Ashraf menggandeng tangan Harin memasuki lapangan Lanud. Sejak keluar dari mobil tangan wanita itu tidak ia lepaskan nya. Di punggung tegapnya ada tas ransel dan ditangan kirinya membawa tas besar.
"Om gue risih tau. Lepasin gue."
"Ayo kita ke sana." Ashraf semakin erat menggenggam tangan sang istri. Membawanya pada sekumpul orang berseragam loreng.
"Assalamualaikum!"
"Waalaikusalam warahmatullahi wabbarokatuh!"
Ashraf menjabat satu-persatu tangan rekan kerjanya.
"Ini istrimu?" tanya salah satu rekannya.
"Siap, Ndan!"
"Alhamdulillah. Maaf kami tak bisa hadir di pernikahan kau."
"Tak apalah, Komandan."
"Tapi saya pasti hadir waktu acara resepsi dan pedang pora kau."
"Siap."
"Aduh! Aduh! Dek Ashraf bawa istrinya!" ucap seorang wanita berseragam Persit PIA.
"Siap, Bu!" Ashraf menjabat tangan wanita itu. Tanpa disuruh Harin mengikuti. Ashraf tersenyum bangga, ternyata sang istri langsung bisa beradaptasi.
"Maaf ya, Dek. Saya gak bisa hadir waktu akad kalian."
"Siap. Tidak apa-apa, Bu." Harin menebar senyum. Ia mencoba sebaik mungkin dalam bersikap, menerapkan ajaran iparnya untuk untuk menghadapi istri atasan Ashraf.
"Ayo, Sayang." Ashraf meraih tangan Harin, menariknya untuk pergi dari tempat rekan-rekannya.
"Kita mau kemana, Om?"
"Kita ke bawah pohon itu saja. Apel sekitar 30 menit lagi, sekalian nunggu Mamah." Ashraf meletakkan tas besar di rerumputan, menarik Harin agar duduk di dekatnya.
"Minum mana, Yang?"
"Ini." Harin memberikan tas miliknya. "disini rame banget, Om."
"Kan mau keberangkatan." Ashraf mengambil botol minum dan menegak air itu hingga tinggal setengah.
"Ini minum." Ashraf menyodorkan botol minum pada sang istri.
Harin menggeleng. "Gak haus, Om."
"Yakin?"
"Iya."
"Saya yang habisin." Hanya dua kali tegukan air minum itu habis.
Ashraf melempar botol ke tong sampah yang berada di belakang mereka. Tangan kekarnya merangkul punggung Harin, tangannya bergerak mengelus-elus kepala Harin yang tertutup hijab. "Saya akan merindukan kamu nanti."
"Gak usah lebay deh, Om."
"Saya serius. Kamu juga harus merindukan saya."
"Gak mau!"
"Harus mau."
"Maksa."
"Bukan Ashraf kalau tidak memaksa. Sini, Sayang." Ashraf membawa tubuh Harin bersandar pada dadanya.
"Om malu tau!"
"Bang Umar lewat dimana, lama begini sampai ke Lanud." rutuk Ashraf seolah tidak mendengar ucapan Harin.
"Om lepasin. Gue malu tau di liat orang-orang."
"Tidak usah perdulikan, terserah orang yang mau melihat."
"Om nyebelin."
"Tapi ngangenin."
"Kagak! Om lepasin."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐒𝐎𝐑𝐕𝐀𝐍𝐄𝐓𝐒
General Fiction@Harin_Ainara *Bahagia bukan harapan, tidak juga menjadi tujuan, hanya sebuah bayangan. Rasa sakit itu familiar bukan hanya kalimat semu, tapi sebuah kenyataan* @Lettu (Pnb) Ashraf_Arrasyid *Bukan hadir untuk rasa sakit, bukan hadir untuk kecewa ta...