15 Kemarahan Ashraf

450 100 9
                                    


"Makasih, Om. Udah tepatin janji Om buat datang ke makan ibu." ucap Harin. Tangannya terulur mengelus batu nisan yang bertuliskan nama ibunya. Senyum wanita itu terbit dengan perasaan tulus karena Ashraf telah menepati janjinya.

"Setiap minggu kita akan datang ke makam, Ibu."

"Bener, Om?" Mata Harin berbinar.

Ashraf mengangguk, dielusnya kepala Harin yang tertutup hijab. "Iya, tapi saya tidak bisa berjanji kita akan selalu bisa datang."

Harin mengerutkan kening, tanda jika ia sedang heran, bukannya Ashraf yang berkata akan datang ke makam ibunya setiap minggu.

"Karena saya tentara jika di hari libur, terkadang ada saja tugas yang mengharuskan saya untuk pergi." ucap Ashraf sebelum Harin bertanya, ia tahu dari ekspresi sang istri.

Harin mengangguk kecil. Ia mengerti tapi ada sedikit mengganjal di hatinya, tentang pindah ke rumah dinas itu. "Boleh gak Om kalo gue gak ikut lo?"

"Jika boleh saya tidak akan meminta kamu untuk ikut."

Harin diam, bagaimana sekarang. Bagaimana caranya lagi ia memberontak. Di Asrama itu ia tidak akan betah dan tidak akan bisa hidup di Asrama, terlebih lagi yang ia dengar tentang bagaimana tinggal dan bermasyarakat di sana. Ia khawatir tidak akan bisa bergaul.

"Kamu jangan khawatir, saya akan selalu ada untuk kamu. Saya akan mengajari dan membimbing kamu di Asrama nanti."

Harin kaget laki-laki ini seolah bisa membaca pikirannya. Ia melirik Ashraf, ekspresi tetap sama, tetap santai dan tangan kekarnya bekerja mencabuti rumput di makam ibunya. Kenapa sikap Ashraf harus begini? Kenapa tidak kebalikannya.

Ashraf menoleh kepada sang istri, di cubit nya pipi Harin karena. "Hidup di Asrama tidak seburuk itu, Sayang. Sama seperti hidup diluar, bedanya ada aturan. Aturannya tidak ketat jika di jalani dengan santai. Patuhi saja aturan, pasti akan jauh lebih baik."

Pipi Harin bersemu merah, jantungnya terasa berdebar-debar, Harin mencoba bersikap biasa saja dengan tatapan dan senyum hangat itu, tapi rasanya begitu sulit. Kenapa sikap Ashraf begitu manis? Sikapnya benar-benar berbeda dengan harapan. Harin menunduk, lagi-lagi ia kalah dengan godaan lelaki.

"Belum mau pulang, Sayang?"

"Bentar lagi, Om."

Ashraf mengangguk, ia lebih tenang sekarang melihat keadaan istrinya lebih baik dari kemarin. Tidak marah saat ia membicarakan soal pindah rumah, mungkin saat itu perasaan Harin tidak baik.

"Saya dulu cukup kenal dekat dengan ibu, kami sering bicara seperti adik kakak, tapi sekarang menantu dan mertua."

"Kok bisa?" Wajah Harin penuh tanda tanya, darimana Ashraf kenal dekat dengan ibunya.

Ashraf menarik hidung Harin karena gemas. "Kenapa heran seperti itu? Tentu saja saya kenal."

"Ya lo jelasin lah, Om."

"Tapi kamu jangan tersinggung."

Mata Harin menyipit, kedua alisnya bertemu. "Gak."

"Orang tua kamu pinjam uang untuk modal usaha. Tapi saat itu Papa baru beli lahan untuk tanaman karet lagi. Alhasil Papa tidak pegang uang. Jadi Bapak coba pinjam ke saya, kebetulan memang saya ada dirumah saat itu, karena uang tabungan di rekening lumayan, jadi saya pinjamkan dengan perjanjian 10 juga perbulan akan di kembalikan."

"J-jadi uang yang di pinjam uang lo, Om?"

"Iya. Tapi itu sudah berlalu, semua hutang orangtua kamu sudah lunas."

Harin tersenyum kecut. "Pantes ya, Om. Kalo lo nikahin gue buat bayar hutang."

Ashraf tersenyum mendengar spekulasi yang di ucapkan istrinya, tentu ia tidak ingin sampai salah paham. "Sama sekali tidak."

𝐒𝐎𝐑𝐕𝐀𝐍𝐄𝐓𝐒Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang