Tired

1.7K 263 46
                                    

"I'm caught between your love and a hard place. Oh, I wish there was a right way. "

H. E. R

Siang itu Jeika merasa terik matahari menembus atap dan membakar tubuhnya secara langsung. Peluh terjatuh Ketika ia tengah mengangkat keranjang besar tempat bahan-bahan baku, meninggalkan beberapa keranjang lain untuk diangkung orang lain.

Hari ini melelahkan, dan belum sebanding bila mengingat apa yang selalu ia perjuangkan selama ini. Lalisanya—calon anaknya—pernikahannya.

“Cepet dong woy!”

Ia mendengar seruan tersebut dari belakang dan mungkin adalah anak lama yang selama ini selalu ingin menang darinya—ingin dipandang oleh atasan bahwa kerjanya lebih maksimal.

Setelah menaruh bahan-bahan tersebut, ia meraih sebotol air mineral untuk diteguk. Masih jam sebelas ternyata tapi mendadak ia ingin menelepon Lalisa sekarang—juga ingin bicara dengan Baby.

“Kalau kerja banyak melamunnya ya gak akan kelar.” Seseorang terdengar bersungut-sungut.

Jeika melirik tajam—apa ia pecahkan saja kepalanya sekarang?

“Kenapa lirik-lirik, masalah sama gue bilang,” lanjut pria itu.

Tangan Jeika mengepal, si keparat itu sudah kerap kali memancing kesabarannya. “Lo kalau gak suka gue kerja di sini resignlah bangsat, gak usah sok ngatur-ngatur.”

“Lo lah yang resign, kerja lu gak becus soalnya.”

Jeika maju dengan mata menyalang, beberapa orang di sana segera melerai
“Udah, udah. Jangan sampai kalian berdua yang dikeluarkan dari sini. Kalau butuh pekerjaan ini, kerja baik-baik aja gak usah bikin masalah.”

Jeika mengetatkan rahang, mengabaikan pria sok hebat itu dan mengangkat bahan-bahan baku lainnya untuk dimasukkan ke dalam gudang.

                            🌷🌷🌷

Apa krimnya terlalu berantakan? Ia buat yang baru saja? Lalisa melirik jam dinding, sudah jam sebelas lewat 30 menit, jam makan siang Jeika akan dimulai.

Setelah berpikir dua kali ia memutuskan memasukkan cake tersebut ke dalam kotak, menutupnya pelan-pelan. Di  sisinya, ada rantang makan siang yang sudah diisi dan ditumpuk dengan rapi, tinggal membawanya serta bersama cake yang ia buatkan.

Ia mengecek ponsel untuk melihat taksi online yang ia pesan sudah sampai atau tidak. Lima menit lagi.

Lalisa  merapikan pakaian dan rambut yang hari ini ia jepit dengan jepitan merah muda, semoga saja Jeika menyukainya.

Klakson di depan menandakan bahwa taksi online yang ia pesan sudah sampai, Lalisa  mengangkat barang bawaannya lantas keluar untuk menghampiri sopir taksi.

“Duhh, saya aja, Mbak. Mbak masuk aja biar barang-barangnya saya masukin ke dalam.”

Lalisa tersenyum simpul. “Makasih, Pak.” Lalu menyentuh perut besarnya kemudian berhati-hati masuk ke dalam mobil.

Kehamilannya sudah memasuki trimester ketiga, perutnya jadi lebih besar tapi terlihat lucu bila ia mengenakan dress. Bila sedang beraktivitas padat, Baby kadang-kadang menendang. Beberapa malam terakhir Ketika ia dan Jeika bersiap tidur, Baby juga menendang dan membuat Jeika berjengit antusias.

Pria itu selalu antuasias. Walau kantung matanya melebar dan ia sering kurang tidur—ia tidak pernah jujur perihal beban yang ia seret besar-besar.

Itu mengapa kali ini—pertama kali setelah sekian lama akhirnya Lalisa datang lagi mengunjungi restoran Rhea—tempat Jeika mencari nafkah.

Mrs. Dandelion✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang