Aime Kurona #3

103 27 0
                                    

Hari kesialan bagiku itu tiba ketika Tsukauchi-san datang untuk menjemput. Ada ibu di belakangku, yang terkejut saat diriku hendak dibawa oleh seorang polisi.

"Tenang saja, Ibu! Beliau bisa dipercaya!"

Tetapi tidak. Aku yakin ibu tak akan pernah percaya, bahkan kepadaku. Saking bencinya dengan ayah yang berprofesi sebagai pahlawan, ibuku tidak pernah membuka hatinya pada siapa pun. Ibu selalu menggiringku ke jalan 'sederhana'. Dia menceritakan keburukan pahlawan dan bagaimana kami diabaikan pahlawan. Demi ketenangan batinnya, ibu memaksaku memiliki kekaguman yang berbeda dari Katsuki dan Izuku terhadap para pahlawan. Namun mendadak Sera datang, padahal akan lebih mudah berdusta kalau tidak didesak keadaan.

"Aku pulang, Ibu!" Aku membuka pintu dengan napas ngos-ngosan, menyapa Sera dengan keceriaan yang dipaksakan. "Ada Sera juga!"

Sera berdiri, membungkuk pada Tsukauchi yang ikut masuk demi menyapa ibuku.

"Selamat sore, Nyonya. Maafkan saya baru mengantar pulang Nak Kurona."

Penjemputanku yang dilakukan Tsukauchi ialah berkenaan penangkapan kelompok mafia yang melakukan penyekapan terhadap anak kecil dan penjualan senjata berbahaya. Itu tidak memakan korban jiwa dan terlaksana dengan rapi. Seluruh stasiun televisi memberitakannya dengan bangga, mengatakan bahwa pahlawan selalu selangkah lebih maju dari kejahatan.

Tetapi karena jemputan Tsukauchi, aku tahu kalau kematian ibuku bakal lebih cepat datang. Seharusnya Tsukauchi tak perlu kemari dan biarkan aku yang datang sendiri ke markas Chisaki. Dan meskipun kami berhasil menyelamatkan Eri serta menghentikan operasi tidak manusiawi, tetapi nasi telah menjadi bubur. Aku terpaksa jarang masuk sekolah dan sempat berkelahi dengan Sera juga demi menghabiskan hari-hari bersama ibuku sebelum ia bunuh diri, tetapi aku buat alibi seolah-olah dia dibunuh oleh penjahat.

"Jadi ibumu mati?" tanya Shigaraki seraya kami bermain gim dari ponsel masing-masing.

Aku mengangguk, melirik Spinner yang terkejut.

"Tidak apa-apa. Aku malah lega, soalnya beliau jauh lebih tersiksa jika terus bersamaku yang tak sesuai keinginannya."

Ini adalah malam usai aku bertemu teman-teman sekelasku. Aku izin pergi dari pengawasan Tsukauchi dengan alasan 'butuh udara segar', yang sebenarnya kugunakan untuk bertemu Shigaraki dan Spinner di toko kelontong demi main gim.

"Begitu, ya?" balas Spinner, canggung.

Omong-omong, sejak malam di mana aku bertemu Spinner, aku dengan sengaja memancingnya untuk membawa teman lain. Rupanya, dia benar-benar mengajak Shigaraki bermain. Meskipun begitu, aku tidak banyak tanya karena takut membuat mereka curiga. Tapi terkadang, aku mengeluarkan tanya agar terlihat normal dan peduli terhadap mereka.

Tapi yang paling utama, aku senang merasakan keakraban yang sudah lama tak kujalani.

"Kau tidak berduka?" tanya Spinner.

"Sudah kulakukan seharian ini, lelah."

Shigaraki memberikan dengkusan mengejek usai mendengar jawabanku, membuatku menyepak kakinya.

"Besok aku harus pindah mengikuti waliku. Nanti kalau kalian mau main, jangan lupa ajak aku, ya?"

"Pindah ke mana?" gumam Shigaraki.

"Musutafu," jawabku.

"Jauh juga."

"Kalau buat main bersama kalian, tidak terasa jauhnya."

"Terdengar menggelikan."

Aku menyepak betis Shigaraki lagi, tetapi tiba-tiba Spinner mendesah kesal. "Aah! Kau mengalahkanku sambil mengobrol? Yang benar saja!"

TiME COLLAPSE [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang