Harin menghela nafas berat. Seragam olahraga Persit ia kenakan. Hari ini ada kegiatan olahraga, senam dan kegiatan latihan bola voli. Wanita berseragam olahraga biru itu telah berada di teras rumahnya, menunggu Indah memanggil untuk berangkat bersama.
Hari-hari ia lalui sebagai istri sekaligus Ibu PIA Ardhya Garini, kewajiban menjadi seorang istri tentara. Walau sebenarnya semua ini terasa berat untuk ia lakukan. Ia merasa harus belajar seperti sekolah dulu, pemahaman tentang tugas-tugasnya dan kegiatan apa saja yang harus ia lakukan.
"Belum berangkat?" tanya Ashraf yang baru saja keluar dari rumah, laki-laki itu membawa secangkir kopi ditangannya. Ia langsung memposisikan diri duduk di samping sang istri.
"Nunggu Mbak Indah."
"Telpon Kakak kalau kegiatannya sudah selesai."
"Iya. Om gak berangkat dinas?"
Ashraf menyeruput kopi hitam yang asapnya masih mengepul. "Selesai ngopi Kakak berangkat."
Ashraf mengeluarkan sebungkus rokok dan HP dari celana loreng hijau miliknya. Ia memang perokok, tapi laki-laki ini tidak akan pernah mau merokok didekat Harin. Alasannya mudah saja, ia tidak mau orang lain terkena dampak dari asap rokok miliknya.
"Bawa HP, Kak." Ashraf menyodorkan handphone miliknya.
"Buat apa?"
"HP kamu itu sudah tidak layak pakai lagi, jadi bawa HP ini untuk kamu telpon Kakak nanti. Bulan depan Kakak gajian, kita beli HP baru untuk kamu."
"Terus kalo gue bawa HP Om. Gimana sama, Om?"
"Nomor HP ini langsung tersambung ke telepon ruang kerja, Kakak. Buka HP-nya, Sayang."
Harin menekan tombol di sisi HP, layar handphone tanpa kunci keamanan itu langsung menampilkan foto pernikahan mereka.
"Kamu telpon nomor ini nanti."
"Iya, Om."
"Dek!" panggilan itu serentak membuat Ashraf dan Harin menoleh. Tampak wanita menyebrang jalan bersama sosok tentara yang tengah menggendong bayi. "Ayo berangkat."
"Iya, Mbak."
"Titip istri saya, Ndah."
"Titip-titip! Kayak istri Abang ini gak bisa ngapa-ngapain. Dek Harin ini Bang udah mulai paham! Jangan meremehkan kemampuan istri sendiri!" ucap Indah dengan wajah judesnya.
"Nah, Ash. Benar kata istriku, kau meremehkan istri kau sendiri. Harus yakin kau sama istri." timpal Feri membenarkan ucapan istrinya.
"Bukan begitu," Ashraf merangkul istrinya. "Aku cuma khawatir karena istriku masih baru, bukan aku meremehkan." Ashraf membela diri.
"Dek Harin? Suami kau ini meremehkan kau. Malan nanti, suruh tidur diluar." kelakar Feri.
"Tak bisa! Istriku ini mana bisa jauh dari aku. Selalu mintak peluk setiap malam. Kan, Sayang?"
"Halah!" Feri mengibaskan tangannya.
Ashraf tertawa. "Kenapa? Tak senang kau?"
"Kau tak usah bela diri, kau itu memang meremehkan istri kau. Kalau saya jadi kau, Dek. Sudah saya suruh tidur diluar suami macam Ashraf."
"Najis pulak kau jadi istriku!"
"Umpama, Nang! Kau kira aku mau jadi istri kau!"
"Kau cakap begitu, kau maulah. Ingat, Fer. Kau itu punya istri, punya anak. Normal-normal sajalah. Hati-hati, Ndah. Suami kau ini mulai tak normal!"
"Gila kau ini!" Feri tak terima.
"Kau yang gila!"
"Malah jadi ribut." ucap Indah yang berada di samping Harin.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐒𝐎𝐑𝐕𝐀𝐍𝐄𝐓𝐒
General Fiction@Harin_Ainara *Bahagia bukan harapan, tidak juga menjadi tujuan, hanya sebuah bayangan. Rasa sakit itu familiar bukan hanya kalimat semu, tapi sebuah kenyataan* @Lettu (Pnb) Ashraf_Arrasyid *Bukan hadir untuk rasa sakit, bukan hadir untuk kecewa ta...