bab 2

592 73 0
                                    

Ganira akui akting Faris sangat mengagumkan, seakan dia memang layak di nobatkan menjadi aktor terbaik. Sebab kebohongannya di depan tetangga sekitar tentang pengakuan dirinya sebagai sepupu Ganira ternyata di percayai oleh orang-orang.

Sedikitpun tidak ada yang curiga, malahan mereka memuji Faris karena mau mengurusi dan menjaga Ganira.

Oleh sebab itulah Ganira tidak bisa mengelak lagi, selain pasrah. Karena sejujurnya, saudara-saudara orangtuanya tidak ada yang mampu untuk menampung Ganira sekalipun mampu mereka juga tidak mau.

Setelah kemaren semua urusan biaya sekolah, hutang dan juga perkenalan diri Faris kepada tetangga sekitar sudah beres. Akhirnya Ganira harus mulai terbiasa untuk tinggal berduaan dengan laki-laki asing ini.

Layaknya seorang pelayan, atau lebih cocoknya seperti istri. Ganira menyiapkan sarapan untuk mereka. Hanya makanan sederhana, tempe, ikan goreng, sambal beserta lalapannya. Entahlah, Ganira sedikit tidak yakin Faris suka masakan buatannya.

Karena dari tampilan Faris dan seberapa banyak uang yang dia miliki, terlihat bukan berasal dari keluarga sederhana seperti Ganira.

Namun perasangka buruk itu seakan sirna dalam sekejap. Di depannya Faris terlihat lahap memakan makanannya. Bahkan di berulangkali mengambil sambal dan juga lalapan, seakan-akan memang dia sangat menyukainya.

"Kenapa liat-liat? lagi pengen ya."

Ganira berkedip, "Pengen apa?" tanyanya namun pelan, hingga beberapa detik dia baru memahami saat Faris memberikan senyuman miring.

Setelah tinggal lebih dari 24 jam, Ganira sangat-sangat mengakui bahwa Faris begitu mesum. Tentu saja, bahkan di pertemuan pertama mereka, Faris tanpa tahu diri langsung mencium bibirnya.

Mengingatnya, membuat Ganira mempertanyakan alasan Faris melakukan itu. Dan kenapa harus dia, di antara banyaknya perempuan-perempuan di sana.

"Jangan mulai."

Faris hanya terkekeh samar, "Tapi lo yang mancing."

"Gue gak mancing, gue lagi makan." Balas Ganira tak mau kalah.

Brak!

Hingga akhirnya emosi Faris tersulut. Dia pun menggebrak meja, tidak terlalu kuat namun berhasil membuat Ganira terkesiap.

Faris menatap perempuan di depannya lurus-lurus, "Cepet abisin sarapan lo."

Ganira sempat menahan nafas, ia kira akan di marahi ternyata hanya gertakan saja. Suasana kembali sunyi dan Ganira dengan segera menghabiskan makanannya.

Setelah selesai membereskan meja makan, Ganira memakai sepatunya. Sesekali melirik Faris yang tengah duduk di sofa sambil bermain ponsel. Dahinya berkerut, dia kerja gak sih sebenarnya? batin Ganira.

Hingga Faris menoleh dan membalas tatapannya, membuat Ganira gelagapan sebab tertangkap basah memandanginya secara diam-diam.

Namun Faris seakan tak perduli, ekspresinya terlihat datar. Dia berucap sambil memasukkan ponselnya ke saku jaket,"Gue anter lo sekolah."

"Eh, gak usah." Ganira buru-buru berdiri. Dia pun melambaikan tangannya, menolak keras keinginan Faris.

"Kenapa? Takut pacar lo cemburu atau gebetan lo kabur?"

"Apaan sih! Enggak punya pacar gue!"

"Oh, jadi lo belum punya pacar." Faris mengangguk-angguk. Membuat Ganira mengutuk dirinya sendiri, kenapa dia harus mengatakan itu.

Takutnya Faris akan semakin menjadi-jadi.

"Tapi punya gebetan." Sombong Ganira sambil mengangkat dagu. Padahal kenyataannya, dia hanya punya crush yang bahkan tidak tahu Ganira ada di dunia.

"Kasian gebetan lo dapet bekasan gue." Faris menatap bibir Ganira. Sehingga orang yang di tatap itu seketika murka, dia melepaskan tasnya lalu memukuli badan Faris dengan keras.

Seakan merasa tidak kesakitan sama sekali, Faris hanya tertawa. Dia tersenyum kecil melihat Ganira memajukan bibirnya, cemberut.

"Udah-udah. Lo mau sekolah gak? apa mau duel sama gue? di kasur tapi."

"Cowok berengsek!" hanya dua kata balasan dari Ganira, dia sudah terlanjur sakit hati.

Faris memang kejam, baik sikap maupun ucapan.

"Udah gak usah nangis."

"Siapa yang nangis hah?!" Ujar Ganira galak, dia memakai tasnya seperti semula lalu melipat kedua tangannya di depan dada.

"Lo lah, siapa lagi kalo bukan si paling cengeng."

"Bacot banget!"

Faris kembali ke mode serius, wajah dingin kembali di tampilkan. "Pilih gue anter atau gak sekolah?"

"Dasar kang maksa!" Ganira mendengus panjang, "Oke, iya. Gue pilih di anter."

****

"Sampe sini aja."

Faris tidak menolak, dia pun menurunkan Ganira  di pinggir jalan yang lumayan jauh dari gerbang sekolah.

Ganira menyerahkan Helm hitam kepada pemiliknya, "Gue nanti di jemput juga gak?"

"Hmm, pulang jam berapa?"

"Setengah empat. Tapi karena mau ujian, mungkin bisa aja pulang cepet."

Faris pun meraih ponselnya di jaket, "Yaudah, minta nomor lo." Pintanya sambil menyodorkan benda persegi itu.

"Ini udah." Ganira mengembalikannya, "Yaudah kan? sana balik." perintahnya mengusir Faris.

Seperti biasa, Faris tak mengindahkan malahan dia menatap Ganira serius. Lalu berujar,"Gue bebasin lo di sekolah."

Mengerutkan keningnya, Ganira tidak paham dengan ucapan Faris, "Maksudnya?"

"Ya, lo bebas. Gue gak bakal ngawasin lo. Kecuali di luar sekolah."

"Hah?"

Akibat Ganira yang terus gagal paham, membuat Faris kesal tangannya dengen enteng menjitak kepala perempuan di depannya, "Dongo."

Lelaki itu pun menghela nafasnya, "Gue balik."

_______

_______

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Thanks ExpressionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang