Jarum jam menunjukan pukul 5 pagi dan Yura sudah terlihat sepenuhnya terjaga. Ia bahkan kini sedang mengerjakan sesuatu di dapur—meja makan.
Lain dengan kebiasaannya sehari-hari yang mendatangi meja makan untuk menyantap sarapan, kini ia sedang membungkus beberapa barang ke kantung kertas berukuran 15x15 cm.
Senyum beberapa kali terpatri dari wajah manis Yura. Rambutnya yang dijepit asal membuatnya terlihat semakin menawan. Ditambah, wajah cantik itu sedang tidak memakai riasan.
Ia akan memberikan semua yang ia kerjakan ini pada anak-anaknya.
Satu boneka rajut yang Yura buat sendiri, satu kotak susu kecil, beberapa jeli, dan juga cokelat keping ia masukan ke kantung kertas.
Dengan total 20 kantung, Yura selesai dengan acaranya. Ia merapikan kantung-kantung itu dan memasukannya pada tas jinjing besar agar lebih mudah ia bawa.
Menghabiskan waktu hampir 2 jam Yura melakukan hal yang menurutnya menyenangkan itu. Kini matahari mulai terlihat.
Yura bangkit dari kursi, berniat kembali ke kamar untuk mandi dan bersiap. Belum genap kakinya menapaki anak tangga pertama, suara dari pintu utama mengambil perhatiannya. Ia menoleh ke arah pintu dan sedikit terkejut melihat Henry yang baru saja tiba.
Yura yang berjalan di pinggir tangga semakin memepetkan tubuhnya pada railing. Henry berjalan lurus dari pintu masuk seolah tak melihat Yura di tangga. Pria itu langsung menuju kamarnya.
Yura terdiam. Ia kira, semalam kamar Henry berpenghuni. Tapi, kenapa pria itu pulang pagi hari seperti ini? Biasanya, menjelang tur, pria itu lebih memilih mendekam di kamar atau studio di rumah. Paling-paling, 2 hari sebelum tur, ia akan menghilang dan kembali pulang selepas tur selesai.
Yura menggidikan bahunya. Ia tidak begitu peduli. Ia hanya terkejut dengan kehadiran pria itu. Ia kemudian menuntaskan perjalanannya menuju kamar dan bersiap.
❆❆❆
4 hari tersisa sebelum disibukan dengan tur, kondisi Henry malah tidak dalam keadaan baik. Bukan fisiknya yang bermasalah. Entah kenapa, ia sendiri merasa dirinya tidak baik-baik saja.
Setibanya di kamar, Henry langsung menghempaskan tubuh ke ranjang luasnya. Ia meraih bantal dan menutup seluruh wajahnya.
"Huh!" pria yang berkaos abu-abu gelap itu mengembuskan napas kasar lewat mulutnya. Ia telah membebaskan bantal yang semula menutupi wajahnya.
Henry duduk di sisi kasur. Ia mengacak-acak rambutnya yang sudah tidak teratur. Tak lupa, ia mengusap kasar wajah tampannya seolah dengan melakukan itu ia akan kembali baik.
Tidak. Masalahnya memang tidak ada seperti pada wajahnya. Namun pada perasaan yang sialnya sulit ia kendalikan.
Henry melepas kaosnya. Ia melempar asal pada keranjang cucian di sudut kamar. Mungkin dengan mandi, semua keanehan dalam dirinya akan hilang mengalir bersama dengan air.
Langkah Henry tiba-tiba terhenti tepat di depan pintu kamar mandi. Suara pintu utama yang dibuka sedikit kasar membuatnya berhenti. Mengurungkan diri untuk masuk kamar mandi, ia malah berjalan membuka pintu kamar.
Dari tempatnya berdiri, Henry melihat Yura yang menutup pintu utama dengan jinjingan besar di masing-masing tangannya. Wanita itu menggunakan pakaian bernuansa cokelat muda yang terlihat manis.
Henry menyangga tubuhnya dengan tangan menahan pada pembatas. Ia masih menatap pintu yang kini sudah tertutup. "Mau bertemu pria kemarin lagi."
❆❆❆
Pancaran kebahagiaan sangat kentara dari wajah Yura. Bibir tipisnya tak henti tersenyum saat anak-anaknya bertingkah lucu. Ia selalu senang saat ada di tempat ini. Panti asuhan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Not Too Late [END]
FanfictionPerjodohan bukan sesuatu yang bisa menyelesaikan masalah. Yura tahu itu. Entah apa yang membuat ibunya tega 'menjual' Yura pada orang yang meminjamkannya uang hingga anak satu-satunya yang ia miliki benar-benar menikah. Hidup dalam sebuah perjodoha...