20

1.1K 117 6
                                    

Halo
Makasih buat dukungan kalian di part sebelumnya
Langsung aja deh, ENJOY
_____________________

Paginya Bandung itu selalu unik. Meski matahari sudah melayang begitu tinggi, tapi kabut embun nya masih bertahan sampai saat ini.

Hari ini Gevanendra bangun pukul setengah empat, kemudian berjamaah shalat subuh di masjid komplek, dan sampai di rumah pukul enam tepat. Iya soalnya mereka gibah dulu sama tetangga.

Setelah sampai rumah, mereka berganti baju untuk jogging pagi bersama keliling komplek. Sebenarnya itu ide triplets sih, sampai akhirnya mereka berakhir disini.

"Mang, buburnya Echan tambahin ayam nya ya!"

Si penjual bubur atau kerap di sapa mang Adul itu mengacungkan jempol dari balik gerobaknya.

Haechan melepaskan hoodie yang dia kenakan dan mengibaskan kaosnya. Pemuda tan itu seperti kepanasan padahal suhu dingin masih menyapa sampai pukul delapan ini.

"Gila, ini ratu Elsa lagi blusukan ke Bandung apa gimana! Dingin banget kayak sikapnya doi." Jisung menyeletuk sambil mengeratkan jaketnya. Jika Haechan kepanasan, maka Jisung kedinginan.

"Dingin mata lu lima! Panas kek liat dia sama mantannya gini malah di bilang dingin!" Sahut Haechan tak terima, tak lama pemuda itu mengaduh karena dahi paripurna nya terkena lemparan sendok dari Renjun.

"Itu sih lu nya yang kebanyakan dosa, bang!" Sambung Chenle mewakili ucapan Renjun yang tidak jadi di keluarkan.

Yang di katai jelas tidak terima. Orang jelas-jelas Haechan itu anak baik, ganteng, sopan, tidak suka berkelahi, dan rajin menabung malah dibilang kebanyakan dosa. Tapi emang bener sih.

Haechan menendang kuat kursi yang di duduki Chenle. Untung saja keseimbangan si lumba-lumba itu bagus jadi tidak sampai terjungkal. Kan ga elit kalau salah satu Gevanendra ada yang bonyok karena jatuh dari kursi.

"Chan, kalo kursinya patah abang ga mau gantiin loh. Ganti pake uang sendiri!" Tegur sang kakak sulung, sedangkan Haechan hanya cengengesan seperti beruang kebanyakan uang. Apaan dah.

"Aduh bapak teh gak tau, ini si Echan udah tujuh kali matahin kursi mamang, untung aja dia mau langsung ganti!" Mang Adul datang sambil membawa pesanan mereka. Memberi kesaksian atas kelakuan oknum bernama Haechan yang sering mematahkan kursi di warungnya.

Merasa tidak nyaman dengan panggilan mang Adul padanya, sulung Gevanendra itu tersenyum canggung. "Jangan panggil pak atuh mang. Panggil Mahen aja."

"Gak sopan atuh. Lagipula bapak teh meskipun masih muda tapi kewibawaan sama aura kepemimpinan nya keliatan banget kalo bapak orang terpandang. Mamang jadi sungkan!"

Mark hanya meringis mengingat statusnya saat ini. "Ga usah sungkan atuh mang. Saya teh kakaknya mereka, bukan om nya atau orang tua mereka."

Mang Adul tampak terkejut dengan pengakuan Mark. Selama ini ia hanya tau nama Mark sebagai CEO perusahaan otomotif terbesar dan tinggal di komplek tempat ia berjualan. Bahkan triplets yang menjadi langganannya pun tak pernah bercerita kalau mereka adik dari Mahendra, CEO GV Company.

"Serius kamu teh kakaknya mereka? Kok si kembar gak pernah cerita sama mamang?"

Mark melirik tiga adik kembarnya yang sibuk memakan bubur, lebih tepatnya menyibukkan diri. Pemuda itu menggelengkan kepalanya pelan dengan senyum kecil. "Iya mang, Mahen teh kakaknya mereka. Kalo sama Rendy, mamang kenal gak?" Ucapnya sambil menunjuk Renjun yang memainkan ponsel.

Dengan antusias mang Adul menjawab. "Wah kalo Rendy teh mamang kenal. Satu komplek pun juga kenal sama Rendy, cowok paling santun yang pernah mamang kenal!"

Yang di sebutkan namanya hanya menampilkan senyum malu. Mark merasa bangga dengan adik-adiknya. Semua anak Gevanendra populer dengan caranya sendiri, dengan cara yang baik pula. Tak satu pun dari mereka yang membawa marga Gevanendra untuk meraih kepopuleran, ya terkecuali Mark. Karena ia juga yang membuat nama Gevanendra begitu famous di kota ini.

Merasa tak ada pembicaraan lagi, mang Adul pamit untuk kembali ke balik gerobaknya. "Yaudah mangga atau di makan. Kalo bahasa Jawa nya teh, monggo di sekecakaken!"

Mark terkekeh mendengar ucapan mang Adul yang berbahasa Jawa, tapi masih menggunakan logat Sunda.

"Nggih mang, matur sembah nuwun!"

•••

"HUAAAAAAAAAAA! ABANG TOLONGIN!"

Teriakan menggelegar dari tenggorokan anak bungsu itu menggema sampai ke seluruh penjuru rumah. Beberapa orang yang ada di rumah itu langsung berlari keluar menuju taman belakang yang merupakan tempat asal suara.

"Astaghfirullah haladzim Jie, ngapain manjat-manjat pohon begitu?" Mark langsung beristighfar kala melihat adik bungsunya yang duduk berpegangan pada batang pohon rambutan.

"Abang tolongin Jie dulu! Nanti aja ngomelnya!" Teriak Jisung lagi dengan wajah takut menghadap tanah.

"Yaudah sih tinggal turun aja dek, ga gitu tinggi juga pohonnya!" Jeno menyahut sambil memakan Chiki ball rasa yang pernah ada dengan mata menghadap ke yang Maha Kuasa, maksudnya menghadap ke atas.

"Masalahnya ada ulet ini di bawah bang! Mana ijo nya ijo tai sapi, jelek kayak bang Echan!"

Mark, Jeno, dan Jaemin kompak menepuk jidatnya masing-masing, kalo nepuk jidat nyai Suman kan ga sopan. Sedangkan Haechan sudah bersiap melempar sandal kayu yang di kenakan nya tadi.

"Bocah congornya ngadi-ngadi. Gue napas doang masih aja kena!"

"Badan doang gede, sama ulet takut!" Ledek Jaemin lalu pergi mengambil galah untuk menyingkirkan ulat bulu yang di maksud adiknya. Jisung yang mendengar ledekan Jaemin jelas memberenggut tak terima. Bibirnya maju sekian senti hingga hampir mencium tai burung yang ada di daun dekat mulutnya.

"Mana uletnya?" Jaemin mendekat pada pohon yang di tumpangi Jisung dan mencari keberadaan ulat itu.

"Arah jam sembilan bang, satu setengah meter di atas tanah. Buruan, Jie capek pegangan!" Jaemin segera mengikuti arahan adiknya, namun tak lama ia melempar galah yang di pegangnya dan mendatarkan ekspresi.

"Gue kira bakal tinggi tempatnya. Tau nya segini doang, ngapain gue susah-susah ngambil galah, mana uletnya sekecil harapan lagi!" Jaemin menggerutu dengan bibir ala emak-emak yang sedang mengomeli anaknya, beda nya dua mengomeli ulat. Agak lain tapi maklum, soalnya ini Jaemin.

Tangannya mengambil sehelai daun dan menyingkirkan ulat itu dari pohon. Setelahnya Jaemin menepukkan kedua tangan untuk menghilangkan debu yang menempel.

"Dah ilang tuh. Cepet turun!"

Jisung malah menggeleng keras. Pegangannya pada pohon semakin mengerat hingga tubuhnya menempel. "Jie takut, ambilin tangga bang!"

"Tikus sialan banyak mau! Naek bisa turun kaga bisa! Udah kek kucing kebelet kawin." Haechan mengoceh sambil berlalu. Lalu Jeno, Jaemin, dan Mark ikut meninggalkan Jisung yang masih bertengger di atas pohon.

"ABAAAAAAAAANG!"

_____________________
Halo halo deck kamyu semuanyahhh (lagi kobam ka Farhan sama ka Ryan)
Kembali lagi dengan Lia selaku penulis dan Dreamies selaku Bagong
Maksudnya tokoh di cerita ini
Hehe, Lia madu sedikit cerita nih
Kemaren kan Lia dateng ke kondangan nikahannya temen Lia waktu SMA, nah pas sampe lokasi, Lia dapet kabar dari temen SMP, kalo salah satu sahabat Lia di SMP udah pergi selama-lamanya
Disitu Lia beneran bingung harus seneng atau sedih
Akhirnya Lia mutusin buat seneng dulu di nikahannya temen Lia, terus pas di mobil jalan pulang sambil nyetir Lia nangis sampe make up nya luntur

Dah segitu aja ceritanya
JANGAN LUPA VOTE FOLLOW KOMEN!

THE GEVANENDRA'S | NCT DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang