22 Tidak Sedingin Itu

403 61 8
                                    

Sorry lama UPDATE, soalnya sekarang saya lagi fokus sama USP (Ujian Satuan Pendidikan), yang menentukan saya lulus atau tidak di SMA. Disela-sela saya belajar saya sempatin buat nulis cerita, demi para Readers 🌾

Jangan lupa dilike dan komen ya👀

Minta doanya biar saya bisa ngerjain soal dengan benar🎉😉

Sehat selalu kalian, walau lama saya bakalan tetap Up! Jangan bosan sama cerita Ashraf dan Harin 🤩😍

***

Harin duduk melamun di depan jendela kamar. HUT TNI tinggal menghitung hari dan besok adalah acara perlombaan yang diadakan di Asrama tentara ini, tapi Ashraf belum kembali dari Jambi. Ia tidak merindukan laki-laki sangar itu tapi ia merasa sepi sendirian seperti ini, terlebih lagi jika ia harus sendiri saat diadakan perlombaan, pasti akan kesulitan tanpa Ashraf. Dan ia juga tidak tahu bagaimana jadinya ia tanpa Indah beberapa minggu ini. Ia demam dan pegal-pegal di sekujur tubuh dan sampai sekarang pun tubuhnya masih kurang segar. Ia sudah beberapa kali mencoba menelpon Ashraf tapi tidak diaktif.

Harin menutup pintu, ia duduk di bibir ranjang. Dalam keadaan seperti ini, ia membutuhkan Ashraf disampingnya. Laki-laki itu tidak akan pernah sungkan untuk membantu.

Tok! Tok!

"Dek Harin!"

Pintu di ketuk, Harin segera ke ruang tamu membukanya. "Mbak?"

Indah nyelonong masuk ke rumah. "Gimana badan kamu?" tanya Indah.

"Udah mendingan kok, Mbak."

"Gimana udah telpon suami kamu?"

Harin menggeleng. "Gak aktif, Mbak."

Indah menghela napas. "Sayangnya co-pilot bukan Bang Feri. Kalau Bang Feri masih bisa coba telpon dari dia." Indah menyayangkan.

"Saya udah gak papa kok, Mbak."

"Biarpun gitu harus tetap di kasih kabar, Rin. Mbak gak tau lagi siapa co-pilot nya. Duduk-duduk." Indah membawa Harin duduk disofa, disentuhnya kening Harin dan wanita itu akhirnya menggumam samar.

Harin tersenyum tipis, Indah orang asing begitu baik dan sangat memperhatikannya. Ia merasa setelah menikah, orang-orang baik mengelilinginya. "Makasih Mbak ya."

"Makasih untuk apa?"

"Makasih karena Mbak udah baik tolongin saya."

"Gak papa, Dek. Manusia harus saling tolong-menolong. Lagian saya ini juga dimintai tolong sama Bang Ash buat jaga kamu."

Harin mengangguk. Perhatian suaminya itu, ntah bagaimana sebenarnya ia harus bersikap. Mungkin Ashraf sempurna sebagai suami tapi Harin belum bisa menerimanya.

"Ya udah, Dek. Mbak pulang dulu. Kalau butuh telpon Mbak aja."

Harin mengangguk. "Makasih, Mbak. Maaf ngerepotin."

"Iya."

Harin berdiri depan pintu, menunggu istri teman suaminya itu benar-benar masuk ke dalam rumahnya baru ia mengunci pintu.

***


Harin melenguh saat ia terbangun dari tidur. Pelan-pelan matanya terbuka. Ia masih mengumpulkan nyawa yang telah mengembara. Kebiasaan ia terbangun tengah malam seperti ini.

Prang!

Harin terkejut, matanya yang masih sayu itu seketika segar saat mendengar suara benda jatuh, perempuan itu langsung bangkit keluar dari kamar. Didapur, ia melihat ada orang, tubuh Harin gemetar ia dengan pelan kembali ke kamar, tidak ada benda yang bisa ia jadikan senjata, matanya tertuju pada gitar akustik milik Ashraf yang digantung. Cepat-cepat ia mengambil dan berjalan pelan-pelan menuju target dengan perasaan was-was karena orang yang masuk ke dalam rumahnya mengerikan, besar, tinggi dan hitam sedang mengotak-atik dapurnya.

𝐒𝐎𝐑𝐕𝐀𝐍𝐄𝐓𝐒Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang