25

1.7K 150 15
                                    

Haiii, Lia kembali bersama tujuh bagong kesayangan kalian lagi
Sumpah maap banget kalo part ini agak cringe, soalnya Lia kehabisan ide beneran dah
Enjoy, jangan lupa vote follow and comment yak
__________________________

"Abang, hiks ayo bangun hiks maafin Echan!" Ucapan Haechan terdengar pilu saat pemuda itu membantu kembaran nya dan beberapa petugas medis mendorong brankar Mark menuju ruang ICU. Tak jauh berbeda dengan Haechan, kondisi Jeno, Jaemin, dan Jisung juga kacau. Namun memang Haechan lah yang paling parah.

Lalu, hubungan nya Mark di sini? Kenapa anak sulung itu bisa tak sadarkan diri dengan kondisi tubuh yang mengenaskan?

Kalian ingat di chapter sebelumnya, tentang sosok misterius berbaju serba hitam? Sosok itu adalah Mark, sulung mereka. Pemuda itu datang mengenakan baju serba tertutup agar tak di ketahui sang musuh alias Byan juga agar adik-adiknya tak mengkhawatirkan nya. Di tambah lagi sebelumnya Mark juga berakting marah dan tak membiarkan adik-adiknya menyelesaikan masalah ini sendirian, nyatanya ia juga turun tangan. Paham ga sih?

Kondisi Mark bisa di bilang cukup mengenaskan. Luka akibat goresan dari benda-benda reruntuhan gedung itu menghiasi sekujur tubuh nya, ujung mata sebelah kiri nya tergores hingga membuat luka yang cukup menganga, belum lagi lebam biru keunguan di punggung dan dadanya akibat kejatuhan material-material bangunan, tak lupa percikan darah yang menjadi pewarna tubuh kekar yang sekarang lesu itu.

"Kalian tunggu disini, papa masuk!" Seokjin berucap menatap para putranya yang terlihat lelah dan kacau. Sudut matanya melirik ke arah Haechan yang akan tumbang. Namun sebelum tubuh Haechan benar-benar ambruk, Jeno lebih dulu menahan tubuh kembarannya dan menggendongnya.

"Chan, Echan! Bangun!"

Seokjin menggeleng pelan. Pria itu mengusap wajahnya kasar. "Echan parah, Jen! Bawa dia ke ruang ICU sebelah ruangan ini. Mas Damar ada di sana!"

Menanggapi ucapan papa nya, Jeno mengangguk dan membiarkan Seokjin masuk untuk menangani sang kakak. Mata sipitnya kemudian melihat ke arah Jaemin dan Jisung yang duduk diam di kursi tunggu ruangan ini.

"Na--"

"Pergi aja, Jen. Gue yang nungguin abang di sini. Pastiin Echan ga kenapa-napa. Gue ga mau sodara gue apalagi kembaran gue sakit. Gue ga mau kehilangan lagi, Jen!"

"Lo makan dulu, Na! Ajak Jie juga!" Setelah berucap demikian Jeno pergi dengan menggendong Haechan yang memang sudah kehilangan kesadaran menuju sebuah ruangan di samping ruang ICU Mark.

Jaemin tak menengok sama sekali ke arah Jeno, bahkan Jisung yang duduk di samping nya. Pemuda kelinci itu sibuk memandangi lantai yang tidak ada apa-apanya sama sekali. Kedua sikunya di tumpukan pada lutut menopang kepalanya yang seakan di jatuhi beban seberat seratus ton. Sungguh kepalanya ingin pecah. Dua saudara nya meregang nyawa dan sedang berjuang melawan coretan tugas sang malaikat maut. Jaemin ingin menangis, sungguh.

Di tengah-tengah keheningan, ponselnya berbunyi menjadi backsound suasana kali ini. Buru buru pemuda itu membuka ponselnya dan menghela nafas kasar kala melihat nama si penelpon.

Saking sibuknya dengan pemikirannya sendiri, ia bahkan lupa menghubungi saudara nya yang lain dan memberitahu kondisi si sulung serta Haechan. Tak ingin berlama-lama Jaemin segera mengangkat telepon dari kakak manis nya.

"Na? Kamu tau abang kemana? Mas cari di kamar nya ga ada."

Nafas Jaemin tercekat. Ia bingung harus memberitahu kondisi Mark atau tidak pada Renjun. Ia tak ingin membuat Renjun panik dan berakhir kambuh.

"Na? Jie udah ketemu kan? Gimana kondisi Jie? Jie gapapa kan?"

Pertanyaan ulang yang di berikan Renjun menarik kesadaran Jaemin. Pemuda itu kembali ke kenyataan. Mengatur nafas agar seolah tak terjadi apa-apa, pemuda itu menjawab.

"Janji mas Ren jangan panik dulu. Jangan gegabah juga."

"Dengan kalimat itu kamu malah bikin mas makin panik, Na. To the point!"

"Jie gapapa, mas. Tapi--" Jaemin kembali menjeda ucapannya membuat Renjun semakin panik di sana.

"Tapi apa Navian Jaemin!" Renjun terdengar marah.

"Abang sama Echan parah, mas. Mending mas kesini ke rumah sakit nya papa, nanti Nana jelasin disini. Atau Nana jemput mas sama Lele aja?"

"Ga perlu. Mas on the way sama Lele. Mas tagih nanti penjelasannya!"

Renjun menutup sambungan telepon itu sepihak. Jaemin menatap layar ponselnya yang perlahan meredup dan mati.

"Maafin Jie, bang. Kalo bukan karena Jie abang sama a' Echan ga bakalan kayak gini, maafin Jie bang!"

Jaemin memeluk si bungsu yang terisak hebat. Pemuda itu hanya mampu mengelus punggung Jisung berharap adiknya berhenti menangis.

"Bukan salah Jie, Jie ga salah. Yang salah itu orang jahat! Udah Jie ga boleh nyalahin diri sendiri , nanti abang sedih liat Jie kayak gini. Berdoa aja ya biar abang sama a' Echan ga kenapa-napa."

Perlahan isakan itu mulai mereda namun masih terdengar. Jaemin senantiasa mengusap-usap punggung sang adik untuk menenangkannya.

Tak berselang lama Renjun dan Chenle datang dari arah lorong utama dengan tergesa-gesa. Khawatir, cemas,dan takut tercetak jelas di air muka keduanya. Jaemin lebih dulu mencium punggung tangan Renjun.

Chenle langsung menubrukkan dirinya pada Jisung. Seolah tak bertemu setelah beberapa tahun, pemuda lumba-lumba itu membuat Jisung sesak napas karena pelukannya.

"Kamu gapapa, Na? Jie juga?"

Jisung menggelengkan kepalanya pelan sembari terus mengusap punggung Chenle yang setia memeluknya erat. Renjun menatap Jaemin yang terlihat lelah.

"Na, bisa cerita?" Tanya Renjun hati-hati. Takut adiknya tak siap.

Jaemin menatap kakak mungilnya lalu mengangguk. Kemudian cerita dari awal bagaimana ia dan kembaran nya merencanakan sesuatu untuk menemukan si bungsu sampai sekarang berakhir di rumah sakit mengalir begitu saja dari mulut manis Jaemin. Renjun dengan setia menyimak segala ucapan sang adik tanpa menyelanya sedikitpun.

"Maafin Nana, mas. Nana gagal jagain abang sama Echan. Nana juga ga tau gimana bisa abang sampe di sana. Nana juga sempat syok dengan pelaku di balik kejadian ini." Jaemin menundukkan kepalanya.

Sebenarnya Renjun bertanya-tanya, siapa pelaku di balik kejadian ini. Karena Jaemin bercerita tanpa menyebutkan nama si dalang, dan mengganti nama pelaku itu menggunakan nama "iblis".

"Na, siapa yang kamu maksud itu? I mean, siapa pelaku yang kamu panggil iblis itu?"

Jaemin menahan nafasnya sejenak lalu menghembuskan nya kasar. Pemuda kelinci itu mengalihkan pandangannya ke arah lorong utama rumah sakit ini.

"Om Byan."

..............................

Sumpah aing minta maaf kalo part ini beneran ga ada isinya
Otak Lia bener-bener buntu, tapi maksain buat nulis dan ngetik karena tangan udah gatel banget
Maaf kalo part ini cringe, sumpah Lia minta maaf
Jangan lupa vote follow komen nya
Komentar kalian itu jadi mood tersendiri buat Lia, jadi penyemangat juga
Makasih udah mau baca cerita ini
Have a nice day

THE GEVANENDRA'S | NCT DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang