"Kita mau kemana, Om?" tanya Harin dengan wajah ditekuk. Kakinya sudah sakit dan terasa melepuh karena sepatu hak tingginya, tenaga terkuras karena berputar-putar dari gedung satu ke gedung lain."Ini tempat pengajuan kita yang terakhir." Sebelumnya mereka sudah pengajuan dengan komandan peleton, komandan kompi dan yang terakhir adalah komandan batalyon.
"Pasti boong dari tadi bilangannya terakhir muluk!" sarkas Harin dengan menghentak-hentakkan kaki.
"Jangan keras-keras, kalau terdengar anggota yang lain akan jadi masalah."
"Masalahnya apa?"
"Kamu cukup diam dan turuti saja saya."
"Gak mau."
Ashraf berdecak sebal. "Saya akan memberikan apapun asal kamu mau menuruti saya."
Harin menatap Ashraf dengan mata menyipit. "Apa?"
"Katakan saja apa yang kamu mau. Asal kamu menuruti apa kata saya."
"Nurutinnya gimana?"
"Tinggal turuti saja, kamu terlalu banyak bicara."
Harin menatap sengit. "Tapi jangan yang aneh-aneh ya, Om."
"Iya. Jadi kamu mau apa?"
Harin menyentuh dagu dengan telunjuk, ia berpikir apa yang akan ia minta. "Gue mau sosis yang kayak tadi terus semua makanan yang ada di Mall itu."
"Hanya itu?"
"Emangnya Om punya uang buat beli yang lain lagi? Itu aja udah banyak Om, satu toko satu porsi."
"Uang saya banyak. Kamu mau apa?"
"Gue gak tamak, gue gak serakah ya, Om. Gue gak bisa di sogok, gue ini pekerja keras, pantang menyerah dan mandiri, tiap hari gue benerin mesin motor dan menghasilkan uang. Jadi Om gak usah sok-sokan nawarin apapun karena gue gak tertarik."
Ashraf mengangguk-angguk, mendengarkan semua celotehan gadis ini, tapi jika dipikir-pikir apa salahnya untuk kagum dan memang pantas pula di kagumi sifat yang ia sebutkan tadi. "Jadi hanya sosis dan makanan di mall itu saja?"
"Hmm ...."
"Baiklah. Tapi kamu harus berjanji."
"Kayak bocil pakai janji-janji segala, ya udah nih janji!"
Harin mengacungkan jari kelingking dan Ashraf menautkan jari kelingking besarnya.
"Janji adalah hutang jika kamu melanggarnya itu akan jadi dosa."
"Dosa gue udah bejibun kali! Udah setinggi gunung, jadi Om gak usah ngomongin dosa karena gue seniornya!"
Ashraf ingin mengguncang kepala gadis ini agar otak sintingnya sedikit encer. Ashraf menggandeng Harin saat mendekati sebuah gedung utama dengan banyak prajurit dan ibu Persit diluar.
"Om apasih gandeng-gandeng!" Harin mencoba melepas genggaman tangan Ashraf.
"Ada banyak prajurit di sana, kita harus terlihat akur. Kamu sudah berjanji akan menuruti saya."
Harin menggerutu. Kesal sekali karena harus patuh pada perintah lelaki ini.
"Kamu harus senyum, bersikap ramah dan bersahabat."
Harin terpaksa membentuk sudut di ujung bibirnya, walau ia tidak suka menebar senyum dan bersikap ramah, tapi demi pantang menarik janji dan kehilangan semua makanan enak di Mall, Harin harus melakukan itu.
"Saya ingin bicara tapi pelan-pelan, mengerti?"
Harin mengangguk.
"Ingatkan bagaimana cara kamu bicara dengan atasan saya?" tanya Ashraf dengan perasaan was-was karena akan bertemu dengan komandan batalyon, ia takut gadis ini akan bertindak diluar kendali walaupun di komandan sebelumnya gadis ini dapat bertindak baik dan sesuai harapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐒𝐎𝐑𝐕𝐀𝐍𝐄𝐓𝐒
General Fiction@Harin_Ainara *Bahagia bukan harapan, tidak juga menjadi tujuan, hanya sebuah bayangan. Rasa sakit itu familiar bukan hanya kalimat semu, tapi sebuah kenyataan* @Lettu (Pnb) Ashraf_Arrasyid *Bukan hadir untuk rasa sakit, bukan hadir untuk kecewa ta...