⚠️ Note : Bahasa Arab. Jangan malas untuk membacanya, ini adalah doa💥
⚠️ Non-muslim, mohon menyesuaikan diri. Salam toleransi 🙏***
Bulan terang malam ini, sesuka hati menampak diri, awan abu-abu berada disekitar bulan, awan putih yang terkena cahayanya telah berubah warna, namun itu tidak bisa mengubah apapun jika awan mempunyai sisi hidupnya sendiri. Begitupun dengan bintang tampak bertaburan memenuhi langit, kelap-kelip nya menambah kesan indah saat di pandang.
"Besok kita akan menikah."
Harin tidak mengalihkan pandangan pada keindahan langit, saat ini langit terasa lebih menarik dari pada benda apapun, termasuk calon suaminya.
"Pernikahan kita hanya akad saja, sah secara agama dan negara. Untuk resepsi dan pedang pora akan kita laksanakan setelah saya selesai latihan di Natuna."
"Batalin aja deh Om pernikahan kita."
Ashraf menoleh, memandang wajah samar di tengah terang bulan. "Kita akan menikah."
"Gue bilang batalin, Om. Terserah kek gimana caranya, gue gak mau dengan nikahin gue bakalan jadi penyesalan Om. Kan gak etis banget dong kalo gue yang gak banget ini ngancurin hidup orang."
"Batalkan saja kalau kamu bisa."
Harin mengayun-ayunkan kaki, meraih rumput-rumput liar yang mengenai kakinya. "Gue yakin lo bakalan nyesel, Om."
"Kenapa?"
"Karena banyak perempuan yang pantes buat, Om. Soal hutang bapak gue, bisa gue bayar nyicil atau gak gue jadi ART di rumah lo, gratis."
"Jika bisa menjadi istri kenapa harus ART?"
Harin terdiam.
"Saya tidak seburuk yang kamu pikirkan. Saya tidak akan lari dari tanggungjawab."
Harin tertawa kecil. "Gak gitu juga."
"Sedikit banyak saya tau kehidupan kamu. Hanya laki-laki pecundang yang lari dari tanggungjawab."
"Semua laki-laki cuma manis di bibir, beda sama di hati." Gadis rambut pirang itu bangkit dari tumpukan batu, berjalan meninggalkan Ashraf yang masih tetap berada pada tempatnya.
"Saya akan membuktikannya Harin. Anggapan kamu tentang saya tidak benar." ucap Ashraf namun tidak menghentikan langkah Harin untuk berjalan meninggalkannya.
Harin berjalan di bawa terangnya lampu jalan dan lampu Tuhan. Ia tidak pernah menyangka hidup akan membawanya pada posisi ini, posisi dimana ia tidak bisa menentukan arah. Antara balas budi atau menjadi orang yang tidak tahu terimakasih. Tidak akan ikatan keluarga, tidak juga ada yang menyayanginya tentu sangat mudah untuk pergi. Namun tidak akan semudah itu jika hati terikat dan menyayangi sesuatu nyawa pun bisa di korbankan.
Harin menghentikan langkahnya, menatap rumah sederhana yang menjadi tempat tinggal sekaligus neraka. Rumah yang pernah membawanya di masa-masa bahagia, dimana ia punya sumber kebahagiaan yang sampai saat ini tidak pernah ia lupakan. Rumah yang menjadi salah-satu alasan untuk ia tetap tinggal, hanya rumah ini kenangan terindahnya. Mungkin alasan sangat bodoh hanya karena rumah yang tidak seberapa bagus ia suka di siksa, ia tidak ingin rumah ini, ia hanya ingin tetap bersama kenangan indah dengan sumber kebahagiaannya. Sumber kebahagiaan itu telah tiada setidaknya ia masih dapat tinggal dan merasakan sedikit kebahagiaan bersama kenangan.
Mata Harin berlinang, ia melihat sosok wanita berbaju daster bunga-bunga berada di teras rumah, menatapnya dengan tersenyum penuh cinta. Harin melangkah maju, seiring lambaian tangan sosok wanita itu. "Ibu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐒𝐎𝐑𝐕𝐀𝐍𝐄𝐓𝐒
General Fiction@Harin_Ainara *Bahagia bukan harapan, tidak juga menjadi tujuan, hanya sebuah bayangan. Rasa sakit itu familiar bukan hanya kalimat semu, tapi sebuah kenyataan* @Lettu (Pnb) Ashraf_Arrasyid *Bukan hadir untuk rasa sakit, bukan hadir untuk kecewa ta...