2.01: Gimbab Versi Terbaru

41 3 0
                                    

"Eomma!"

Suara teriakan balita yang begitu nyaring dan melengkin terdengar dari ruang utama. Suara itu dilanjutkan dengan tangis yang pecah dan suara lain yang sebaliknya. Ada tawa menggelegar yang mengimbangi tangis itu.

"Arasseo, arrasseo. Mianhae," pria pemilik tawa itu berkata, masih berusaha menghentikan tawanya.

Yura yang mendengar itu dari dapur lantas menghela napas. Kegiatannya memotong sayur terhenti dan berbalik. Henry yang masih tertawa kecil dan gadis kecil yang menangis di gendongannya menjadi pemandangan Yura.

"Kau apakan lagi?" tanya Yura hampir jengah.

"Eomma, ingin dengan eomma!" Anna menaikkan suaranya. Tangannya berusaha menggapai Yura yang masih berjarak beberapa langkah. Ia meronta minta diturunkan dari gendongan Ayahnya yang memeluknya erat. "Eomma!"

Yura mengambil putrinya yang baru saja berusia 3 tahun itu dari Henry setelah melepas apron cokelatnya. "Kenapa lagi? Baru beberapa menit aku tinggal, kau sudah usil lagi?"

Henry yang mendengar itu tertawa. Ia mengambil duduk di salah satu kursi meja makan. "Kita hanya bermain, Sayang. Sungguh."

Anna masih menangis di gendongan Yura. Gadis kecil itu menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Yura. Dengan tersedu, ia menumpahkan air matanya di sana.

Yura ikut mengambil duduk di dekat Henry. Ia menenangkan Anna tanpa mengatakan apapun, hanya memeluk dan mengusap punggung putrinya. Ia tak lupa menatap Henry dengan tatapan mematikan seolah mengatakan 'kau tak boleh tidur di kamar malam ini.'

"Sungguh, Sayang. Kita hanya bermain." Henry yang sudah merasa terancam hanya dengan tatapan itu, segera menjelaskan. "Kau bisa lihat di sana. Aku menemaninya bermain susun balok tadi,"

Yura tak memberi respon apapun yang justru membuat Henry semakin panik.

Henry meraih satu tangan Yura yang terbebas. Ia menggenggamnya. "Sungguh." Katanya kembali meyakinkan. "Tadi hanya bicara tentang Hyeri. Aku tanya Anna, dia ingin adik atau tidak. Anna bilang mau. Lalu aku bilang, eomma dan appa tidak bisa temani main lagi jika punya adik. Lalu dia menangis,"

"Kau sungguh tidur di kamar Anna malam ini."

Mata Henry membulat. Cukup sekali saja ia tidur di kamar Anna tanpa Yura. Tidak boleh terulang lagi. "Sayang, tidak begitu. Aku hanya bercanda." Ia mengecup punggung tangan Yura cukup lama. "Anna-ya, appa mianhae."

Anna masih tersedu di dekapan ibunya. Yura tahu ini bukan semata-mata karena kejahilan Henry. Ini memang jam tidur Anna biasanya. Putrinya itu terlalu antusias memainkan mainan baru yang dibawakan Hyeri saat berkunjung kemarin hingga kelelahan. Namun tetap saja, Henry jelas berkontribusi atas tangisan Anna.

Henry yang melihat Yura menyuruhnya untuk diam hanya bisa pasrah. Ia tidak menjahili Anna terlalu berlebihan, ia berani sumpah untuk itu. Ia hanya bilang pada putrinya untuk membujuk Yura memberikannya adik. Tapi ia juga menjelaskan konsekuensinya, itu yang membuat Anna menangis hebat. Anna memang begitu menyayangi ibunya. Kedekatan mereka kadang membuat Henry iri dan berharap Anna punya adik yang bisa ia jadikan tim.

Tangisan Anna benar-benar hilang. Napas gadis kecil itu sudah teratur. Ia tidur di dekapan ibunya.

Melihat Yura yang bangkit untuk mengantar Anna ke kamarnya, Henry mengambil alih. "Aku saja," dengan hati-hati, ia memindahkan Anna ke gendongannya. Ia sempat mengecup dan menggumamkan maaf pada Yura karena memotong acara masaknya.

Yura terkekeh kecil. Henry begitu jahil. Entah dari mana datangnya, kapanpun ada kesempatannya, di manapun itu, Henry akan dengan senang hati menjahili putrinya sendiri. Bukan satu atau dua kali Anna menangis karena mainan kesayangannya disembunyikan ayahnya. Meski begitu, tak pernah sekalipun Anna menolak untuk bermain bersama ayahnya. Hubungan mereka cukup kuat. Saking kuatnya, Anna perlahan mendapatkan sisi jahil ayahnya. Yura kadang menjadi sasaran empuk mereka.

Not Too Late [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang