Perjodohan bukan sesuatu yang bisa menyelesaikan masalah. Yura tahu itu. Entah apa yang membuat ibunya tega 'menjual' Yura pada orang yang meminjamkannya uang hingga anak satu-satunya yang ia miliki benar-benar menikah.
Hidup dalam sebuah perjodoha...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Henry mengunggah untaian kalimat itu di satu-satunya sosial media yang ia punya. Ia tentu saja sudah melihat kekacauan kecil di sosial media yang membicarakan tentangnya dan Yura.
Surat kecil untuk penggemar itu ia unggah tepat di jam makan siang. Yang ia kira akan sepi dari komentar karena banyak orang sibuk dengan bekerja, namun ternyata salah. Ia perlu mematikan daya ponselnya karena ia merasa tak tenang jika itu tetap menyala.
Tidak ada jadwal untuk hari ini. Henry menyelesaikan semua urusan yang mungkin terjadi sesaat setelah ia mendarat kemarin. Semua benar-benar sudah ada yang mengurusi seperti yang ia jelaskan pada Yura. Kini, ia menjaga Yura di ranjang.
Pagi tadi, Henry merasakan suhu tubuh Yura yang sangat tidak biasa. Ia sempat mengeceknya dan itu benar-benar demam tinggi. Awalnya ia berniat membawa Yura bertemu dokter di klinik atau rumah sakit namun wanita itu menolak. Katanya akan membaik dengan tidur.
Henry kembali merebahkan dirinya di samping Yura. Ia menarik pelan wanitanya hingga benar-benar bisa ia peluk. Banyak sekali kecupan yang ia berikan pada Yura di banyak titik di wajah wanita itu. Ia jelas merasakan suhu tubuh Yura yang masih di atas normal.
Henry yang tengah memandangi wajah Yura mendapati wanita itu mengerjapkan matanya beberapa kali dengan sedikit mengerang. "Kenapa, Sayang?"
Yura menatap Henry dengan mata sayunya. "Kepalaku sakit sekali," keluhnya dengan suara yang terdengar lemah. "Perutku juga tak enak,"
Henry mengusap lembut kepala Yura saat wanita itu menenggelamkan di dadanya. "Ke dokter, ya?"
Gelengan kecil bentuk penolakan Yura yang seperti tak sanggup untuk bicara panjang.
"Kau mau sesuatu? Kau belum makan sejak kemarin, Sayang,"
Yura melepaskan diri dari dekapan Henry. Ia duduk dengan tubuh yang benar-benar tak bertenaga membuat prianya duduk di berhadapan dengannya. "Bisa tolong buatkan aku minuman hangat, tidak?"
Henry merapikan rambut lembut Yura yang sedikit tak karuan. Ia mengecup kening Yura dengan mengusap halus pipi istrinya. "Kkulyuja-cha. Aku bisa buatkan itu untukmu." Ia masih mengusap pipi Yura yang terasa begitu hangat. "Aku buatkan miyeok-gug juga, ya? Itu hangat, setidaknya kau makan sesuatu."
"Teh saja,"
Henry mengangguk kecil. Ia mengecup bibir Yura sekilas dan meninggalkan kamar untuk membuatkan Yura minuman hangat.
Yura kembali merebahkan dirinya dengan sedikit bersandar pada tumpukan bantal. Ia benar-benar merasa badannya tak enak. Kepalanya sungguh berat, ia hampir menggigil saat suhu tubuhnya tinggi, perutnya terasa perih dan mual, rasa ingin muntah ia tahan karena tahu tak akan ada sesuatu yang keluar jika ia melakukannya.
Dengan segelas kkulyuja-cha hangat dan semangkuk buah segar, Henry masuk kembali ke kamar dan menemukan Yura yang sudah kembali tertidur. Wajah wanita itu begitu pucat, terlihat lemas sekali. Jujur saja, seumur hidupnya, Henry tak pernah mengurus orang sakit secara langsung. Ia hanya berharap tak melakukan hal yang salah kali ini.