10: Kencan Pertama

52 4 0
                                    

Bisnis Yura semakin meluas. Beberapa pelanggannya berasal dari luar kota bahkan pernah sekali ia mengirim paket untuk pelanggan dari luar negeri. Yura sedikit tak menyangka ia bisa melakukan itu. Sepertinya, Yura harus sedikit berterima kasih pada Sanha. Pria yang saat ini sedang melakukan panggilan video dengannya.

"Mwo⁷⁰? Sama saja kalau begitu."

Yura yang sedang mengunyah gimbabnya mengerutkan kening. Ia menelan hasil kunyahannya. "Sama saja bagaimana? Jelas-jelas hidupku berubah sejak aku menerima suratmu." Protes Yura. "Aku bahkan keluar rumah hanya untuk membeli perlengkapan saja."

Sanha tertawa di seberang sana. Pria itu juga terlihat sedang menikmati makanannya. "Itu lebih baik, kan?" tanyanya. "Pipimu sedikit membulat, kau pasti makan dan tidur dengan baik sejak itu."

"Ya! Bilang saja aku gendut!"

"Aku tidak bilang begitu." Sanha berkilah. "Pipimu sekarang jauh lebih baik daripada beberapa bulan lalu, Yura. Kau seperti gadis terlantar saat itu."

Yura mendatarkan ekspresinya. "Terus, terus saja meledekku." Yura berucap seperti adik yang lelah dengan tingkah kakaknya. "Tapi kau seperti kebalikannya, Sanha-ssi. Berat badanmu sudah berkurang berapa banyak?"

Sanha berdecak. Ia menyetujui perkataan Yura. "Aku mengomelimu karena banyak minum kopi, tapi hari ini saja aku sudah minum 3 cup."

"Manusia memang sering melanggar perkataannya sendiri." Ujar Yura. "Sayangnya aku tidak bisa bilang 'berhenti dari sekolahmu, tidurmu sangat kurang, kopimu terlalu banyak,'"

Tawa lepas dari seberang sana terdengar. Sanha tertawa hingga ia tersedak minumannya sendiri. "Kau benar. Ah menjadi dokter memang sulit! Kenapa juga aku ingin jadi dokter!" keluh Sanha yang jelas berpura-pura. "Aku jadi tahu kenapa orang tuaku cukup melarangku mengambil spesialis."

"Kau akan menikmatinya saat kau tua nanti, Sanha-ssi."

"Aku tidak yakin, Yura-yaa. Jika begini terus, mungkin aku akan mati muda."

Yura meletakkan sumpitnya. Sepiring gimbab yang ia buat sendiri sudah meluncur dengan selamat ke pencernaannya. "Tuhan selalu dengar ucapan orang baik, Sanha-ssi."

"Aku orang baik?"

"Semua dokter yang aku tahu, mereka baik."

"Kau kenal banyak dokter?"

Yura menggeleng. "Aniyo. Neo man⁷¹."

Bruk. Suara benda jatuh terdengar dari arah kiri Yura—ruang tengah. Ia yang sedang duduk di kursi meja makan menolehkan kepalanya.

Seseorang duduk di sofa yang membelakangi posisi Yura. Entah suara tadi tepatnya berasal dari mana, namun yang pasti pria itu yang membuat suara.

"Yura-yaa!" panggilan Sanha membuat Yura kembali menoleh pada ponselnya. "Gwenchana? Kau terlihat kaget. Ada apa?"

"O-oh gwenchana. Sepertinya ada yang datang. Aku harus menutup panggilannya. Annyeong." Yura memutus panggilan dengan terburu.

Yura langsung mendekat pada pria yang duduk itu. "Eonje⁷² wasseoyo?"

Henry menoleh dengan ekspresi yang tidak bisa Yura pastikan apa artinya. "5 bun⁷³? 10 bun? Aku lupa."

"Mi-mian. Aku tidak dengar kau datang." Ujar Yura tak enak hati. "Kau membawa sesuatu?" Yura menunjuk satu kotak di dalam plastik di meja. Yura mengambil duduk di dekat Henry.

Henry mengangguk menatap Yura. "Yangnyeom chikin."

Keadaan lengang beberapa saat. Keduanya saling menatap yang membuat Yura sedikit bingung tanpa alasan. "Geuraeyo. Aku akan menemanimu makan." Yura bangkit dari duduknya. Ia mengambil bungkusan itu namun tangan Henry mencegahnya saat akan melangkah.

Not Too Late [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang