"Ini apa yah?" Tanya Faris saat ayahnya memberikan satu kotak kecil berlapis bludru berwarna merah.
Karena penasaran, ia pun membukanya. Faris bingung kenapa ayahnya memberikan kalung silver berliontin permata ini.
"Inikan kalung Mama, yah. Kenapa kasih ke aku?"
Ayah Faris tersenyum, "Jangan keGRan, ini buat Ganira bukan buat kamu."
"HAH?" Faris melotot, dengan mulut terbuka. "Ayah, gak bercanda kan?"
"Enggak, lah. Emangnya Ayah anak kecil apa." Lalu menepuk pundak anaknya, "Ayah setuju sama hubungan kalian. Jadi ayah ngasih ini buat tanda kamu udah ngiket Ganira."Ia tersenyum menatap tulus anaknya, "Ayah, emang mau kamu menikah. Tapi inget, kamu harus minta persetujuan Ganira dia siap atau enggak dan sebaliknya kamu siap gak nunggu dia sampe lulus, yang mungkin juga lanjut ke pendidikan tinggi."
Faris mengangguk, dia sampai tak bisa berkata-kata. Langsung saja ia rengkuh tubuh ayahnya, "Aku siap nunggu Ganira. Aku mau hidup selamanya sama Ganira, yah."
Ayah Faris menggangguk, "Bagus ini baru anak ayah."
Obrolan mereka pun berlanjut dan mereka mencari tempat duduk karena ayah Faris ingin minum kopi, katanya.
"Terus soal Mama gimana yah?" Tanya Faris meletakkan kopi yang ia buat di meja lalu duduk di seberang sang Ayah.
"Semua udah clear, kamu gak perlu khawatir."
"Kok bisa?" Tanya Faris masih bingung.
"Nanti kamu tanya sendiri sama pacar kamu." lalu Ia jadi teringat kelakuan anaknya tadi.
"Ayah, gak tau apa aja yang udah kamu lakuin buat nodain Ganira. Tapi inget jangan sampe kelewatan." Ingetnya.
"Aku gak nodain Ganira. Cuma cium doang."
Namun Ayah Faris hanya terkekeh geli sambil tersenyum miring, "Emangnya, ayah gak pernah muda. Ayah tau banget pikiran kamu. Mungkin gak perlu ayah ngomong panjang lebar, tapi ayah harap kamu jagain Ganira bener-bener jangan sampe nyakitin dia."
"Sebenarnya tanpa Ayah ngingetin juga, aku udah pasti jagain Ganira."
***
Ternyata kedua orang tua Faris sorenya sudah harus terbang kembali, karena lagi-lagi ada urusan pekerjaan.
Bahkan Raden dan Sila tak tau kedatangan keduanya. Mereka tau saat tak sengaja mendengar obrolan Faris dan Ganira di pinggir kolam renang.
"Hah, emang tadi siang Mama sama Ayah kesini bang?" Tanya Raden sambil duduk di satu kursi santai di sana, di ikuti Sila duduk di sebelahnya, terlihat kalem. Pemandangan yang jarang Ganira liat.
"Lo kemana aja emang, sampe gak liat mereka." Balas Faris sambil memincingkan mata curiga.
Bukanya menjawab Raden malah menatap Sila dan sebaliknya Sila juga menatap balik. Terlebih tiba-tiba semburat kemerahan muncul di pipi Sila.
Melihat itu, Ganira langsung menyikut lengan Faris, "Ini pasti mereka abis ngapa-ngapain nih." Bisiknya.
Raden berdehem,"Gue abis jalan-jalan aja kok sama Sila, Bang. Ya kali, udah jauh-jauh dateng kesini, gak menikmati pemandangan. Rugi dong." Ujarnya terlihat meyakinkan.
"Oh, gitu." Faris mengangguk, "Iya, tadi Ayah emang sempet kesini. Cuma ngobrol itu pun sebentar, biasalah ayah lo kan orang sibuk."
"Itu Ayah lo juga, Bang." Ingat Raden membuat kedua perempuan di sana geleng-geleng karena tingkat adik kakak itu.
Ganira pun mulai membuka obrolan, "Eh, Btw. Untung Faris mesennya yang empat kamar. Bayangin kalo cuma dua. Udah gue tonjok kali ini kepala dia."
"Padahal dua kamar juga gak masalah." Jawab Raden polos dan karena itu dia mendapatkan pukulan di lengannya. Pelaku tentu saja Sila.

KAMU SEDANG MEMBACA
Thanks Expression
Novela JuvenilKejadian di taman kota setahun yang lalu ternyata mengubah kehidupan Ganira. Apalagi semenjak kedatangan laki-laki asing yang mengatakan ingin membiayai hidupnyaa dengan berlandaskan ungkapan terimakasih. Yang mengharuskannya untuk tinggal bersama d...