa hal yang akhirnya membuat dirinya harus kembali mengurus banyak sekali permintaan mereka. Sampai akhirnya dirinya memutuskan terbang ke Belanda besok tapi justru gadis ini sudah berdiri disampingnya saat ini.
"Jangan sakit lagi, Ele, aku khawatir."
Selena tertawa pelan sambil membalas pelukan itu, pelukan yang rasanya masih saja sama seperti tiga tahun belakangan. Pelukan hangat seorang Kakak, pelukan yang tidak akan pernah selamanya menjadi milik Selena seorang.
"Aku tuh sebenarnya cuma butuh tidur aja tapi Bang Naka sama Bunda ngeyel banget suruh rawat inap, jadi bukan salahku dong?"
"Kapan sih kamu mau disalahin, Ele?" Selena hanya membalasnya dengan senyum seadanya.
"Kamu masih mau disini?"
"Mau nemenin?" Selena mengangguk sebagai jawaban, kapan lagi dirinya bisa menjadi bagian dari tempat yang katanya Bintang penting ini? Tempat favorit Jonathan bahkan saat pria itu masih kecil.
Penghabisan hari ini diisi dengan hangatnya cahaya oranye menyinari mereka, hari dimana Jonathan pikir akan menangis sejadi-jadinya karena mengingat luka itu, bahkan mungkin membuka dan memainkannya dengan sadis. Tapi ternyata tidak, kelegaan tentang penerimaan dari semua yang dirinya jalani lebih dominan. Kembali ketempat ini ternyata menjadi analgesik paling ampuh dari semua terapi yang Jonathan jalani.
Kadang kala obat dari seluruh penyakit memang tidak jauh, mereka di dekat kita bahkan sangat dekat namun kita terlampau tidak menyadarinya. Rasa ikhlas ini harusnya ada dari bertahun-tahun lalu tapi baru Jonathan temukan sekarang. Saat dirinya kembali ke tempat ini, saat dirinya berpijak disini.
To be continue...
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Biru || Johnny Suh (Completed)✓
Fanfic//Bagian Pertama Adinata Bersaudara// [Kita Yang Selalu Ingin] Bukankah langit setia memeluk senja? Entah saat masih merah merekah bahagia, Atau bahkan saat hitam legam penuh duka. Sampai akhirnya senja hilang ditelan malam, Berganti esok fajar deng...