⚠️Note⚠️
Jangan siderlah (pembaca gelap). Saya udah capek-capek ngetik, capek-capek mikir demi kalian reader. Kalian cuma baca doang tanpa kasih jejak. Bukan apa ya guys, cuma risih doang liat viewers banyak tapi yang vote dikit, cerita saya yang sepi ini jadi tambah sepi. Saya sebagai penulis jadi gak semangat. Lagian dengan ninggalin jejak itu cara mengapresiasi penulis. Bukan ngemis ya guys cuma mengutarakan perasaan doang😪👌
***
Pagi ini keluarga Ashraf berkumpul sekalian sarapan. Dengan acara resepsi pernikahan ini ada kesempatan untuk reuni keluarga. Keluarga Ashraf bukan keluarga sembarangan, keluarga ini adalah keluarga terpandang. Bukan hanya karena harta tapi bagaimana cara keluarga ini dalam berbagi harta kepada masyarakat di sekitarnya. Sebut saja keluarga ini dermawan.
"Harin nikah sama Ashraf. Kita jadi ikut hidup enak, Pak." ucap Dania dengan antusiasnya.
"Iya. Kita memang beruntung." jawab Aryo.
Bagaimana tidak beruntung. Saking keluarga ini dermawan, Dania yang baru datang langsung di beri uang. Memang tidak banyak memberi, tapi kalau hampir seluruh keluarga memberi uang, mulai dari saudara mertua sampai ipar Harin, banyak kan? Tentu itu menjadi hal yang sangat menyenangkan bagi Dania karena mendapat uang banyak.
Aryo lebih beruntung lagi, keluarga Ashraf hanya tahu jika keluarga mertua anak bungsu keluarga ini adalah orang tidak beruang alis miskin. Hal itu mengundang simpati keluarga dermawan ini untuk memberi uang bantuan, bantuan untuk membangun usaha dan biaya sekolah Harin. Aryo memang pintar memanfaatkan situasi.
"Jadi kalian kapan pindah?" tanya Usman.
"Lusa, Bang." jawab Ashraf.
"Mana sebenarnya gak mau kalian pindah. Tegap disini aja kalau bisa." ucap Fatimah.
"Kalau bisa Ashraf juga mau tinggal disini, Ma. Tapi jarak dari rumah dan kesatuan jauh, Ashraf mana mungkin pulang pergi. Lagipula Ashraf sudah punya rumah dinas." ucap Ashraf.
Fatimah menghela nafas. Tampak berat untuk membiarkan putra bungsunya harus pindah rumah, walaupun putranya memang terbilang jarang pulang.
"Harin sudah siap tinggal di Asrama, Ash?" tanya Yuni.
"Insyallah, Mbak. Ashraf juga akan membimbingnya." Mengenai itu Ashraf berusaha yakin, istrinya akan siap tinggal di Asrama, ia juga akan mengajari bagaimana bersikap.
"MAMA!!" teriakan lantang dari tangga lantai dua.
Mata semua orang tertuju pada gadis kecil di gendongan Harin. Gadis kecil itu baru saja selesai ia mandikan.
"Rin? Ini bajunya." ucap Yuni.
"Iya, Mbak." Harin mengambil gaun pink yang berada di atas meja. Memakaikan baju itu setelah mengeringkan rambut Aqila.
"Ante mau mamam." ucapnya.
"Sisir rambut dulu." Harin mengangkat tubuh bayi berusia 2 tahun untuk duduk sofa. Selama tinggal disini, ia punya sedikit kesibukan dengan mengurus anak iparnya.
"Kau gercap dikit lah, Ash. Istri kau itu sudah pantas jadi ibu." celetuk Sahir, sepupu yang seumuran dengan Ashraf.
"Kau kira aku tak gercep. Sudah gas pol."
Plak!
Wajah Ashraf miring saat tamparan mendarat di pipinya.
"Mulut!" ucap Fatimah dengan melotot.
"Ashraf salah apa, Ma?"
Fatimah tidak menjawab, ia malah menyumpal mulut Ashraf dengan potongan roti. "Kunyah! Daripada ngomong yang aneh-aneh, mending makan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐒𝐎𝐑𝐕𝐀𝐍𝐄𝐓𝐒
General Fiction@Harin_Ainara *Bahagia bukan harapan, tidak juga menjadi tujuan, hanya sebuah bayangan. Rasa sakit itu familiar bukan hanya kalimat semu, tapi sebuah kenyataan* @Lettu (Pnb) Ashraf_Arrasyid *Bukan hadir untuk rasa sakit, bukan hadir untuk kecewa ta...